Suatu budaya
mempengaruhi komunikasi dalam banyak hal. Budayalah yang menentukan waktu dan
jadwal peristiwa-peristiwa antarpersonal, tempat-tempat untuk membicarakan topik-topik
tertentu, jarak fisik yang memisahkan antara seorang pembicara dengan orang
lain, serta nada suara yang sesuai untuk pembicaraan tertentu. Budaya dalam hal
ini, melukiskan kadar dan tipe kontak fisik yang dituntut oleh adat kebiasaan
dan intensitas emosi yang menyertainya, yang meliputi hubungan antara apa yang dikatakan dan apa yang dimaksudkan,
seperti “tidak” maksudnya mungkin dan
“besok” maksudnya “tidak pernah”. Oleh karena itu kita harus mempelajarinya
lebih dalam agar tidak adanya kesalahpahaman atas informasi yang kita peroleh.
Inilah
hal-hal penting yang tidak boleh diabaikan, seperti contoh seorang pengusaha
yang berbisisnis ke luar negeri, bila ia
tidak mau menghadapi resiko maka ia harus mempelajari budaya yang dianut oleh negara
yang ditujunya itu, meskipun hal tersebut sulit dipahami karena setiap orang
merasa budayanyalah yang paling benar.
Berikut
ini adalah hal-hal penting yang harus diperhatikan dalam mempejalari kebudayaan
:
· Bahasa
Orang
Amerika sering dituduh tidak cakap dalam berbahasa, karena mereka kurang
tertarik mempelajari bahasa-bahasa asing. Tetapi ada juga suatu bangsa yang
secara inheren tertarik mempelajari
bahasa dari pada bangsa lain karena adanya kesempatan dan intensif untuk
belajar, seperti orang Eropa Barat atau Tengah yang sejak kecil mendengarkan
pembicaraan-pembicaraan dalam bahasa asing, hal itu membuat mereka mempelajari
bahasa tersebut. Mungkin jika anak Amerika memiliki kesempatan dan berada sama
diposisi anak Eropa tesebut mungkin ia
akan bertindak serupa.
Kita
tidak boleh meremehkan kerusakan yang diakhibatkan oleh kekurangmampuan kita
dalam berbahasa, seperti kerusakan hubungan dengan relasi-relasi di seluruh
dunia. Memang, bila kita tidak dapat berbicara bahasa seseorang, sangat sulit
bagi kita untuk berkomunikasi dengannya.
Meskipun
bahasa-bahasa telah dipelajari, mungkin saja terdapat kesalahan seperti pada
perbendaharaan kata, tata bahasa,dan fasilitas verbal yang tidak memadai. Akan
tetapi tidak terjadi kesalahan jika orang tersebut memahami isyarat-isyarat
halus yag implisit dalam bahasa, nada suara, gerak-gerik dan ekspresi. Jika Ia
salah menafsirkan apa yang dikatakan padanya, mungkin akan menyinggung perasaan
orang lain tanpa mengetahui bagaimana atau mengapa hal tersebut bisa terjadi.
· Maksud
dari perkataan
Di
Amerika serikat, lebih mementingkan pernyataan yang langsung. Orang Amerika
yang “baik” diharapkan mengatakan apa yang ia maksudkan dan memaksudkan apa
yang ia katakan. Bila mengenai hal penting tetapi seseorang berbicara berputar-putar
dan mengelak-elak, mereka cendrung menganggapnya sebagai orang yang tak dapat
diandalkan atau bahkan tidak jujur. Berbeda halnya dengan orang Indonesia,
mereka lebih cenderung berbicara tidak langsung dan perkataannya itu mengandung
makna yang tersirat, ini tidak berarti bahwa mereka terlalu berbelit-belit,
tetapi dalam beberapa hal mereka mempertimbangkan
kesopanan. Beginilah budaya, beda tempat, beda pula kebudayaannya. Karena kita
ketahui bahwa orang Amerika tersebut berbicara cendrung blak-blakan, sedangkan
orang Indonesia berbicara penuh dengan ungkapan.
Dalam
beberapa budaya lain, kata-kata dan makna kata-kata tersebut tidak mempunyai
hubungan langsung. Orang-orang mungkin lebih memperhatikan konteks emosional
situasi dari pada memperhatikan makna kata-kata tertentu. Ini mungkinkan mereka
memberikan jawaban yang sesuai dan menyenangkan atas suatu pertanyaan, karena
jawaban yang harfiah dan faktual bisa menyinggung perasaan dan mempermalukan
orang lain.
