Memahami asal-usul penduduk yang mendiami
pantai Barat Daya Aceh, mulai dari ujung Manggeng hingga Ujong Raja sampai saat
ini masih mengandalkan sumber lisan dan sumber tertulis yang sangat terbatas.
Menurut tradisi lisan, penduduk yang pertama mendiami daerah tersebut adalah
orang Batak yang mereka kaitkan dengan keberadaan nama topografi suatu tempat
seperti Guha Batak di pedalaman Blangpidie. Koloni orang Batak itu dikalahkan
oleh para pendatang baru yang berasal dari Sumatera Barat maupun dari daerah
Aceh sendiri.Suku Minangkabau dari Sumatera Barat
bermigrasi ke daerah itu yang diperkirakan terjadi pada bagian kedua abad
ke-17, karena semenjak Belanda menduduki Sumatera Barat melalui Traktat Painan
tahun 1663, orang Aceh yang sebelumnya mengontrol daerah tersebut dan orang
Minangkabau yang tidak mau tunduk kepada Belanda merantau ke pantai Barat Aceh.
Sebagian di antara mereka ada yang membangun koloni di Susoh dan sebagian
lainnya di Meulaboh atau di tempat lain.
Bersamaan dengan itu, daerah tersebut
didatangi pula orang Aceh yang berasal dari Aceh Besar dan Pidie dengan maksud
membuka perkebunan (seuneubok) lada yang hingga awal abad ke-19 merupakan
tanaman ekspor penting di Aceh.
Koloni Minangkabau dan Aceh itu membangun
komunitas mereka terutama pada muara-muara sungai setempat, antara lain Lama
Tuha, Kuala Batu, Susoh, Suak, Lhok Pawoh dan Pasi Manggeng. Lambat laun
pemukiman itu berubah menjadi suatu pemerintahan lokal yang berdiri sendiri,
tetapi berada di bawah lindungan Kerajaan Aceh Darussalam. Namun demikian, ada
juga di antara mereka yang berhasil melakukan konsolidasi kekuasaan berkat
kegiatan perniagaan lada sebagaimana yang terjadi dilakukan Lebe Dafa di Susoh
dan Datuk Besar di Manggeng pada permulaan abad ke-19. Datuk Besar yang konon
kabarnya enggan membayar upeti kepada Sultan Aceh sehingga Sultan Alauddin
Jauhar al-Alamsyah (1795-1824) cukup marah dan memutuskan berlayar sendiri
untuk menyerang Datuk Besar di negeri Manggeng tersebut.
Aksi penertiban yang dilakukan oleh Sultan
itu, bukan berarti bahwa kerajaan-kerajaan kecil itu secara mutlak dapat
dikontrol oleh pusat kerajaan di Bandar Aceh Darussalam. Di daerah ini misi
dagang Inggris, Amerika dan Belanda dapat secara leluasa memasuki pelabuhan-pelabuhan
di pantai Barat Daya pada permulaan abad ke-19. Sebagaimana yang dilakukan oleh
John Anderson yang pernah menyinggahi pelabuhan Manggeng, Susoh, Kuala Batu dan
Seumayam.
Pada tanggal 3 Februari 1831 terjadi konflik
antara anak buah kapal dagang Amerika Serikat “Friendship” dengan penduduk
Kuala Batu yang bermuara pada insiden bersenjata. Akibat dari insiden tersebut,
Bandar Kuala Batu diserang hingga hancur oleh armada Amerika Serikat “Potomac” pada tanggal 6 Februari 1832.
Susoh yang merupakan sebuah teluk yang
tenang, pada abad ke-18 dan awal abad ke-19, merupakan salah pusat perdagangan
di pantai Barat Aceh yang sentralnya di pelabuhan Kedai Susoh.
Penduduk-penduduk yang ada di sana
kemudian menyebar ke berbagai daerah di pantai Barat tersebut. Hal itu seperti
yang dilakukan oleh Leube Dafa dan Basa Bujang, yang sudah sejak lama menetap
di Susoh, kemudian bermigrasi ke Trumon dan Singkil. Hal seperti itu juga
disebutkan oleh Kapten Canning yang pernah meninjau Aceh atas perintah Gubernur
Jenderal Hindia, di Kalkuta, India, menyebutkan bahwa Lebe Dafa menguasai
pelabuhan di pantai Selatan maupun Barat Aceh, seperti Singkil, Ayam Dammah,
Trumon, Rambong, Seuleukat, Susoh dan Kuala Batu. Basa Bujang dan Lebe Dafa
pindah ke Trumon dan karena kekayaannya lalu mendirikan kerajaan di Trumon.
Lebe Dafa kemudian kawin dengan puteri Raja Singkil dan menjadi kaya bahkan
tidak lama setelah itu menjadi raja di daerah itu.
Susoh sebagai pusat perdagangan dengan
beberapa negeri di sekitarnya, seperti Kuala Batu, Blangpidie, Lhok Pawoh Utara
(Tangan-Tangan) dan Manggeng, serta dengan negeri Gayo Lues (Patiambangan).
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Susoh pada waktu itu merupakan mata
rantai perniagaan di pantai Barat Daya Aceh, bahkan kenegerian-kenegerian yang
ada di pantai Barat Daya itu secara politik dahulunya termasuk wilayah Susoh.
