Pages

Sabtu, 21 April 2012

Sejarah Sosiologi Komunikasi Massa.



 Latar belakang sejarahnya, embrio ilmu komunikasi dipelajari sebagai bagian dari sosiologi di Jerman dan tercakup dalam departemen bahasa Inggris di Amerika. Sejak awal hingga kini, memang banyak ilmuwan dari berbagai disiplin telah memberikan sumbangan kepada ilmu komunikasi. Antara lain Harold D. Lasswell (ilmu Politik), Max Weber, Daniel Lehner, Everet M. Rogers (Sosiologi), Carl I.Hovland, Paul Lazarsfeld (Psikologi), Wilburn Schramm (Bahasa), Shannon dan Weaver (Matematika dan Teknik).

Eklektisme dari ilmu komunikasi sebagai suatu bidang studi memang telah membawa hikmah tersendiri, yaitu melahirkan beragam teori-teori komunikasi maupun konsep-konsep tentang komunikasi. Fisher (1986) merangkum konsep-konsep komunikasi dalam empat perspektif, yaitu: Mekanistis; Psikologi; Intereksional; Pragmatis. Pengaruh konsep-konsep ilmu fisika sangat kelihatan pada perspektif mekanistis. Kemudian pengaruh psikologi paling jelas nampak pada perspektif psikologi yang merupakan pengembangan dari perspektif mekanistis dengan menerapkan teori S-R (stimulus-respons). Sedangkan pengaruh sosiologi nampak pada perspektif interaksional (bersumber dari teori interaksi simbolik) dan perspektif pragmatis (bersumber dari teori sistem).

Komunikasi massa adalah  pesan-pesan yang dikomunikasikan melalui media massa pada sejumlah besar orang” ( Bittner, Mass Communication An Introduction (1980). Komunikasi massa adalah suatu proses dalam mana komunikator –komunikator menggunakan media untuk menyebarkan pesan-pesan secara luas dan secara terus menerus menciptakan makna-makna yang diharapkan  dapat mempengaruhi khalayak yang besar dan berbeda-beda dengan melalui berbagai cara.(Defleur dan Dennis, dalam bukunya understanding mass communication(1985)

Lahirnya perspektif komunikasi sebagai sumbangan berbagai disiplin, tidaklah menghabiskan hubungan ilmu komunikasi dengan ilmu-ilmu lainnya. Kerja sama itu kemudian melahirkan berbagai subdisiplin seperti: komunikasi politik (dengan ilmu politik); sosiologi komunikasi (dengan sosiologi); psikologi komunikasi (dengan psikologi); komunikasi organisasi (dengan ilmu administrasi); komunikasi antarbudaya (denganantropologi); dan lain-lain.(referensi ini di ambil dari google)

Berdasarkan latar belakang sejarah, ilmu komunikasi telah mengalami perkembangan yang memerlukan waktu cukup panjang. Bermula dari suatu keterampilan tentang persurat kabaran (Zaitungskunde di Eropa, dan Jurnalistik di Amerika) kemudian berkembang dan berubah menjadi suatu disiplin ilmu yang bernama ilmu komunikasi.

Perkembangan di Eropa.
Surat kabar sebagai studi ilmiah mulai menarik perhatian pada tahun 1884. Studi tentang pers muncul dengan nama Zaitungskunde di Universitas Bazel (swiss, dan delapan tahun kemudian (1892) muncul juga di Universitas Leipzig di Jerman. Kehadiran pengetahuan persuratkabaran ini semakin menarik perhatian ilmuwan. Pakar sosiologi, Max Weber, pada Konggres Sosiologi (1910) mengusulkan agar sosiologi pers dimasukkan sebagai proyek pengkajian sosiologi di samping sosiologi organisasi. Weber pun telah meletakkan dasar-dasar ilmiah bagi pengkajian pers sebagai studi akademik. Sepuluh tahuan kemudian pakar sosiologi lainnya, Ferdinant Tonnies, mengkaji sifat pendapat umum dalam masyarakat massa. Dalam hubungan antara pers dan pendapat umum itulah kemudian yang menaikkan gengsi suratkabar menjadi ilmu dengan nama Zaitungswissenschaft (ilmu suratkabar) pada tahun 1925. dengan demikian persuartkabaran tidak tidak lagi dipandang sebagai keterampilan belaka (Zaitungskunde), melainkan telah tumbuh sebagai suatu disiplin ilmu. Dengan demikian publisistik diakui sebagai suatu kekuatan yang dapat mengendalikan tingkah-laku manusia dan mewarnai perkembangan sejarahnya.