· Orang-orang
Perasa
Manusia
berkomunikasi tidak hanya dengan kata-kata saja, tetapi juga dengan nada
suaranya, ekspresi wajahnya, gerak-geriknya, semua itu mengandung makna yang perlu
diperhitungkan. Jadi, tidak hanya dari bahasa-bahasa saja yang membingungkan,
tetapi juga dari gerak-gerik serta isyarat-isyarat kultural. Anggukan seseorang
bisa saja berarti negatif bagi orang lainnya, karena setiap budaya memiliki
rangkaiannya sendiri, yang terdiri dari tanda-tanda bermaka, lambang-lambang,
gerak-gerik, konotasi emosi, rujukan historis, respon trsadisional dan--juga
penting--diam yang mengandung makna.
Perhatikan
tradisi Aglo saxon untuk menjaga
kekalemannya. Orang Amerika diajari oleh budayanya untuk menekankan
perasaannya. Ia dikondisikan untuk menganggap emosi sebagai hal yang umumnya
jelek (kecuali pada wanita lemah yang tidak dapat menolong dirinya sendiri),
dan mengendalikan diri dengan baik. Semakin penting masalah yang ia hadapi,
maka semakin tenang penampilannya. Berkepala dingin, roman muka keras, pikiran
tenang--bukanlah secara kebetulan saja seperti ciri-ciri ini yang diperihatkan
oleh pahlawan-pahlawan dalam film Western.
Berbeda
dengan kebudayaan di Timur tengah. Sejak masa kanak-kanak orang Arab
dibolehkan, bahkan didorong untuk menyatakan perasaannya dengan bebas. Lelaki
dewasa boleh menangis, berteriak, memberi isyarat dengan ekspresif, meloncat ke
atas dan ke bawah, mereke dikagumi sebagai orang yang tulus.Sedangkan Orang
Anglo saxon yang tenang dan punya control diri tersebut dapat dicurigai—ia
pasti menyembunyikan sesuatu, berusaha untuk menipu. Orang Arab yang gembira
sekali dan emosional boleh jadi membuat orang Anglo saxon risi, membuatnya malu
dan berfikir : tidaklah prilakunya kekanak-kanakan? Apakah segala tidak bisa
dikendalikan?.
Dalam
hal lain, terdapat perbedaan lainnya tentang
intonasi seseorang dalam berbicara. Di dunia Arab, dalam
pembicaranan-pembicaraannya, lelaki Arab berbicara dengan suara yang dianggap
agresif dan menjengkelkan di Amerika Serikat. Suara yang keras memberikan
konotasi kekuatan dan ketulusan di antara orang-orang Arab, suara lemah bisa
berarti kelemahan dan tipu daya.
Anggapan ini menyebabkan beberapa orang Arab, mengabaikan apapun yang
mereka dengar dari radio “Voice of
America” karena suaranya begitu lemah.
Namun,
status pribadi menentukan nada suara pada masyarakat Arab. Orang-orang Arab
Saudi menunjukkan rasa hormatnya kepada atasan—misalnya kepada syekh—dengan
menurukan suaranya dan bergumam. Orang Amerika berstatus tinggi, mungkin juga
akan diperlakukan seperti ini oleh orang Arab, hal ini menimbulkan suasana yang
semakin sulit, karena dalam budaya Amerika orang secara tidak sadar ”meminta”
orang lainnya untuk meninggikan suaranya sendiri, orang Amerika berbicara
keras. Ini menyebabkan suara orang Arab akan lebih rendah lagi dan memperbanyak
gumammnya. Ini mengundang oranga Amerika lebih mengeraskan suaranya lagi—yang
menyebabkan orang Arab ketakutan dan punya kesan bahwa orang Amerika itu tidak
sopan. Pada akhirnya, mereka akan berpisah dengan saling tidak menghormati satu
sama lain.
· Kontak
Fisik
Seberapa jauhkah
kontak fisik sebaiknya dilakukan dalam percakapan social atau bisnis. Di
Amerika Serikat, tidak adanya kontak fisik, terutama diantara laki-laki dewasa.