Menjelang penaklukan kerajaan Aceh oleh Belanda, di pantai Barat Daya telah
berdiri sejumlah kenegerian yang berdiri sendiri di bawah payung Kerajaan
Bandar Aceh Darussalam. Menurut Van Langen (1888), Asisten Residen Aceh Barat
1881-1886, Susoh terletak di Teluk Susoh, sebelah Timur berbatasan dengan
Blangpidie dan sebelah Barat dengan Samudera Hindia (Samudera Indonesia).
Menurut oral history pada mulanya penduduk
yang mendiami negeri Susoh adalah etnis Batak, namun terdesak oleh penduduk
yang datang kemudian, terutama orang dari Minangkabau dan orang-orang Aceh dari
Aceh Besar. Koloni orang Minangkabau yang dipimpin oleh Datuk Bagak datang
bertempat tinggal di Susoh dengan persetujuan dari penguasa Batak yang berkuasa
di tempat itu. Datuk Bagak kemudian nikah dengan salah seorang putri Raja
Batak, dan kemudian dapat mengislamkan sebagian dari orang Batak. Dengan
bantuan orang Minangkabau di Seunagan yang dipimpin oleh Datuk Baginda, ia
memerangi dan mengusir orang Batak yang tidak mau menganut agama Islam. Datuk
Bagak dan Datuk Baginda lalu membagi wilayah Susoh itu dan memerintahnya secara
bersama-sama. Datuk Bagak atau Datuk Tua yang berasal dari Suku Barat
(Pariaman) menguasai daerah di sebelah kiri sungai Pinang,
yang diberi nama dengan Kampung Barat. Datuk Baginda atau Datuk Raja menguasai
daerah di sebelah kanan sungai Pinang dengan nama Kampung Pinang.
Tidak lama kemudian datang lagi orang-orang
dari Minangkabau dan diizinkan oleh Datuk Bagak bermukim di daerah itu untuk
bertani lada. Mereka berasal dari Suku Kabung (Kampar), yang dipimpin oleh
Datuk Marah Padang yang mendirikan Kampung Durian Rampak. Setelah itu datang
lagi para petani Rawo dari Pariaman, yang dipimpin oleh Datuk Mageh Kesumba dan
meminta izin kepada Datuk Bagak untuk bertani di pedalaman Susoh, selanjutnya
menjadi pendiri Kampung Rawa. Datuk Baginda yang mempunyai keluarga di Seunagan
di bawah pimpinan Datuk Binca, juga datang ke Susoh dan mendirikan Kampung
Paoh.
Pada waktu itu, orang Minangkabau berada
dalam lingkungan yang wilayahnya dikuasai oleh orang-orang Aceh dan
kebebasannya terbatas, namun mereka masih dapat mempertahankan adat-istiadat
dan hubungan kekeluargaan tetap berlaku seperti di negeri asalnya.
Bentuk pemerintahan pada waktu itu dijabat
oleh dua Datuk. Datuk Bagak dari Kampong Barat yang bergelar Datuk Tua
berkedudukan di Susoh, sedangkan yang kedua dijabat oleh Datuk Baginda dari
Kampong Pinang. Selain itu, datuk-datuk dari Kampong Durian Rampak dan Kampung
Rawa berada di bawah Datuk Tua, sedangkan Datuk Kampong Pawoh berada di bawah
Datuk Baginda. Silsilah para Datuk yang memerintah di Kenegerian Susoh hingga
tahun 1888 adalah sebagai berikut;
- Keturunan Datuk Tuha (Datuk Bagak) yang memerintah selama 50 tahun, yaitu Datuk Buluh, Datuk Menggalam, Datuk Muhammad Yatim. Mereka menjadi pemimpin Datuk Negeri Susoh dengan gelar Datuk Tuha.
- Keturunan Datuk Baginda, yaitu Datuk Baginda Raja, Datuk Poh, Datuk Keng, Datuk Medan, serta Datuk Nyak Din. Mereka menjadi pemimpin negeri Susoh dengan gelar Datuk Baginda.
- Keturunan dari Datuk Kabong, yaitu Datuk Merah Padang, Datuk Makah, Datuk Falib, dan Datuk Derham. Mereka menjadi Datuk Kampong Durian Rampak, dengan gelar Datuk Baru.
- Keturunan Datuk Rawa, yaitu Datuk Mageh Rawa, Datuk Baren, Datuk Yamah, Datuk Marah Alam. Mereka menjadi pemimpin Kampong Rawa.
- Keturunan Datuk Paoh, yaitu Datuk Binca, Datuk Ampek Suku, Datuk Kedusun, Datuk Kecil Lintang, Datuk Kesiring, dan Datuk Asim. Mereka menjadi pemimpin Kampong Paoh, dengan gelar Datuk Ampek Suku.
