Pages

Selasa, 27 November 2012

Sang Perawat Hikayat Aceh



Oleh Adi Warsidi

Di kamar ukuran 4 x 3 meter itu, sebuah lemari penuh buku menempel di dinding. Tak ada meja dan kursi, hanya selembar ambal berwarna biru. Itulah ruang kerja Drs. Teuku Abdullah Sakti (DTA Sakti), perawat hikayat Aceh yang telah lebur dan tercerai berai bersama waktu.

Pekan lalu, Tempo diajak menyelami ruangan yang terletak pada sudut rumahnya di Desa Tanjong, Darussalam, Banda Aceh. Mesin tik model lama tergeletak persis di depan lemari. Tak ada komputer, dengan mesin itulah DTA Sakti bekerja merangkai kata.


Lemari bagian atas berisi buku-buku hikayat Aceh dan Melayu yang telah dialih-bahasakan olehnya, sebagian lagi adalah buku-buku sejarah Aceh. Pak TA –begitu orang memanggilnya- adalah dosen di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Sejarah di Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh.

Harta karun ada di bagian bawah lemari kayu itu. Dokumen-dokumen tua berumur ratusan tahun tertata rapi, sebagian hampir tak terbaca. “Ini adalah kumpulan-kumpulan hikayat lama Aceh, sempat basah direndam tsunami,” sebutnya. Hikayat adalah cerita-cerita dongeng yang bersyair dan bisa berupa petunjuk dalam kehidupan. Seringkali hikayat hanya diketahui secara turun temurun yang diceritakan secara lisan.

Senin, 19 November 2012

Aceh Sumbang Palestina Rp 1,16 M



* Ribuan Penonton Sesaki Konser Amal

BANDA ACEH - Komite Nasional untuk Rakyat Palestina (KNRP) Aceh berhasil menghimpun dana senilai Rp 1.163.872.800 untuk disumbangkan kepada rakyat Palestina yang hingga tadi malam masih menghadapi agresi militer Zionis Israel. Sebanyak Rp 477.151.400 dari total dana itu terkumpul melalui kegiatan Road to Concert (RTC) di seluruh kabupaten/kota dalam Provinsi Aceh.

Sedangkan sisanya terkumpul saat Konser Kemanusian dari Aceh untuk Rakyat Palestina yang digelar kemarin di Gedung AAC Dayan Dawood Darussalam, Banda Aceh, Minggu (18/11).

Menurut Ketua Panitia Konser, Afrial Hidayat, selain uang, ada juga sumbangan dalam bentuk emas batangan, 32 jam tangan, 46 cincin emas, 18 anting emas, 1 liontin, 1 kamera, 2 laptop, dan 10 unit handphone.

Kamis, 08 November 2012

Asal Mula Lambang RI : Lambang RI Tiru Kerajaan Samudera Pasai



Lambang negara Indonesia ini meniru lambang Kerajaan Samudera Pasai yang duluan eksis.