Perkembangan di Amerika.
Ilmu komunikasi massa berkembang di Amerika Serikat melalui jurnalistik. Sebagai sutau keterampilan mengenai suratkabar, jurnalistik, sudah mulai dikenal sejak tahun 1970. Namun sebagai pengetahuan yang diajarkan di universitas, barulah mulai dirintis oleh Robert Leo di Washington College pada tahun 1870. Hal ini lebih berkembang lagi setelah Perang Dunia II, karena semakin pakar dari disiplin sosiologi, politik dan psikologi yang melakukan pengkajian berbagai aspek dari suratkabar, radio, film dan televisi. Pada masa ini para pakar tersebut semakin merasa bahwa jurnalistik tidak lagi mampu menampung berbagai pengkajian yang telah mereka lakukan, sehingga perlu memberi nama yang lebih sesuai yaitu ilmu Komunikasi Massa, sehingga obyek kajiannya tidak hanya mengenai suratkabar, melainkan mencakup juga radio, film dan televisi. Keempat media itu disebut media massa. Tokoh-tokoh utama dalam periode ini antara lain Harold D. Laswell, Carl I. Hovland, Paul Lazarsfeld dan Ithiel de Sola Pool. Dasar ilmiah ilmu ini semakin kokoh, dan metodoginya semakin disempurnakan.

Perkembangan ke arah lahirnya ilmu komunikasi dimulai tahun 1950-an. Para ilmuwan sosiologi, politik, dan komunikasi massa mengembangkan studi mengenai pembangunan, terutama ditujukan pada negara-negara yang baru merdeka setelah Perang Dunia II. Dengan demikian kajiannya tidak hanya menyangkut media massa saja, tetapi sudah mencakup komunikasi sosial seperti penyuluhan, ceramah dan retorika. Hal ini lebih diperkuat lagi oleh berbagai studi yang menemukan bahwa yang lebih berperan dalan proses perubahan dalam masyarakat terutama dalam penyebaran gagasan baru dan teknologi baru , justru bukan media massa, melainkan komunikasi tatap muka (persona).

Tokoh utama yang telah membawa ilmu komunikasi massa menjadi ilmu komunikasi adalah Wilbur Schramm. Ia adalah seorang sarjana bahasa Inggris yang tertarik kepada kajian komunikasi, karena memimpin sebuah University Press. Schramm yang kemudian memimpin Departemen Komunikasi Massa di Universitas Iowa, dan memimpin penelitian komunikasi di Stanford dan East West Center.  Tokoh lainnya adalah Daniel Lerner, dan Everet M. Rogers.

Perkembangan di Indonesia.
Kajian ilmu komunikasi di tanah air dimulai dengan nama Publisistik, dengan dibukanya jurusan Publisistik di Fakultas Sosial dan Politik di Universitas Gajah Mada pada tahun 1950. Juga di Fakultas Hukum dan Ilmu Pengetahuan Masyarakat di Universitas Indonesia pada tahun 1959. Demikian juga pada tahun 1960 di Universitas Pajajaran Bandung dibuka Fakultas Jurnalistik dan Publisistik. Melalui proses yang panjang lahirlah Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 107/82 tahun 1982. Keppres ini membawa penyeragaman nama disiplin ilmu ini menjadi ilmu komunikasi.

Beberapa tokoh yang telah berjasa memasukkan ilmu komunikasi ke Indonesia dan kemudian mengembangkannya di Universitas antara lain: Drs. Marbangun, Sundoro, Prof. Sujono Hadinoto, Adinegoro, dan Prof. Dr. Mustopo. Pada tahun 1960-an, deretan tokoh ini bertambah lagi dengan datangnya dua orang pakar dalam bidang kajian ilmu komunikasi, yaitu Dr. Phil. Astrid S. Susdanto dari Jerman Barat (1964); dan Dr. M. Alwi Dahlan (beliau secara langsung diajar oleh Wilbur Schramm) dari Amerika Serikat (1967).

Kajian Sosiologi tentang komunikasi Massa
Telaah sosiologi terhadap fenomena kominikasi massa belum sepenuhnya berkembang seperti yang diharapkan. Penyebab yang terpenting antara lain karena luasnya masalah itu sendiri. Disamping adanya beberapa orientasi atau tema yang mendominasi studi mengenai masalah ini pada masa lalu.

Beberapa Pendekatan dalam Kajian Sosiologi Komunikasi Massa
Seharusnya sosiologi komunikasi massa mengkaji secara mendalam masalah-masalah pokok yang begitu luas, mengenai interaksi media massa dengan masyarakat media massa dengan institusi social yang lain, dan system komunikasi massa dengan system-sistem social lainnya.

Komunikasi Massa Sebagai Suatu Pranata Sosial
Menurut Almond keterkaitan antara elemen tersebut memilki ciri-ciri tertentu. Yaitu :
-          Kekomprehensifan
-          Interdependensi
-          Adanya batas

Menurut Reading, system social merupakan suatu system dari elemen-elemen social. Mihel berpendapat bahwa system social pada dasarnya terdiri dari dua individu  yang melakukan interaksi secara langsung dan tidak langsung dalam suatu situasi kebersamaan. Yang menjadi perhatian khusus adalah orientasi para individu yang menjadi unsur system tersebut.