Pada masa pemerintahan Sultan Ibrahim
(Alaiddin Mansur Syah 1836-1870) beliau pernah mengirim sebuah ekspedisi
penertiban ke negeri Susoh yang dipimpin oleh pangeran Tuanku Husen,
dikarenakan negeri ini tidak membayar pajak yang telah ditentukan kepada
wilayahnya. Dalam penyerangan itu, pasukan kerajaan Aceh dibantu oleh Datuk
Keng dari keturunan Datuk Baginda. Sementara itu, Susoh dipimpin oleh Datuk
Kepala keturunan Datuk Tuo. Peperangan berakhir setelah negeri ini kembali
menghormati ketentuan yang ditetapkan oleh Kerajaan Aceh.
Perkembangan Susoh sangat dipengaruhi oleh
kenegerian-kenegerian di sekitarnya, seperti Negeri Kuala Batu, Pulo Kayee,
Kuta Batee (Blangpidie), Tangan-Tangan, dan Manggeng. Di antara penduduk Susoh
dengan penduduk di kenegerian sekitarnya terdapat hubungan kekeluargaan,
walaupun sudah agak berjauhan silsilahnya. Mata pencaharian utama adalah
pertanian sawah, perikanan (nelayan) dan perdagangan. Hasil di bidang perikanan
banyak dipasarkan ke berbagai pelabuhan di Aceh hingga ke dataran tinggi Gayo.
Kenegerian Susoh telah menandatangani Korte Verklaring dengan Belanda pada
tanggal 24 Februari 1874.
Kuala Batu merupakan bumper dari Negeri Susoh
yang dipimpin oleh Keucik Karim. Ia merupakan ketua kelompok petani yang
berasal dari Pidie. Setelah mendapatkan izin dari Datuk Susoh, ia
dan kerabatnya membuka perkebunan lada di Lama Inong, pedalaman Kuala Batu.
Permintaan izin disetujui dengan syarat harus membayar pajak kepada Datuk Susoh
dan Sultan Aceh. Leube Daffa ayah Raja Basa Bujang, sebagai pemerintah di
negeri Trumon, merupakan wakil Sultan Aceh yang mengutip pajak di daerah
pesisir Barat. Keucik Karim yang bergelar Teuku Lama membayar seluruh pajak
yang menjadi kewajibannya, namun lambat laun dalam hasil panen selanjutnya
tidak mau mengirim upeti lagi kepada Sultan. Demikian juga kapal-kapal yang
seharusnya memuat lada melalui pelabuhan Susoh mulai dialihkan ke Kuala Batu,
sehingga Kenegerian Susoh mengalami kerugian.
Dalam bisnis pelayaran dan perdagangan,
Tuanku Samike mendapat laba yang banyak dari komisi dan biaya angkutan kapal.
Ia kemudian berunding dengan Datuk Susoh untuk menjadikan Kuala Batu sebagai
pelabuhan resmi. Tugas itu kemudian diserahkan kepada anaknya, Teuku Nyak Haji
dan Raja Bujang. Namun, cukup disayangkan karena terlebih dahulu dia meninggal,
sehingga pelaksanaan perjanjian itu menjadi terhalang.
Kuala Batu akhirnya diserang oleh Datuk
Susoh dibantu oleh Raja Trumon. Dalam peperangan itu, kemenangan berlangsung
secara bergantian dan konflik tersebut baru berakhir setelah berlangsungnya
perkawinan antara putera Teuku Lama, Raja Kuala dengan cucu Datuk Bagak dari
Susoh. Setelah Teuku Lama meninggal, kekuasaan dipegang oleh saudaranya, Raja
Pidie. Raja Pidie sendiri semenjak remaja berpengalaman dalam bidang
pemerintahan dan terlibat dalam usaha perdamaian antara Kuala Batu, Susoh dan
Trumon. Setelah merasa dirinya mampu, ia menghadap Sultan di Bandar Aceh, untuk
memandirikan Kuala Batu dari Kenegerian Susoh. Raja Pidie menikahi perempuan
yang berasal dari Air Bangis (Sumatra Barat) dan mendapat keturunan seorang
anak laki-laki yang bernama Raja Sulaiman. Raja Sulaiman kemudian memerintah di
daerah sebelah kiri Krueng Batu, sedangkan daerah sebelah kanan dikuasai oleh
Pocut Hasan, anak laki-laki dari Pocut Abdullah yang berasal dari daerah XXVI
Mukim, Aceh Besar. Mereka pada awalnya datang bersama-sama dengan Pocut Kuala
pada masa pemerintahan Raja Pidie.
Raja Sulaiman tetap memerintah kerajaan
negeri Kuala Batu hingga tahun 1881 dengan tiga wilayah pemerintahan, yaitu :
- Raja Sulaiman wilayahnya terdiri dari Madat Manyang, Sarulah, Sikabu, Teurubue, Lama Inong, dan Siangen-Angen.
- Pocut Hasan wilayahnya terdiri dari Lhok Ek, Kuta Raya, dan Kuta Cot Dolah.
- Sedangkan daerah yang tunduk kepada Kuala Batu adalah negeri Seumanyam, Surin, Lama Tuha, dan Lama Muda.