Yang paling umum diakukan adalah berjabat tangan, jika dibandingkan dengan
orang-orang Eropa, orang Amerika lebih sedikit melalakukannya.
Di Amerika
latin, jabat tangan adalah bentuk sapaan atau cara menyatakan perpisahan yang
paling interpersoanal. Cara yang lebih ramah, dengan meletakkan tangan kiri di
atas bahu orang lain ketika berjabat tangan, sedangkan cara yang lebih intim lagi
dan hangat yaitu doble abrazo dimana dua lelaki berpelukan dengan meletakkan
lengan masing-masing diatas bahu lawan berpelukan.
Meskipun
demikian, terdapat budaya yang lebih membatasi kontak fisik daripada budaya
Amerika serikat yaitu budaya orang jawa, seperti pada kejadian seorang pegusaha
Amerika Latin menghadiri pesta di jawa. Ia melanggar batas-batas budaya
setempat dengan berprilaku yang tidak diterima. Ia sedang berusaha mengembangkan suatu hubungan
bisnis dengan seorang Jawa yang terpandang yang tampaknya berjalan mulus.
Tetapi semuanya gagal, ia diberi tahu oleh orang lain, bahwa ia telah
melatakkan tangannya sesaat diatas bahu orang Jawa itu dihadapan orang banyak.
Cara ini merendahkan dan hampir tidak termaafkan oleh etiket Jawa tradisioal.
Dalam kasus itu orang Amerika itu memohon maaf atas pelanggarannya yang tidak
disengaja. Namun hubungan bisnis tersebut tidak pernah terlaksana.
· Lima
Dimensi Waktu
Bagi
orang-orang bisnis, lima konsep waktu yang penting adalah : waktu untuk
bertemu, waktu untuk berdiskusi, waktu untuk berkenalan, waktu untuk berkunjung
dan jadwal waktu.
Di
Amerika Latin, tak perlu kaget bila harus menunggu berjam-jam diluar kantor.
Bila kita menafsirkan ketetapan waktu dengan cara Amerika Serikat di sebuah
kantor Amerika Latin, kita akan tegang dan tekanan darah akan meninggi. Karena
kita harus menunggu 45 menit, berbeda halnya dengan di Amerika, kita hanya
menunggu 5 menit saja. Perlakuan Amerika latin seperti ini tidak bermaksud
menghina atau meremehkan si penunggu, karena memang konsep tentang waktunya
seperti itu. Sama halnya seperti orang Indonesia yang punya budaya “jam karet”.
Orang Amerika latin memiliki konsep waktu yang bersifat informal, jika terlambat
45 menit dari jadwal itu merupakan hal yang biasa saja bagi mereka.
Kekeliruan
budaya itu dapat berlipat ganda karena salah perhitungan. Di Amerika Serikat,
orang yang selalu lambat dianggap tidak dapat diandalkan, dan ini merupakn
suatu kesimpulan yang masuk akal bila mereka menggunakna waktu kulturalnya.
Bagi mereka untuk menilai seorang Amerika Latin dengan menggunakan skala nilai
waktu Amerika, berarti menghadapi suatu resiko yang besar.
·
Tempat Untuk Segala sesuatu
Pada
setiap Negara memiliki pembatasan-pembatasan tempat yang berbeda ketika
melakukan sebuah komunikasi, misalnya saja komunikasi dalam dunia bisnis dan politik.
Bagi orang yang tidak sadar akan aturan yang dimiliki oleh tempat lainnya, maka
ia akan membuat orang tersebut tersinggung.
Di
India, tidak selayaknya berbicara bisnis ketika sedang mengunjungi rumah
seseorang. Bila kita melakukannya maka akan kehilangan kesempatan untuk
mengadakan hubungan bisnis yang
memuaskan.
Di
Amerika Latin, meskipun mahasiswa-mahasiswa berminat pada politik, tradisi menentukan
bahwa seorang politikus harus menghindari topik-topik politik ketika berbicara
di Universitas. Seorang politikus Amerika Latin mengatakan kepada antropolog
Allan Homberg bahwa ia dan rekan-rekan politisi lainnya takkan berani berbicara
tentang politik di Universitas San Marcos di Peru—seperti yang dilakukan Wakil
Presiden Nixon.