Media Massa dan Sosial Kontrol
Apabila kita membaca surat kabar maka berita yang kit abaca merupakan hasil interaksi antara system komunikasi massa dengan system-sistem  social hasilny seperti misalnya system politik dan system ekonomi. System komunikasi massa dapat mempengaruhi system pendidikan, misalnya system komunikasi massa yang terlalu berorientasi untuk mencapai keuntungan, sehingga segala sesuatu diarahkan untuk mendapatkan uang.

Efek Sosial Komunikasi Massa
            Pertumbuhan media massa sebagai perangkat kehidupan baik bagi individu maupun untuk bermasyarakat, turut mengubah masyarakat yang tadinya bersifat agraris menjadi masyarakat kota. Pada saat yang sama, pertumbuhan menuju masyarakat yang bersifat urban itu memang membutuhkan sarana dan aktivitas komunikais yang bersifat modern, yakni komunikasi massa.

Teori yang Menjelaskan Peniruan dari Media Massa
Aktivitas dan isi dari komunikasi massa turut membentuk masyarakat massa. Hal ini karena sebagian dari isi yang dikandung dan disebarluaskan oleh media massa adalah apa yang dikenal sebagai budaya massa. Budaya massa pada saat ini lebih banyak menghasilkan seni yang ringan dan hal-hal yang tak mungkin. Akibatnya orang cenderung menyukai karya yang ringan-ringan. Hal ini berakibat timbul penggolongan budaya tinggi dan budaya rendah. Peran media massa dalam hal ini sangat besar, ditunjang pula dengan adanya publisitas, iklan dan reportase.

Media Massa dan Proses Sosialisasi
            Tanpa mengikari fungsi dan maafaat media massa dalam kehidupan masyarakat, disadari adanya sejumlah efek sosial negatif yang ditimbulkan oleh media massa. Karena itu media massa dianggap ikut bertanggung jawab atas terjadinya pergeseran nilai-nilai dan perilaku di tengah masyarakat seperti menurunnya tingkat selera budaya, meningkatnya kejahatan, rusaknya moral dan menurunnya kreativitas yang bermutu. Efek negatif yang ditimbulkan oleh media massa terutama dalam hal delinkuensi dan kejahatan bersumber dari besarnya kemungkinan atau potensi pada tiap anggota masyarakat untuk meniru apa-apa yang disaksikan ataupun diperoleh dari media massa. Pengenaan (exposure) terhadap isi media massa memungkinkan khalayak untuk mengetahui sesuatu isi media massa, kemudian dipengaruhi oleh isi media tersebut. Bersamaan dengan itu memang terbentang pula harapan agar khalayak meniru hal-hal yang baik dari apa yang ditampilkan media massa.

Media Massa sebagai Agen Sosialisasi
            Kemungkinan dan proses bagaimana terjadinya peniruan terhadap apa yang disaksikan atau diperoleh dari isi media massa dapat dipahami melalui beberapa teori. Yang pertama adalah teori peniruan atau imitasi. Kemudian teori berikutnya tentang proses mengidentifikasi diri dengan seseorang juga menjelaskan hal yang sama. Sedangkan teori social learning mengungkapkan faktor-faktor yang mendorong khalayak untuk belajar dan mampu berbuat sesuatu yang diperolehnya dari interaksi sosial di tengah masyarakat.


Jumat, 13 April 2012

Menilik Gempa Menurut Ayat-Ayat Al-Quran


Memang segala kejadian di muka bumi ini hak mutlak ketetapan Allah. Dia semata yang mengetahuinya. Kapan dan di mana kejadian tersebut sudah Dia ketahui dan rencanakan dengan detail. Demikian pula gempa bumi yang terjadi di Sumatera, Rabu 11 April 2012 yang yang membuat masyarakat trauma akan tsunami, apalagi BMKG mengatakan gempa yang terdahsyat ke tiga di Indonesia ini berpotensi tsunami.
Gempa berkekuatan 8,9 skala richter mengguncang wilayah pulau Sumatra. Gempa tersebut terjadi pada pukul 15.38 WIB, dengan kedalaman 10 Km. Lokasi gempa berada di 2.31 Lintang Utara dan 92.67 Bujur Timur.

Gempa susulan terjadi berkekuatan 8,5 SR terjadi pada pukul 15.48 WIB, Rabu (11/4/2012), dengan kedalaman 10 Km. Lokasi gempa sama seperti gempa yang pertama. Gempa susulan kembali terjadi di Nangroe Aceh Darussalam (NAD) berkekuatan 6,5 skala richter (SR), pukul 16.28 WIB. Lokasinya di 1.21 LU, 91.27 BT atau 510 km Barat Daya Kabupaten Simeulue, NAD. 

Informasi dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Rabu (11/4/2012), gempa tersebut terjadi pukul 17.21 WIB. Lokasinya 2.94 LU, 93 BT atau 335 BaratLaut Kabupaten Simeulue, NAD. Kedalaman 23 km. Hingga saat ini, peringatan tsunami untuk wilayah Bengkulu, Lampung, Nangroe Aceh Darussalam, Sumatra Barat dan Sumatra Utara, belum dicabut. 