Mata pencaharian penduduk di negeri Kuala
Batu adalah perkebunan lada, menanam padi, mengumpulkan hasil hutan dan perdagangan
maritim yang berpusat di pelabuhan Kuala Batu. Pelabuhan ini pernah menjadi
pusat perdagangan internasional, namun pelabuhan tersebut diserang oleh armada
Amerika Serikat dengan kapal Potomac pada
tahun 1832. Hal itu berkaitan karena peristiwa sebelumnya, berupa penyanderaan
kapal dagang Amerika Serikat, Frienship, yang ingin menyeludupkan lada dari
pelabuhan Kuala Batu oleh masyarakat. Kenegerian Kuala Batu menandatangani
perjanjian Korte Verklaring pada tahun 1881 sebagai tanda tunduk kepada pemerintah
Belanda. Perjanjian itu ditandatangani oleh Raja Sulaiman.
Kenegerian Pulo Kayee dibangun oleh Datuk
Ampek dari Kenegerian Susoh, namun kemudian datang orang Aceh yang berasal dari
XXVI Mukim, Aceh Besar dan meminta izin kepada Datuk Susoh untuk bermukim dan
membuka perkebunan lada, tetapi dengan syarat harus membayar pajak untuk negeri
Susoh dan untuk Sultan Aceh. Kewajiban membayar pajak tersebut ternyata tidak
dipenuhi terus-menerus sebagai persyaratan yang telah disepakati. Mereka hanya
membayar pajak kepada Datuk Susoh selama dua kali panen saja.
Ketika Pulo Kayee dipimpin oleh Datuk Mak
Ubat, Teuku Lambada Adam diangkat sebagai syahbandar. Untuk membebaskan diri
dari negeri Susoh, dibuatlah sebuah saluran baru sepanjang 600 meter yang
terletak dekat Pulo Kayee menuju arah laut sebagai pengganti muara sungai.
Kanal tersebut dipakai sebagai jalan untuk mengeluarkan lada dari hulu ke laut,
yang sebelumnya melalui sungai Pinang dekat
negeri Susoh. Saluran itu kemudian diberi nama dengan Air Bakali.
Pada masa pemerintahan Sultan Ibrahim dengan
gelar Alaiddin Mansur Syah (1836-1870), mengirim seorang utusan untuk memungut
pembagian upeti lada di Pulo Kayee kepada Datuk Susoh yang kemudian dimandatkan
kepada Teuku Lambada Adam, sebagai syahbandar Pulo Kayee. Tuntutan itu ditolak
dan kapalnya yang berlabuh di Pulo Kayee ditenggelamkan dengan tembakan meriam.
Setelah itu, seorang yang bernama Teuku Nyak Syeh, seorang pemimpin petani lada
dari Pidie, meminta izin kepada Datuk Susoh untuk mengeluarkan lada melaui
pelabuhan Pulo Kayee. Permohonan itu disetujui dengan syarat harus membayar
upeti yang telah ditetapkan.
Silsilah uleebalang yang memerintah di
negeri Pulo Kayee, terdiri atas Teuku Nyak Syeh, Teuku Nyak Husin, Teuku Nyak Sawang
dan Teuku Raja Cut. Ketika Teuku Raja Cut masih kecil, ibunya menikah dengan
Raja Blangpidie, Teuku Ben Mahmud. Pada tahun 1880 kenegerian Pulo Kayee
menandatangani perjanjian Korte Verklaring atas nama Teuku Raja Sawang,
sementara Teuku Ben Mahmud dari Blangpidie masih melakukan resistensi terhadap
Belanda.
A. Perkembangan Kenegerian Kuta Batee (Blangpidie)Secara geografis kenegerian Blangpidie pada mulanya termasuk wilayah kenegerian Susoh. Pada mulanya orang yang mendiami daerah itu, terutama daerah sebelah Utara adalah orang dari Suku Batak dan Gayo. Namun mereka terdesak oleh penduduk yang datang kemudian, yaitu orang Minangkabau. Orang dari Aceh Besar di bawah pimpinan Teungku Di Lhong. Sedangkan orang dari Pidie yang dipimpin oleh Teuku Lampoh Deu yang mendiami di Hulu Susoh pada dataran rumput yang terletak di daerah Kuta Batee (kota Blangpidie sekarang), membuka lahan persawahan di sana. Setelah itu datang pula Teuku Ben Agam juga dari Pidie mendiami daerah Pulo Dua. Pada sekitar abad ke-19, datang pula Teuku Keucik Bo Kuta, dan mendiami daerah Kutatinggi. Sementara Panglima Langsa mendiami daerah Lampoh Drien (Meudang Ara), sedangkan Pang Ujoh mendiami daerah Kutatuha.
A. Perkembangan Kenegerian Kuta Batee (Blangpidie)Secara geografis kenegerian Blangpidie pada mulanya termasuk wilayah kenegerian Susoh. Pada mulanya orang yang mendiami daerah itu, terutama daerah sebelah Utara adalah orang dari Suku Batak dan Gayo. Namun mereka terdesak oleh penduduk yang datang kemudian, yaitu orang Minangkabau. Orang dari Aceh Besar di bawah pimpinan Teungku Di Lhong. Sedangkan orang dari Pidie yang dipimpin oleh Teuku Lampoh Deu yang mendiami di Hulu Susoh pada dataran rumput yang terletak di daerah Kuta Batee (kota Blangpidie sekarang), membuka lahan persawahan di sana. Setelah itu datang pula Teuku Ben Agam juga dari Pidie mendiami daerah Pulo Dua. Pada sekitar abad ke-19, datang pula Teuku Keucik Bo Kuta, dan mendiami daerah Kutatinggi. Sementara Panglima Langsa mendiami daerah Lampoh Drien (Meudang Ara), sedangkan Pang Ujoh mendiami daerah Kutatuha.