Masalahnya
menjadi ruwet ketika mahasiswa-mahasiswa San marcos, setelah mengetahui rencana
kunjungan Nixon, mereka lebih suka Nixon tidak datang. Sebenarnya rektor
Universitas pun tidak mengundang Nixon sebenarnya, karena ia khawatir bahwa
Nixon akan berbicara tentang politik, dan itu memang terjadi. Hal ini
menyebabkan kesalahfahaman kebudayaan,
sehigga menimbulkan miss communication.
Berbeda
dengan Negara lain, di Indonesia tidak adanya batasan tempat pada saat melakukan
hubungan bisnis maupun komunikasi politik. Dimana saja bisa dilakukan, asalkan
mengukuti prosedur yang ada.
· Nyaman
Dalam Ruang
Kita Ambil satu contoh perbandingan
orang Amerika Serikat dengan orang Amerika Latin. Orang Amerika Serikat lebih
cenderung menghina orang Amerika dengan tidak sengaja yaitu ketika mereka
menangani hubungan-hubungan ruang atau jarak, khusunya selama percakapan
berlangsung.
Ketika ada suatu percakapan antara orang Amerika
Serikat dengan Amerika latin yang dimulai dari ujung ruangan. Beberapa kali
orang Amerika Latin itu maju dan orang Amerika pasti mundur, dan akhirnya
mereka berada di ujung lain rungan itu.
Gerakan-gerakan yang agak lucu ini dilakukan untuk memperoleh rasa yang
nyaman ketika berbicara.
·
Pengaruh Status Atas Komunikasi
Perbedaan
status dan kelas sosial menyebabkan orang-orang yang berstatus berbeda sulit
menyatakan opini secara bebas dan terus terang dalam diskusi dan perdebatan.
Pada Budaya Amerika Latin orang berstatus lebih rendah harus menyatakan rasa
hormat kepada atasannya, mereka menekankan pentingnya pemeliharaan
hubungan-hubungan pribadi secara harmonis, meskipun hubungan tersebut besifat
dangkal. Ini sama halnya dengan kebudayaan yang di anut oleh orang Indonesia,
sangat menjunjung tinggi hierarki kekuasaan.
Berbeda
dengan orang Amerika, jika kita mengemukan sesuatu kepada atasan, menyatakan
apa yang sesungguhnya kita fikirkan, bahkan mungkin tidak sependapat dengannya,
ini merupakan suatu hal yang wajar saja. Karena perbedaan status tidak begitu
kuat terjadi pada orang Amerika tersebut.
· Penyesuaian
Diri Berjalan Dua Arah
Seseorang
tidak perlu menghabiskan hidupnya untuk mempelajari berbagai budaya, karena
tidak ada satu budayapun yang bersifat statik, semua budaya secara konstan berubah. Seperti Indonesia yang sedikit
menggunakan budaya Negara lain. Hal ini tidak terelakkan dan mungkin
konstruktif bila kita tahu bagaimana menggunakan pengetahuan kita. Tinggal kita
menyadari dampak perubahan ini pada diri kita dan belajar memanfaatkan
perubahan-perubahan tersebut secara trampil. Dan oleh sebab itu kita harus
memahami bagaimana kedua budaya tersebut saling berinteraksi.
· Konformitas
atau Penyesuaian Diri
Untuk
bekerjasama dengan orang-orang kita tidak harus seperti mereka. Bila kita
melakukan konformitas(keseragaman) sepenuhnya, maka orang Arab, orang Amerika
Serikat, orang America Latin, orang Italia, dan siapapun akan menganggap
prilaku kita membingungkan dan tidak tulus. Ia mencurigai motif kita. Kita
diharapkan untuk berbeda, namun kita juga diharapakan untuk menghormati dan
menerima orang-orang lain apa adanya. Dan kita tidak terlalu memaksa
kepribadian kita, belajar berkomunikasi dengan mereka dengan mengamati
tradisi-tradisi mereka.
Kesadaran
tentang adanya kekeliruan-kekeliruan dalam hubungan lintas budaya merupakan
langkah maju pertama yang besar. Dan menerima fakta bahwa pendirian-pendirian orang
lain merupakan suatu langkah maju lainnya.
iklannya terlalu ketengah tolong dikepinggirkan sedikit Saya pembaca agak sedikit terganggu karena artikel tertutup iklan
BalasHapusini dr buku deddy mulyana bukan ? ada daftar pustakanya .?
BalasHapus