Mari kita teliti kejadian gempa menurut Al-quran.

1.      Kejadian gempa pada tanggal 11 April 2012
Dan ini dapat kita buka Al-quran surat ke 11 (Hud) : 4 yang bunyinya “kepada Allahlah kamu kembali, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu”

2.      Gempa pertama terjadi pada jam 15:38
sampai hari (suatu) waktu yang telah ditentukan, yakni waktu tiupan pertama tanda permulaan hari kiamat”(AL HIJR)

3.      Gempa ke dua yang terjadi pada jam 15:48
Mereka tidak merasa lelah di dalamnya dan mereka sekali-kali tidak akan dikeluarkan daripadanya” (AL HIJR)

4.      Gempa ke tiga terjadi pada jam 16:28
(yaitu) orang-orang yang dimatikan oleh para malaikat dalam keadaan berbuat zalim kepada diri mereka sendiri, lalu mereka menyerah diri (sambil berkata); "Kami sekali-kali tidak ada mengerjakan sesuatu kejahatanpun". (Malaikat menjawab): "Ada, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang telah kamu kerjakan". (AN NAHL )

Dan ketika Allah akan menurunkan adzab kebinasaan kepada suatu penduduk negeri maka diadakan di antara mereka para pemimpin yang suka hidup mewah dan kufur kepada Allah, sehingga mereka menyeru rakyatnya kepada kekufuran, maka ketika mereka melakukan hal itu tiba saatnya adzab turun.

Kekufuran para pemimpin ini sudah terlalu lama, yaitu dengan menolak hukum Allah (syariat Islam), menggantinya dengan produk hukum manusia. Contohnya demokrasi. Syariat dikesampingkan, tradisi dan aturan hidup yang menyelisihi Islam dibudidayakan. Akhirnya yang diharamkan oleh Islam dihalalkan, begitu juga sebaliknya. Para mujahid dihabisi, sementara penjahat dilindungi.

Tentang ada atau tidaknya kaitan antara ayat-ayat di atas dengan bencana tidak ada satu dalil sharih yang menunjukkannya. Namun, semestinya bencana menjadi pelajaran bagi kita. Introspeksi dan muhasabah terhadap kesalahan dan kedurhakaan kepada Allah harus segera dilakukan, supaya musibah tidak terulang.

Sumber : Inilah.com, voa-islam

Minggu, 08 April 2012

Sore Di Syiah Kuala Beach





FEMINISME BARAT DAN ETNOSENTRISME



Kaum feminis Barat dan pendukungnya yang telah menyaksikan sejarah panjang gelombang feminisme sebagai gerakan kekuatan perjuangan hak-hak asasi perempuan, sering merasa heran ketika mendapati tidak semua kaum perempuan di dunia tertarik pada feminisme. Banyak perempuan berlatar belakang non-Barat:, termasuk Indonesia, mengkonotasikan feminisme Barat secara pejorative, bahkan menganggapnya dirty word. Reaksi perempuan berlatar budaya ragam ini mengejutkan banyak pendukung feminisme Barat.
Dalam memahami ketidakmengertian dan ketidaksukaan terhadap feminisme Barat ini, penting kiranya mengkaji dan menjawab dua pertanyaan berikut. Pertama, seberapa jauh feminisme Barat telah mengabaikan pengalaman perempuan dari budaya yang berbeda? Berikutnya, respon apa yang muncul sebagai akibat dari teori-teori feminisme Barat yang etnosentris?