Pada mulanya setiap pendatang itu membentuk
koloni permukiman yang terlepas satu sama lain dan saling curiga-mencurigai,
sehingga sering terjadi peperangan antarkelompok di sana. Peperangan terus berlanjut dan baru
berakhir setelah Tuanku Husin bin Sultan Ibrahim (Alaiddin Mansursyah
1836-1870), dapat mendamaikan keduabelah pihak yang bertikai dan sekaligus
mengakui bahwa kenegerian Blangpidie di bawah Teuku Ben Agam terlepas dari
Kenegerian Susoh. Setelah Teuku Ben Agam meninggal dunia, lalu digantikan oleh
anaknya Teuku Ben Abbas, dan seterusnya digantikan oleh anaknya Teuku Ben
Mahmud.Pada masa kecil Teuku Ben Mahmud bertindak sebagai pemangku raja,
sedangkan dalam mengendalikan pemerintahan adalah Teuku Raja Sawang, uleebalang
Kenegerian Pulo Kayee. Ketika Teuku Ben Mahmud berperang melawan Belanda, lalu
Teuku Raja Sawang bertindak atas nama uleebalang Blangpidie yang menandatangani
surat
perjanjian Korte Verklaring pada tahun 1880.
Pada tahun 1908 Teuku Ben Mahmud
dikembalikan haknya sebagai uleebalang Blangpidie, setelah berdamai dengan
pihak Belanda. Hubungan antara uleebalang Blangpidie dengan uleebalang Pulo
Kayee bermula dari tokoh pendiri kenegerian Pulo Kayee yang bernama Teuku Nyak
Syech yang menikahi Nyak Buleun, cucu tertua dari Teuku Ben Agam, uleebalang
kenegerian Blangpidie yang pertama.
Teuku Ben Mahmud memerintah atas penunjukan
dari Sultan Aceh, dengan gelar Teuku Ben Mahmud Setia Raja, sekitar tahun 1885.
Sedangkan berdasarkan besluit Belanda untuk kenegerian Kuta Bate Blangpidie
dijabat Teuku Raja Sawang berdasarkan Korte Verklaring Pulo Kayee tahun 1884. Dengan
permintaan kepada Pemerintah Hindia Belanda bahwa negeri Kuta Bate (Blangpidie)
dan Pulo Kayee merupakan negeri mandiri yang berdiri sendiri-sendiri.
Pengukuhan perjanjian itu dituangkan dalam Akta No.10 tanggal 15 Juni 1901,
ketika Teuku Raja Cut memerintah. Akan tetapi Akta persetujuan tersebut tidak
sempat dilaksanakan karena terjadi kematian Teuku Raja Cut, sehingga
lama-kelamaan keturunan Teuku Ben (Teuku Ben Agam, Teuku Ben Abah dan Teuku Ben
Mahmud) dianggap sebagai penguasa terhadap kedua kenegerian tersebut.
Pada tahun 1910, kenegerian Blangpidie
terdiri dari empat Uleebalang Cut, yaitu:
- Pulo Kayee, yang dipimpin oleh Teuku Umar, mertua Teuku Raja Cut. Wilayahnya terdiri dari Keude Pulo Kayee, Alue Sungai Pinang, Guhang, Ladang Neubok, Padang Glumpang, Iku Lhueng, Paya Pisang Klat, Lhueng Tarok, Lhueng Asan, Gunong Cut, serta Alue Rambot.
- Kuta Tuha, dipimpin oleh Teuku Ben Mahmud Blangpidie, yang meliputi wilayah yaitu, Kuta Batee dan Pante Ara, yang kemudian berkembang menjadi Keude Siblah.
- Lampoh Drien, dipimpin oleh Teuku Dirih, meliptui wilayah Seunaloh, Kuta Padang, Kuta Tutong, Lampoh Drien, Alue Badeuk, serta Alue Keubeu Jagat.
- Kuta Tinggi, dipimpin oleh Teuku Lampoh U dan anaknya, Teuku Raja Itam yang meliputi wilayah Mata Ie, Kuta Tinggi, Panton Seumancang, dan Paya.
B. Kota Kuta Batee (Blangpidie) dan
Sekitarnya Pada Saat Invasi Marsose Belanda
Pada tahun 1900, pasukan Belanda melakukan invasi ke negeri Blangpidie. Belanda dan kemudian membangun Tangsi Marsose (bivak) sebanyak satu kompi di Kuta Batee, yang sebelumnya bivak tersebut berada di Susoh. Semenjak itu Blangpidie berkembang pesat sebagai kota perdagangan antarnegeri.
Perkembangan Pasar Blangpidie itu sangat
didukung oleh situasi keamanan dan kedudukan pusat militer Belanda di Blangpidie.