Penulis: Murizal Hamzah 

Jangan salah duga dua lukisan di atas sekilas mirip. Namun kalau diperhatikan detil sangat berbeda. Keduanya juga merupakan lambang dua negara yang berbeda. Yang pertama Garuda Pancasila lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dan yang kedua lambang Kerajaan Samudera Pasai.
Asal muasal penggunaan lambang Garuda Pancasila sebagai lambang negara adalah bermula saat Sultan Abdurrahman Hamid Alkadrie II (Sultan Hamid II) memenangi sayembara lambang negara. Sayembara ini diadakan oleh Presiden Soekarno. Sebelumnya ada usulan lambang negara yang diajukan oleh M. Yamin namun ditolak oleh panitia karena masih ada pengaruh Jepang melalui penempatan sinar matahari.
Lambang Kerajaan Samudera Pasai
Lambang Samudera Pasai (sumber: R Indra S Attahashi)
Sejak Indonesia merdeka pada tahun 1945, baru pada tahun 1950 kita memiliki lambang negara. Jadi selama lima tahun itu Indonesia nirlambang negara. Garuda Pancasila ditetapkan sebagai lambang Negara RI pada 11 Februari 1950 yang dituangkan dalam Peraturan Pemerintah No 66 Tahun 1951.
Lalu Presiden Soekarno memperkenalkan lambang itu kepada masyarakat pada 15 Februari 1950 di Hotel Des Indes Jakarta. Sebelumnya Garuda juga sudah menjadi lambang kerajaan atau stempel kerajaan di Jawa seperti Kerajaan Airlangga.
Sebelum digunakan secara resmi sebagai lambaga negara RI, Garuda juga sudah dipakai sebagai lambang Kerajaan Samudera Pasai yang dulu kala berpusat di Aceh Utara. Kerajaan Samudera Pasai didirikan oleh Sultan Malikussaleh (Meurah Silu) pada abad ke 13 atau pada 1267. Seorang petualang Ibnu Batuthah dalam bukunya Tuhfat al-Nazha menuturkan Samudera Pasai sudah menjadi pusat studi Islam di kawasan Asia Tenggara.
Siapa sebenarnya yang merancang lambang Kerajaan Samudera Pasai? “Lambang Kerajaan Samudera Pasai dirancang oleh Sultan Samudera Pasai Sultan Zainal Abidin. Lambang burung itu bermakna syiar agama yang luas, berani dan bijaksana,” sebut R Indra S Attahashi kepada Beritasatu.com, Sabtu (6/10).
Indra menjelaskan, lambang berisi kalimat Tauhid dan Rukun Islam. Rinciannya, kepala burung itu bermakna Basmallah, sayap dan kakinya merupakan ucapan dua kalimat Syahadat. Terakhir, badan burung itu merupakan Rukun Islam.
Pria kelahiran 1974 itu menjelaskan lambang itu disalin ulang oleh Teuku Raja Muluk Attahashi bin bin Teuku Cik Ismail Siddik Attahashi yang merupakan Sultan Muda Aceh yang diangkat pasca peristiwa Perang Cumbok pada 1945. Ketika itu di Aceh Tamiang ada kerajaan sendiri bernama Kerajaan Sungai Iyu.
“Bisa saja disebut, lambang negara Indonesia ini meniru lambang Kerajaan Samudera Pasai yang duluan eksis sebelum kaum Nasionalis Marhaenisme merancang NKRI,” ungkap Indra yang juga generasi ketujuh dari Kerajaan Sungai Iyu.
Indra menjelaskan, lambang Kerajaan Samudera Pasai itu sudah ada dalam silsilah keluarganya lebih dari 100 tahun lalu. Dari kakek atau nenek, lambang itu diwariskan dari generasi ke generasi yang selalu dikisahkan bahwa itu lambang Kerajaan Samudera Pasai.
Disebutkan, asal-usul pendiri Kerajaan Samudera Pasai berasal dari keturunan Turki yakni Al Ghazy Syarif Attahashi yang merupakan panglima memimpin utusan Dinasti Usmaniyah (Ottoman) yang membantu Aceh menghadapi serangan Portugis. Kemudian panglima ketujuh itu menikah dengan seorang putri Sultan Iskandar Muda.
Perihal lambang Negara Indonesia yang mirip dengan lambang Kerajaan Samudera Pasai juga dituturkan oleh Ibrahim Qamarius dosen Universitas Malikussaleh Aceh Utara. Setelah digelar seminar International Conference and Seminar "Malikussaleh; Past, Present and Future di Aceh Utara pada 11-12 Juli 2011, masyarakat mengirim lambang Kerajaan Samudera Pasai yang merupakan replika.
Lambang itu dilukis oleh Teuku Raja Muluk Attahashi, keturunan dari panglima Turki Utsmani yang ke Aceh ketika Sultan Iskandar Muda menghadapi Portugis, pimpinan dari Panglima Tujuh Syarif Attahashi.
Ibrahim menjelaskan, walaupun lambang Indonesia mirip dengan Kerajaan Samudera Pasai belum bisa dipastikan Indonesia meniru dari Samudera Pasai. Menurutnya, perlu pengkajian lebih lanjut.
“Panitia melakukan pengkajian konprehensif mengenai lambang atau gambar tersebut dan kemungkinan dibahas pada International Conference and Seminar Malikussaleh kedua pada 2013,” ungkap Ibrahim yang mantan ketua panitia konferensi itu kepada Beritasatu.com, Sabtu (6/10).
Terlepas dari klaim inspirasi Garuda dari lambang Kerajaan Samudera Pasai, sejarawan LIPI Aswi Warman Adam menegaskan kalau klaim itu menunjukkan kecintaan bangsa Indonesia. "Ini bukanlah sebuah klaim yang menjurus ke arah negatif. Ini merupakan sebuah bentuk kecintaan bangsa Indonesia, yang dulu saat proses pemilihan lambang negara memang ikut terlibat," kata Asvi.

Lansiran BeritaSatu, 8.Oct.2012