Keragaman Budaya
Ketimpangan yang dihadapi perempuan dalam hal pembagian kekuasaan, sumber daya, dan akses terhadap informasi terjadi di tingkat intra-negara dan inter-negara. Namun, feminis Barat sering mengabaikan pengalaman perempuan dari latar belakang budaya yang berbeda dengan mereka. Sebagian besar feminis Barat lebih berfokus pada kebutuhan dan masalah-masalah mereka yang mendesak sehingga mereka cenderung mengkaji isu gender yang mengacu pada kelas dan budaya mereka sendiri (kelas menengah kulit putih). Kecenderungan ini disebut dengan istilah etnosentrisme.
Feminis Barat mengklaim teori tentang perempuan bersifat lintas-budaya, jika tidak universal. Namun, dengan menutup mata terhadap perbedaan di kalangan perempuan yang termarginalisasi atau terjauhkan jaraknya dari pelaku inti feminisme arus utama, maka kebutuhan dan masalah-masalah yang dihadapi perempuan marginal tersebut tidak terlihat dan karenanya tidak masuk perhitungan feminisme Barat.
Dalam kasus-kasus di mana feminis Barat mengakui keberagaman perempuan internasional, mereka ternyata juga masih kurang memahami ketimpangan kekuatan tajam antara negara-negara dunia pertama dengan negara-negara dunia ketiga. Seperti disinyalir Barret dan McIntosh (1985) dalam Ethnocentrism and Socialist Feminist Theory, perempuan kulit putih Barat memiliki hak istimewa dan kelas yang memberi mereka akses pada media, pendidikan dan pengajaran, dan pertemuan publik. Dengan kekuatan itu, mereka bebas membentuk citra rata-rata perempuan dunia ketiga yang secara tidak adil dikenakan sama rata pada seluruh perempuan berlatar budaya ragam.
Dalam Under Western Eyes, Chandra Talpade Mohanty (1988) juga mengkritik feminis Barat yang mendefmisikan perempuan dunia ketiga secara stereotip sebagai "tidak progresif, tradisional, buta hukum, bodoh, terbelakang, dan kadang revolusioner". Sementara itu, perempuan Barat menganggap dirinya "sekular, modern, terbebaskan, dan memiliki kontrol atas hidup mereka sendiri". Alih-alih mendukung kompleksitas dan dinamika perempuan berbudaya ragam, teori-teori feminisme yang etnosentris dan universalis rnencipcakan asumsi tak tepat tentang peran perempuan berbudaya ragam dan menyepelekan kemampuan mereka dalam memberi kontribusi untuk pemikiran-pemikiran feminisme.
Adalah hal menggembirakan bahwa perempuan berbudaya ragam kini tidak sekadar pasif dan menerima begitu saja teori-teori feminisme arus utama. Pandangan etnosentris feminis Barat dianggap tak mampu memenuhi kebutuhan perempuan berbudaya ragam. Karenanya, mereka berusaha mengembangkan teori-teori lain yang lebih sesuai dengan kebutuhan mereka yang khusus, kompleks, dan beragam. Munculnya feminisme kulit hitam, feminisme Eropa Timur, dan feminisme Islam, akan diulas secara ringkas dalam tulisan ini sebagai contoh menarik.

Feminisme Islam
Selain respon dua kalangan di atas, muncul pula respon dari kalangan Islam. Gerakan feminis telah lama mendapat sambutan kuat di dunia Islam. Jantung diskursus gerakan feminis Islam adalah isu reinterpretasi progresif terhadap Alquran, seperti sedang dikaji antara lain oleh Riffat Hasan dan All Asghar Engineer.
Salah satu kritik utama feminis Islam terhadap feminis Barat adalah kecenderungannya kepada sekularisme. Menurut teologi feminisme Islam, konsep hak-hak asasi manusia yang tidak berlandaskan visi transendental merupakan hal yang tragis. Karenanya, mereka berpandangan gerakan perempuan Islam harus berpegang pada paradigma agama supaya tidak menjadi sekular. Fatima Mernissi (1988) dan Issa J. Boullata (1989), misalnya, menegaskan bahwa perempuan Islam harus mengembangkan program-program feminisnya sendiri dengan menggunakan kerangka acuan yang Islami.

Penutup
Dalam merespon etnosentrisme, perempuan berbudaya ragam telah mengembangkan pergerakan feminisme mereka masing-masing, dalam rangka mendapat tempat dalam masyarakat dan juga dalam diskursus feminisme yang didomiriasi oleh perempuan kelas menengah berkulit putih. Aksi ini tidak menempatkan gerakan mereka sebagai gerakan eksklusif di luar feminisme arus utama. Tetapi sebaliknya, pengemukaan masalah etnosentrisme telah memperluas kajian mengenai rentang pengalanian clan kondisi kaum perempuan berbudaya ragam. Etnosentrisme nan-is digantikan oleh pengakuan dan penghargaan terhadap perbedaan dan keberagaman (diver-sity).

Selasa, 03 April 2012

Komunikasi Antar Budaya : Suatu Tinjauan Antrologis

Suatu budaya mempengaruhi komunikasi dalam banyak hal. Budayalah yang menentukan waktu dan jadwal peristiwa-peristiwa antarpersonal, tempat-tempat untuk membicarakan topik-topik tertentu, jarak fisik yang memisahkan antara seorang pembicara dengan orang lain, serta nada suara yang sesuai untuk pembicaraan tertentu. Budaya dalam hal ini, melukiskan kadar dan tipe kontak fisik yang dituntut oleh adat kebiasaan dan intensitas emosi yang menyertainya, yang meliputi hubungan antara apa yang dikatakan dan apa yang dimaksudkan, seperti “tidak”  maksudnya mungkin dan “besok” maksudnya “tidak pernah”. Oleh karena itu kita harus mempelajarinya lebih dalam agar tidak adanya kesalahpahaman atas informasi yang kita peroleh.
Inilah hal-hal penting yang tidak boleh diabaikan, seperti contoh seorang pengusaha yang berbisisnis  ke luar negeri, bila ia tidak mau menghadapi resiko maka ia harus mempelajari budaya yang dianut oleh negara yang ditujunya itu, meskipun hal tersebut sulit dipahami karena setiap orang merasa budayanyalah yang paling benar.