Dengan adanya Tangsi Militer Belanda itu banyak orang Belanda dan tentaranya
datang ke Blangpidie maka muncullah berbagai macam kebutuhan hidup, sehingga
para pedagang, terutama orang-orang Cina yang berasal dari Sibolga dan Padang
datang mendirikan toko-toko yang menjual barang-barang kebutuhan sehari-hari di
sekitar Bivak Belanda tersebut. Dalam perkembangannya ternyata para pedagang
itu tidak hanya menyediakan kebutuhan para militer Belanda yang ada di daerah
itu, tetapi juga untuk penduduk di sekitarnya termasuk dari daerah Gayo Lues.
Demikian juga dengan para pedagang, tidak hanya terbatas dari orang Cina tetapi
juga diikuti oleh pedagang lainnya, baik yang berasal dari orang Minangkabau
atau penduduk dari kenegerian yang berdekatan yaitu Susoh dan Meukek. Hal
demikian terjadi setelah tahun 1920-an semenjak selesainya jaringan jalan raya
yang menghubungkan Kutaraja dengan Tapaktuan.
Kenegerian Tangan-Tangan terdiri atas empat
wilayah kenegerian, yaitu Suak, Tangan-Tangan Cut, Tangan-Tangan Rayeuk, dan
Lhok Pawoh Utara. Namun Kreemer menambahkan satu daerah lagi, yaitu daerah
uleebalang Babah Lhok. Kenegerian itu terletak di sepanjang pantai, mulai dari
Kuala Sangkalan yang berbatasan dengan Kenegerian Susoh hingga Ujung Lhok Pawoh
yang berbatasan dengan kenegerian Manggeng.
Kenegerian Tangan-Tangan itu pada mulanya
termasuk ke dalam wilayah Kenegerian Susoh, namun kemudian memisahkan diri.
Suak dengan persetujuan Datuk Susoh memberi izin kepada Panglima Bantan dan
Panglima Giri yang berasal dari ketua kelompok petani XXV Mukim Aceh Besar
untuk membuka perkebunan lada di daerah itu, namun dengan syarat harus membayar
pajak hasil panen lada. Kewajiban membayar pajak itu hanyalah dipenuhi selama
dua tahun, kemudian mereka tidak mau membayar lagi.Datok Susoh kemudian
menyuruh Tok Kada selaku ketua kelompok petani lada dari XXII Mukim, Aceh
Besar, yang membuka perkebunan lada di Lhok Pawoh Utara untuk memerangi
kelompok Panglima Bantan dan Panglima Giri. Mereka kalah perang dan melarikan
diri, lalu Datok Susoh menyerahkan wilayah itu kepada Tok Kada. Demikian juga
dengan dua wilayah lainnya, yaitu Tangan-Tangan Cut dan Tangan-Tangan Rayeuk
diserahkan kepada Tok Kada, namun dengan syarat harus membayar pajak hasil lada
dan setiap membuka lahan pertanian di daerah itu harus mendapat izin dari Tok
Kada. Perjanjian itu juga hanya terlaksana selama dua tahun, setelah itu
diingkarinya, lalu terjadilah peperangan antara Tok Kada dengan Datuk Susoh.
Peperangan tersebut berakhir dengan cara
melakukan “tukar anak”, yaitu putera Tok Kada yang bernama Cut Hajat ditukar
dengan putera Datuk Bagak dari Susoh yang bernama Panglima Mak Tek. Cut Hajat
kemudian dinikahkan dengan perempuan dari Susoh keturunan Minangkabau,
sedangkan Panglima Mak Tek dinikahkan dengan puteri Tok Kada.
Pada tahun 1880 kerajaan negeri
Tangan-Tangan menandatangani perjanjian Korte Verklaring sebagai tanda tunduk
kepada pemerintah Belanda. Pada sekitar tahun 1888, keempat wilayah uleebalang
itu diperintah oleh seorang raja, yaitu Teuku Cut Ahmad bin Teuku Cut Hajat,
yang telah menikah dengan puteri Tuanku Raja Kecil dari negeri Seuneuam
(termasuk ke dalam wilayah kabupaten Nagan Raya sekarang).
Pada waktu itu, penduduk di wilayah itu
berasal dari XXII Mukim, Aceh Besar dan sebagian lagi berasal dari Minangkabau.
Mereka berdiam di keempat wilayah uleebalang itu dan sebagian lainnya terpencar
di daerah perkebunan lada. Mata pencaharian utamanya adalah menanam padi di
sawah dan berladang, sedangkan penanaman lada mengalami kegagalan karena
terjadinya peperangan serta tidak beresnya birokrasi pemerintahan. Hasil-hasil
perdagangan di daerah ini juga diekspor melalui pelabuhan Susoh.
Negeri Manggeng meliputi pantai Barat, yang
wilayahnya mulai dari Ujong Lhok Pawoh berbatasan dengan Lhok Pawoh Utara (Tangan-Tangan)
hingga Kuala Pawoh Baru (Krueng Baru) berbatasan dengan Labuhan Haji. Negeri
ini terdiri dari dua buah wilayah uleebalang, yaitu wilayah Uleebalang Bak Weu,
yang wilayahnya mulai dari Krueng Manggeng hingga Krueng Baru (berbatasan
dengan Labuhan Haji). Sedangkan Uleebalang Manggeng wilayahnya mulai dari
Krueng Manggeng hingga Lhok Pawoh (berbatasan dengan Tangan-Tangan). Kedua
wilayah uleebalang itu di bawah pemerintahan satu raja yaitu Datok Beusa (Datuk
Besar).
Menurut sejarah, dulu negeri ini merupakan
bagian dari wilayah negeri Susoh. Akibat larinya Panglima Bantan dan Panglima
Giri dari Suak karena kalah perang dengan Tok Kada, maka seluruh pengikutnya
menyerah dan memohon kepada Datuk Susoh untuk dapat tinggal dan menetap di
wilayah Manggeng. Mereka diizinkan tinggal di wilayah itu dengan syarat harus
memenuhi ketentuan yang berlaku dan mengakui Datok Beusar sebagai kepala.
Sebagaimana telah disebutkan pada bagian yang lalu bahwa pada masa
pemerintahannya Sultan Alauddin Jauhar Alam juga pernah mengirimkan ekspedisi
penertiban ke negeri Manggeng.
Setelah Datok Beusa meninggal dunia, kedua
anaknya menggantikannya untuk memerintah. Anaknya yang bungsu, Cut Hajat yang
lahir di Aceh Besar mendapat tugas untuk memimpin negeri Manggeng karena abangnya
mengalami keterbelakangan mental. Setelah Cut Hajat meninggal dunia, anak
abangnya yang bernama Datok Dolah mengambil alih tampuk kekuasaan. Akan tetapi
karena Datok Dolah kurang terpuji akhlaknya, sehingga ia digantikan oleh putera
Cut Hajat yang bernama Nyak Hasan menjadi raja di negeri Manggeng.
Berdasarkan keterangan dari sumber lokal
menyebutkan bahwa Kerajaan Manggeng terdiri dari dua buah wilayah uleebalang,
yaitu Uleebalang Manggeng dan Uleebalang Bak Weu. Kedua uleebalang itu
diperintah oleh satu raja. Raja pertama yang memerintah di Kenegerian Manggeng
itu adalah Datok Beusa, diyakini masih ada hubungan famili dengan Sultan
Iskandar Muda. Setelah Datok Beusa meninggal, lalu digantikan oleh anaknya, Teuku
Datok Muda. Teuku Datok Muda digantikan oleh Teuku Datok Cut Amat, lalu
digantikan oleh Teuku Datok Nyak Dolah. Teuku Datok Nyak Dolah digantikan oleh
Teuku Raja Geh, setelah itu digantikan oleh Teuku Sandang, namun karena Teuku
Sandang melakukan sesuatu kesalahan, sehingga ia diasingkan oleh Belanda ke
Batavia (Jakarta). Selama ia berada di Batavia
yang mengendalikan kerajaan untuk sementara adalah Teuku Cut Mamat (anak Teuku
Raja Geh). Tidak begitu lama ia memerintah lalu digantikan oleh Teuku Muda Nana
dan pemangku Nyak Blang. Setelah Teuku Sandang kembali dari Batavia, diangkat kembali menjadi raja di
negeri Manggeng. Tidak lama Teuku Sandang memerintah kemudian digantikan oleh
Teuku Raja Iskandar pada tahun 1933 dan sekaligus sebagai raja terakhir di
Kenegerian Manggeng.
Di antara uleebalang yang memerintah di
wilayah uleebalang Bak Weu (Lembah sabil sekarang) adalah: Nyak Makam, Teuku
Lanta, Teuku Hasan, dan Panglima Angkop. Sedangkan uleebalang yang memerintah
di wilayah uleebalang Manggeng, di antaranya Teuku Cut Leh, Teuku Gara, Teuku
Tawi, dan Teuku Sabe/Sabi. Pusat kerajaan Manggeng yang pertama terletak di di
muara sungai Ujong Manggeng (di antara gampong Padang Meurandeh (Padang Makmur)
berbatasan dengan ujung Desa Alue Rambot). Kemudian pindah ke gampong Blang
Manggeng, lalu pindah ke gampong Tokoh, setelah itu pindah ke gampong Padang, dan terakhir di
Keudai Manggeng.
Setelah merdeka, wilayah Uleebalang Bak Weu
menjadi Kemukiman Suak Beurembang dan wilayah Uleebalang Manggeng menjadi
Kemukiman Ayah Gadeng. Akan tetapi karena terlalu luas, sehingga Kecamatan
Manggeng dimekarkan menjadi 4 kemukiman. Kenegerian Manggeng menandatangani
korte verklaring sebagai tanda tunduk kepada pemerintah Belanda, pada tahun
1881.
Penduduk negeri Manggeng sebagian besar
berasal dari XXV Mukim Aceh Besar dan bercampur dengan orang Minangkabau.
Mereka mendiami Kampung Manggeng (sebelah barat sungai Manggeng) dan di Kampung
Bak Weu (sebelah selatan sungai Manggeng), dan selebihnya tersebar di
ladang-ladang. Mata pencaharian di daerah itu adalah bertanam padi di ladang
dan sedikit ditanam di sawah. Sedangkan tanaman lada tidak begitu berkembang.
Hasil-hasil perdagangan di daerah itu diekspor melalui pelabuhan Susoh.