Berikut ini adalah hal-hal penting yang harus diperhatikan dalam mempejalari kebudayaan :

·      Bahasa

Orang Amerika sering dituduh tidak cakap dalam berbahasa, karena mereka kurang tertarik mempelajari bahasa-bahasa asing. Tetapi ada juga suatu bangsa yang secara inheren tertarik mempelajari bahasa dari pada bangsa lain karena adanya kesempatan dan intensif untuk belajar, seperti orang Eropa Barat atau Tengah yang sejak kecil mendengarkan pembicaraan-pembicaraan dalam bahasa asing, hal itu membuat mereka mempelajari bahasa tersebut. Mungkin jika anak Amerika memiliki kesempatan dan berada sama diposisi anak Eropa tesebut mungkin ia  akan bertindak serupa.
Kita tidak boleh meremehkan kerusakan yang diakhibatkan oleh kekurangmampuan kita dalam berbahasa, seperti kerusakan hubungan dengan relasi-relasi di seluruh dunia. Memang, bila kita tidak dapat berbicara bahasa seseorang, sangat sulit bagi kita untuk berkomunikasi dengannya.
Meskipun bahasa-bahasa telah dipelajari, mungkin saja terdapat kesalahan seperti pada perbendaharaan kata, tata bahasa,dan fasilitas verbal yang tidak memadai. Akan tetapi tidak terjadi kesalahan jika orang tersebut memahami isyarat-isyarat halus yag implisit dalam bahasa, nada suara, gerak-gerik dan ekspresi. Jika Ia salah menafsirkan apa yang dikatakan padanya, mungkin akan menyinggung perasaan orang lain tanpa mengetahui bagaimana atau mengapa hal tersebut bisa terjadi.

·      Maksud dari perkataan

Di Amerika serikat, lebih mementingkan pernyataan yang langsung. Orang Amerika yang “baik” diharapkan mengatakan apa yang ia maksudkan dan memaksudkan apa yang ia katakan. Bila mengenai hal penting tetapi seseorang berbicara berputar-putar dan mengelak-elak, mereka cendrung menganggapnya sebagai orang yang tak dapat diandalkan atau bahkan tidak jujur. Berbeda halnya dengan orang Indonesia, mereka lebih cenderung berbicara tidak langsung dan perkataannya itu mengandung makna yang tersirat, ini tidak berarti bahwa mereka terlalu berbelit-belit, tetapi  dalam beberapa hal mereka mempertimbangkan kesopanan. Beginilah budaya, beda tempat, beda pula kebudayaannya. Karena kita ketahui bahwa orang Amerika tersebut berbicara cendrung blak-blakan, sedangkan orang Indonesia berbicara penuh dengan ungkapan.
Dalam beberapa budaya lain, kata-kata dan makna kata-kata tersebut tidak mempunyai hubungan langsung. Orang-orang mungkin lebih memperhatikan konteks emosional situasi dari pada memperhatikan makna kata-kata tertentu. Ini mungkinkan mereka memberikan jawaban yang sesuai dan menyenangkan atas suatu pertanyaan, karena jawaban yang harfiah dan faktual bisa menyinggung perasaan dan mempermalukan orang lain.

·      Orang-orang Perasa

Manusia berkomunikasi tidak hanya dengan kata-kata saja, tetapi juga dengan nada suaranya, ekspresi wajahnya, gerak-geriknya, semua itu mengandung makna yang perlu diperhitungkan. Jadi, tidak hanya dari bahasa-bahasa saja yang membingungkan, tetapi juga dari gerak-gerik serta isyarat-isyarat kultural. Anggukan seseorang bisa saja berarti negatif bagi orang lainnya, karena setiap budaya memiliki rangkaiannya sendiri, yang terdiri dari tanda-tanda bermaka, lambang-lambang, gerak-gerik, konotasi emosi, rujukan historis, respon trsadisional dan--juga penting--diam yang mengandung makna.
Perhatikan tradisi Aglo saxon untuk menjaga kekalemannya. Orang Amerika diajari oleh budayanya untuk menekankan perasaannya. Ia dikondisikan untuk menganggap emosi sebagai hal yang umumnya jelek (kecuali pada wanita lemah yang tidak dapat menolong dirinya sendiri), dan mengendalikan diri dengan baik. Semakin penting masalah yang ia hadapi, maka semakin tenang penampilannya. Berkepala dingin, roman muka keras, pikiran tenang--bukanlah secara kebetulan saja seperti ciri-ciri ini yang diperihatkan oleh pahlawan-pahlawan dalam film Western.
Berbeda dengan kebudayaan di Timur tengah. Sejak masa kanak-kanak orang Arab dibolehkan, bahkan didorong untuk menyatakan perasaannya dengan bebas. Lelaki dewasa boleh menangis, berteriak, memberi isyarat dengan ekspresif, meloncat ke atas dan ke bawah, mereke dikagumi sebagai orang yang tulus.Sedangkan Orang Anglo saxon yang tenang dan punya control diri tersebut dapat dicurigai—ia pasti menyembunyikan sesuatu, berusaha untuk menipu. Orang Arab yang gembira sekali dan emosional boleh jadi membuat orang Anglo saxon risi, membuatnya malu dan berfikir : tidaklah prilakunya kekanak-kanakan? Apakah segala tidak bisa dikendalikan?.
Dalam hal lain, terdapat perbedaan lainnya tentang  intonasi seseorang dalam berbicara. Di dunia Arab, dalam pembicaranan-pembicaraannya, lelaki Arab berbicara dengan suara yang dianggap agresif dan menjengkelkan di Amerika Serikat. Suara yang keras memberikan konotasi kekuatan dan ketulusan di antara orang-orang Arab, suara lemah bisa berarti kelemahan dan tipu daya.  Anggapan ini menyebabkan beberapa orang Arab, mengabaikan apapun yang mereka dengar dari radio “Voice of America” karena suaranya begitu lemah.
Namun, status pribadi menentukan nada suara pada masyarakat Arab. Orang-orang Arab Saudi menunjukkan rasa hormatnya kepada atasan—misalnya kepada syekh—dengan menurukan suaranya dan bergumam. Orang Amerika berstatus tinggi, mungkin juga akan diperlakukan seperti ini oleh orang Arab, hal ini menimbulkan suasana yang semakin sulit, karena dalam budaya Amerika orang secara tidak sadar ”meminta” orang lainnya untuk meninggikan suaranya sendiri, orang Amerika berbicara keras. Ini menyebabkan suara orang Arab akan lebih rendah lagi dan memperbanyak gumammnya. Ini mengundang oranga Amerika lebih mengeraskan suaranya lagi—yang menyebabkan orang Arab ketakutan dan punya kesan bahwa orang Amerika itu tidak sopan. Pada akhirnya, mereka akan berpisah dengan saling tidak menghormati satu sama lain.
·   Kontak Fisik

Seberapa jauhkah kontak fisik sebaiknya dilakukan dalam percakapan social atau bisnis. Di Amerika Serikat, tidak adanya kontak fisik, terutama diantara laki-laki dewasa. Yang paling umum diakukan adalah berjabat tangan, jika dibandingkan dengan orang-orang Eropa, orang Amerika lebih sedikit melalakukannya.
Di Amerika latin, jabat tangan adalah bentuk sapaan atau cara menyatakan perpisahan yang paling interpersoanal. Cara yang lebih ramah, dengan meletakkan tangan kiri di atas bahu orang lain ketika berjabat tangan, sedangkan cara yang lebih intim lagi dan hangat yaitu doble abrazo dimana dua lelaki berpelukan dengan meletakkan lengan masing-masing diatas bahu lawan berpelukan.
Meskipun demikian, terdapat budaya yang lebih membatasi kontak fisik daripada budaya Amerika serikat yaitu budaya orang jawa, seperti pada kejadian seorang pegusaha Amerika Latin menghadiri pesta di jawa. Ia melanggar batas-batas budaya setempat dengan berprilaku yang tidak diterima. Ia  sedang berusaha mengembangkan suatu hubungan bisnis dengan seorang Jawa yang terpandang yang tampaknya berjalan mulus. Tetapi semuanya gagal, ia diberi tahu oleh orang lain, bahwa ia telah melatakkan tangannya sesaat diatas bahu orang Jawa itu dihadapan orang banyak. Cara ini merendahkan dan hampir tidak termaafkan oleh etiket Jawa tradisioal. Dalam kasus itu orang Amerika itu memohon maaf atas pelanggarannya yang tidak disengaja. Namun hubungan bisnis tersebut tidak pernah terlaksana.

·   Lima Dimensi Waktu
Bagi orang-orang bisnis, lima konsep waktu yang penting adalah : waktu untuk bertemu, waktu untuk berdiskusi, waktu untuk berkenalan, waktu untuk berkunjung dan jadwal waktu.
Di Amerika Latin, tak perlu kaget bila harus menunggu berjam-jam diluar kantor. Bila kita menafsirkan ketetapan waktu dengan cara Amerika Serikat di sebuah kantor Amerika Latin, kita akan tegang dan tekanan darah akan meninggi. Karena kita harus menunggu 45 menit, berbeda halnya dengan di Amerika, kita hanya menunggu 5 menit saja. Perlakuan Amerika latin seperti ini tidak bermaksud menghina atau meremehkan si penunggu, karena memang konsep tentang waktunya seperti itu. Sama halnya seperti orang Indonesia yang punya budaya “jam karet”. Orang Amerika latin memiliki konsep waktu yang bersifat informal, jika terlambat 45 menit dari jadwal itu merupakan hal yang biasa saja bagi mereka.
Kekeliruan budaya itu dapat berlipat ganda karena salah perhitungan. Di Amerika Serikat, orang yang selalu lambat dianggap tidak dapat diandalkan, dan ini merupakn suatu kesimpulan yang masuk akal bila mereka menggunakna waktu kulturalnya. Bagi mereka untuk menilai seorang Amerika Latin dengan menggunakan skala nilai waktu Amerika, berarti menghadapi suatu resiko yang besar.
·      Tempat Untuk Segala sesuatu
Pada setiap Negara memiliki pembatasan-pembatasan tempat yang berbeda ketika melakukan sebuah komunikasi, misalnya saja komunikasi dalam dunia bisnis dan politik. Bagi orang yang tidak sadar akan aturan yang dimiliki oleh tempat lainnya, maka ia akan membuat orang tersebut tersinggung.
Di India, tidak selayaknya berbicara bisnis ketika sedang mengunjungi rumah seseorang. Bila kita melakukannya maka akan kehilangan kesempatan untuk mengadakan  hubungan bisnis yang memuaskan.
Di Amerika Latin, meskipun mahasiswa-mahasiswa berminat pada politik, tradisi menentukan bahwa seorang politikus harus menghindari topik-topik politik ketika berbicara di Universitas. Seorang politikus Amerika Latin mengatakan kepada antropolog Allan Homberg bahwa ia dan rekan-rekan politisi lainnya takkan berani berbicara tentang politik di Universitas San Marcos di Peru—seperti yang dilakukan Wakil Presiden Nixon.
Masalahnya menjadi ruwet ketika mahasiswa-mahasiswa San marcos, setelah mengetahui rencana kunjungan Nixon, mereka lebih suka Nixon tidak datang. Sebenarnya rektor Universitas pun tidak mengundang Nixon sebenarnya, karena ia khawatir bahwa Nixon akan berbicara tentang politik, dan itu memang terjadi. Hal ini menyebabkan kesalahfahaman  kebudayaan, sehigga menimbulkan miss communication.
Berbeda dengan Negara lain, di Indonesia tidak adanya batasan tempat pada saat melakukan hubungan bisnis maupun komunikasi politik. Dimana saja bisa dilakukan, asalkan mengukuti prosedur yang ada.
·   Nyaman Dalam Ruang
Kita Ambil satu contoh perbandingan orang Amerika Serikat dengan orang Amerika Latin. Orang Amerika Serikat lebih cenderung menghina orang Amerika dengan tidak sengaja yaitu ketika mereka menangani hubungan-hubungan ruang atau jarak, khusunya selama percakapan berlangsung.
Ketika  ada suatu percakapan antara orang Amerika Serikat dengan Amerika latin yang dimulai dari ujung ruangan. Beberapa kali orang Amerika Latin itu maju dan orang Amerika pasti mundur, dan akhirnya mereka berada di ujung lain rungan itu.  Gerakan-gerakan yang agak lucu ini dilakukan untuk memperoleh rasa yang nyaman ketika berbicara.
·   Pengaruh Status Atas Komunikasi

Perbedaan status dan kelas sosial menyebabkan orang-orang yang berstatus berbeda sulit menyatakan opini secara bebas dan terus terang dalam diskusi dan perdebatan. Pada Budaya Amerika Latin orang berstatus lebih rendah harus menyatakan rasa hormat kepada atasannya, mereka menekankan pentingnya pemeliharaan hubungan-hubungan pribadi secara harmonis, meskipun hubungan tersebut besifat dangkal. Ini sama halnya dengan kebudayaan yang di anut oleh orang Indonesia, sangat menjunjung tinggi hierarki kekuasaan.
Berbeda dengan orang Amerika, jika kita mengemukan sesuatu kepada atasan, menyatakan apa yang sesungguhnya kita fikirkan, bahkan mungkin tidak sependapat dengannya, ini merupakan suatu hal yang wajar saja. Karena perbedaan status tidak begitu kuat terjadi pada orang Amerika tersebut.

·      Penyesuaian Diri Berjalan Dua Arah

Seseorang tidak perlu menghabiskan hidupnya untuk mempelajari berbagai budaya, karena tidak ada satu budayapun yang bersifat statik, semua budaya secara konstan  berubah. Seperti Indonesia yang sedikit menggunakan budaya Negara lain. Hal ini tidak terelakkan dan mungkin konstruktif bila kita tahu bagaimana menggunakan pengetahuan kita. Tinggal kita menyadari dampak perubahan ini pada diri kita dan belajar memanfaatkan perubahan-perubahan tersebut secara trampil. Dan oleh sebab itu kita harus memahami bagaimana kedua budaya tersebut saling berinteraksi.

·      Konformitas atau Penyesuaian Diri

Untuk bekerjasama dengan orang-orang kita tidak harus seperti mereka. Bila kita melakukan konformitas(keseragaman) sepenuhnya, maka orang Arab, orang Amerika Serikat, orang America Latin, orang Italia, dan siapapun akan menganggap prilaku kita membingungkan dan tidak tulus. Ia mencurigai motif kita. Kita diharapkan untuk berbeda, namun kita juga diharapakan untuk menghormati dan menerima orang-orang lain apa adanya. Dan kita tidak terlalu memaksa kepribadian kita, belajar berkomunikasi dengan mereka dengan mengamati tradisi-tradisi mereka.
Kesadaran tentang adanya kekeliruan-kekeliruan dalam hubungan lintas budaya merupakan langkah maju pertama yang besar. Dan menerima fakta bahwa pendirian-pendirian orang lain merupakan suatu langkah maju lainnya.