C. Kedatangan dan Penyebaran Cina di Blangpidie
C. Kedatangan dan Penyebaran Cina di Blangpidie
Sejarah kedatangan Cina di Blangpidie
berdasarkan sumber oral history lokal dan Said Abubakar dalam bukunya Berjuang
Untuk Daerah: Otonomi Hak Azazi Insani yang diterbitkan oleh Yayasan Nagasakti
Banda Aceh pada tahun 1995. Berdasarkan oral history yang pernah diketahui
disebutkan bahwa kedatangan Cina pada awalnya dikarenakan keterlibatan mereka
dalam pembangunan Tangsi Militer Belanda di Kuta Batee (Blangpidie) dan
pembangunan rumah uleebalang Susoh Datuk Nyak Raja. Hal itu diperkuat dengan
keberadaan Datuk Nyak Raja yang merupakan seorang uleebalang dan merangkap
sebagai seorang kontraktor yang sukses karena kedekatannya dengan kolonial
sehingga ia juga dipercayakan dalam pembangunan tangsi militer Belanda di kota Blangpidie sekitar
tahun 1900. Selain itu, ia juga dipercayakan oleh Belanda dalam pembangunan
jalan raya mulai dari Blangpidie hingga ke Seumayam, di perbatasan dengan
kabupaten Nagan Raya sekarang.
Pada saat itu Belanda banyak mempekerjakan
para buruh dan pekerja dari Cina di dalam pengerjaan kontruksi bangunan bahkan
rumah pribadi Datuk Nyak Raja di Pante Perak Susoh (yang pernah digunakan
sebagai kantor Komisi Independen Pemilihan Umum Kabupaten Aceh Barat Daya) juga
dibangun oleh tukang-tukang dari Cina. Sejak saat itu banyaklah datang pedagang
Cina terutama dari Sibolga dan Padang untuk
dapat berdagang di sana.
Sejak adanya tangsi Belanda di Kuta Batee
Blangpidie maka dimulailah aktivitas kolonial Belanda di Blangpidie dan sejak
saat itu pula aktivitas Cina di kota ini dalam membangun komunitas usaha dan
perdagangan di sekitar tangsi yang digunakan sebagai pasar tradisional dalam
mempertemukan antarpembeli dan penjual, walaupun keberadaan mereka saat itu
masih sangat sedikit. Sejakpenandatanganan Korte Verklaring di Pulo Kayee oleh
pengampu Kuta Batee Raja Sawang maka sejak tanggal 9 Maret 1874, penggantian
nama kota ini
menjadi Blangpidie dimulai.
Seiring dengan semakin membaiknya
pertumbuhan kota Blangpidie yang ditopang oleh perekonomian berbasis pertanian
sawah pada masa lalu sehingga terkenal dengan “brand image” sebagai daerah
breuh sigeupai yaitu suatu jenis varietas padi unggulan di daerah itu yang
sangat terkenal ke seluruh Aceh bahkan luar daerah seperti Singkil dan Sumatera
Barat.
Munculnya plantation perkebunan kelapa sawit
dan karet di perkebunan Seumayam membuat denyut perekonomian di kota Blangpidie semakin
membaik dan stabil. Hal ini ikut mendorong semakin ramainya komunitas pedagang
di kota
Blangpidie pada saat itu sehingga Blangpidie tumbuh sebagai pusat keramaian
dari aktivitas perdagangan lokal yang difasilitasi dengan pasar, sekolah, usaha
pertanian, perkebunan, pertukangan, dan peternakan. Sejak saat itu, pusat kota Blangpidie didatangi para investor yang ingin
berdagang di sana
termasuk keberadaan pedagang Cina. Mereka menempati toko-toko di sekitar tangsi
seperti jalan Perdagangan, jalan Sentral, jalan Persada dan sedangkan pedagang
lokal lebih banyak berkonsentrasi di sekitar Pasar Ikan Lama dan jalan Selamat
di kota Blangpidie.
Permasalahan utama yang kerap terjadi di kota Blangpidie adalah kebakaran, di mana di kota ini telah terjadi berulang kali kebakaran yang
menghanguskan kota ini karena disebabkan
penggunan kontruksi bangunan pertokoan yang berbahan baku kayu. Hal ini menyebabkan sering terjadi
perubahan pada struktur “wajah” bangunan toko sehingga tidak diketahui wujud
asli keseluruhannya lagi kecuali deretan toko yang membanjar dari Barat ke
Timur di Jalan Selamat yang dapat bertahan hingga akhirnya satu per satu
mengikuti kontruksi permanen dengan pola bangunan ruko yang berlantai satu,
dua, bahkan sampai tiga seperti sekarang ini sejak tahun 2000-an pasca
kebakaran besar pada sekitar tahun 1998. Sekarang ini, selain berdagang, mereka
juga mengusahakan sarang burung walet pada bagian tertinggi toko yaitu lantai
tiga dan empat.
Sumber: Artikel ini disalin dari blognya: Boelach
Goehang [http://anisabulah.blogspot.com/]. Boelach Goehang adalah Penulis
& Peneliti di Balai Pelestarian Sejarah & Nilai Tradisional Banda Aceh,
Wil. Kerja Prov. Aceh-Sumut. Disalin ulang semata-mata untuk tujuan
mensosialisasikan, mengenalkan sejarah, budaya Aceh di mata dunia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar