Pages

Selasa, 03 April 2012

Komunikasi Antar Budaya : Suatu Tinjauan Antrologis

Suatu budaya mempengaruhi komunikasi dalam banyak hal. Budayalah yang menentukan waktu dan jadwal peristiwa-peristiwa antarpersonal, tempat-tempat untuk membicarakan topik-topik tertentu, jarak fisik yang memisahkan antara seorang pembicara dengan orang lain, serta nada suara yang sesuai untuk pembicaraan tertentu. Budaya dalam hal ini, melukiskan kadar dan tipe kontak fisik yang dituntut oleh adat kebiasaan dan intensitas emosi yang menyertainya, yang meliputi hubungan antara apa yang dikatakan dan apa yang dimaksudkan, seperti “tidak”  maksudnya mungkin dan “besok” maksudnya “tidak pernah”. Oleh karena itu kita harus mempelajarinya lebih dalam agar tidak adanya kesalahpahaman atas informasi yang kita peroleh.
Inilah hal-hal penting yang tidak boleh diabaikan, seperti contoh seorang pengusaha yang berbisisnis  ke luar negeri, bila ia tidak mau menghadapi resiko maka ia harus mempelajari budaya yang dianut oleh negara yang ditujunya itu, meskipun hal tersebut sulit dipahami karena setiap orang merasa budayanyalah yang paling benar.

Berikut ini adalah hal-hal penting yang harus diperhatikan dalam mempejalari kebudayaan :

·      Bahasa

Orang Amerika sering dituduh tidak cakap dalam berbahasa, karena mereka kurang tertarik mempelajari bahasa-bahasa asing. Tetapi ada juga suatu bangsa yang secara inheren tertarik mempelajari bahasa dari pada bangsa lain karena adanya kesempatan dan intensif untuk belajar, seperti orang Eropa Barat atau Tengah yang sejak kecil mendengarkan pembicaraan-pembicaraan dalam bahasa asing, hal itu membuat mereka mempelajari bahasa tersebut. Mungkin jika anak Amerika memiliki kesempatan dan berada sama diposisi anak Eropa tesebut mungkin ia  akan bertindak serupa.
Kita tidak boleh meremehkan kerusakan yang diakhibatkan oleh kekurangmampuan kita dalam berbahasa, seperti kerusakan hubungan dengan relasi-relasi di seluruh dunia. Memang, bila kita tidak dapat berbicara bahasa seseorang, sangat sulit bagi kita untuk berkomunikasi dengannya.
Meskipun bahasa-bahasa telah dipelajari, mungkin saja terdapat kesalahan seperti pada perbendaharaan kata, tata bahasa,dan fasilitas verbal yang tidak memadai. Akan tetapi tidak terjadi kesalahan jika orang tersebut memahami isyarat-isyarat halus yag implisit dalam bahasa, nada suara, gerak-gerik dan ekspresi. Jika Ia salah menafsirkan apa yang dikatakan padanya, mungkin akan menyinggung perasaan orang lain tanpa mengetahui bagaimana atau mengapa hal tersebut bisa terjadi.

·      Maksud dari perkataan

Di Amerika serikat, lebih mementingkan pernyataan yang langsung. Orang Amerika yang “baik” diharapkan mengatakan apa yang ia maksudkan dan memaksudkan apa yang ia katakan. Bila mengenai hal penting tetapi seseorang berbicara berputar-putar dan mengelak-elak, mereka cendrung menganggapnya sebagai orang yang tak dapat diandalkan atau bahkan tidak jujur. Berbeda halnya dengan orang Indonesia, mereka lebih cenderung berbicara tidak langsung dan perkataannya itu mengandung makna yang tersirat, ini tidak berarti bahwa mereka terlalu berbelit-belit, tetapi  dalam beberapa hal mereka mempertimbangkan kesopanan. Beginilah budaya, beda tempat, beda pula kebudayaannya. Karena kita ketahui bahwa orang Amerika tersebut berbicara cendrung blak-blakan, sedangkan orang Indonesia berbicara penuh dengan ungkapan.
Dalam beberapa budaya lain, kata-kata dan makna kata-kata tersebut tidak mempunyai hubungan langsung. Orang-orang mungkin lebih memperhatikan konteks emosional situasi dari pada memperhatikan makna kata-kata tertentu. Ini mungkinkan mereka memberikan jawaban yang sesuai dan menyenangkan atas suatu pertanyaan, karena jawaban yang harfiah dan faktual bisa menyinggung perasaan dan mempermalukan orang lain.

·      Orang-orang Perasa

Manusia berkomunikasi tidak hanya dengan kata-kata saja, tetapi juga dengan nada suaranya, ekspresi wajahnya, gerak-geriknya, semua itu mengandung makna yang perlu diperhitungkan. Jadi, tidak hanya dari bahasa-bahasa saja yang membingungkan, tetapi juga dari gerak-gerik serta isyarat-isyarat kultural. Anggukan seseorang bisa saja berarti negatif bagi orang lainnya, karena setiap budaya memiliki rangkaiannya sendiri, yang terdiri dari tanda-tanda bermaka, lambang-lambang, gerak-gerik, konotasi emosi, rujukan historis, respon trsadisional dan--juga penting--diam yang mengandung makna.
Perhatikan tradisi Aglo saxon untuk menjaga kekalemannya. Orang Amerika diajari oleh budayanya untuk menekankan perasaannya. Ia dikondisikan untuk menganggap emosi sebagai hal yang umumnya jelek (kecuali pada wanita lemah yang tidak dapat menolong dirinya sendiri), dan mengendalikan diri dengan baik. Semakin penting masalah yang ia hadapi, maka semakin tenang penampilannya. Berkepala dingin, roman muka keras, pikiran tenang--bukanlah secara kebetulan saja seperti ciri-ciri ini yang diperihatkan oleh pahlawan-pahlawan dalam film Western.
Berbeda dengan kebudayaan di Timur tengah. Sejak masa kanak-kanak orang Arab dibolehkan, bahkan didorong untuk menyatakan perasaannya dengan bebas. Lelaki dewasa boleh menangis, berteriak, memberi isyarat dengan ekspresif, meloncat ke atas dan ke bawah, mereke dikagumi sebagai orang yang tulus.Sedangkan Orang Anglo saxon yang tenang dan punya control diri tersebut dapat dicurigai—ia pasti menyembunyikan sesuatu, berusaha untuk menipu. Orang Arab yang gembira sekali dan emosional boleh jadi membuat orang Anglo saxon risi, membuatnya malu dan berfikir : tidaklah prilakunya kekanak-kanakan? Apakah segala tidak bisa dikendalikan?.
Dalam hal lain, terdapat perbedaan lainnya tentang  intonasi seseorang dalam berbicara. Di dunia Arab, dalam pembicaranan-pembicaraannya, lelaki Arab berbicara dengan suara yang dianggap agresif dan menjengkelkan di Amerika Serikat. Suara yang keras memberikan konotasi kekuatan dan ketulusan di antara orang-orang Arab, suara lemah bisa berarti kelemahan dan tipu daya.  Anggapan ini menyebabkan beberapa orang Arab, mengabaikan apapun yang mereka dengar dari radio “Voice of America” karena suaranya begitu lemah.
Namun, status pribadi menentukan nada suara pada masyarakat Arab. Orang-orang Arab Saudi menunjukkan rasa hormatnya kepada atasan—misalnya kepada syekh—dengan menurukan suaranya dan bergumam. Orang Amerika berstatus tinggi, mungkin juga akan diperlakukan seperti ini oleh orang Arab, hal ini menimbulkan suasana yang semakin sulit, karena dalam budaya Amerika orang secara tidak sadar ”meminta” orang lainnya untuk meninggikan suaranya sendiri, orang Amerika berbicara keras. Ini menyebabkan suara orang Arab akan lebih rendah lagi dan memperbanyak gumammnya. Ini mengundang oranga Amerika lebih mengeraskan suaranya lagi—yang menyebabkan orang Arab ketakutan dan punya kesan bahwa orang Amerika itu tidak sopan. Pada akhirnya, mereka akan berpisah dengan saling tidak menghormati satu sama lain.
·   Kontak Fisik

Seberapa jauhkah kontak fisik sebaiknya dilakukan dalam percakapan social atau bisnis. Di Amerika Serikat, tidak adanya kontak fisik, terutama diantara laki-laki dewasa. Yang paling umum diakukan adalah berjabat tangan, jika dibandingkan dengan orang-orang Eropa, orang Amerika lebih sedikit melalakukannya.
Di Amerika latin, jabat tangan adalah bentuk sapaan atau cara menyatakan perpisahan yang paling interpersoanal. Cara yang lebih ramah, dengan meletakkan tangan kiri di atas bahu orang lain ketika berjabat tangan, sedangkan cara yang lebih intim lagi dan hangat yaitu doble abrazo dimana dua lelaki berpelukan dengan meletakkan lengan masing-masing diatas bahu lawan berpelukan.
Meskipun demikian, terdapat budaya yang lebih membatasi kontak fisik daripada budaya Amerika serikat yaitu budaya orang jawa, seperti pada kejadian seorang pegusaha Amerika Latin menghadiri pesta di jawa. Ia melanggar batas-batas budaya setempat dengan berprilaku yang tidak diterima. Ia  sedang berusaha mengembangkan suatu hubungan bisnis dengan seorang Jawa yang terpandang yang tampaknya berjalan mulus. Tetapi semuanya gagal, ia diberi tahu oleh orang lain, bahwa ia telah melatakkan tangannya sesaat diatas bahu orang Jawa itu dihadapan orang banyak. Cara ini merendahkan dan hampir tidak termaafkan oleh etiket Jawa tradisioal. Dalam kasus itu orang Amerika itu memohon maaf atas pelanggarannya yang tidak disengaja. Namun hubungan bisnis tersebut tidak pernah terlaksana.

·   Lima Dimensi Waktu
Bagi orang-orang bisnis, lima konsep waktu yang penting adalah : waktu untuk bertemu, waktu untuk berdiskusi, waktu untuk berkenalan, waktu untuk berkunjung dan jadwal waktu.
Di Amerika Latin, tak perlu kaget bila harus menunggu berjam-jam diluar kantor. Bila kita menafsirkan ketetapan waktu dengan cara Amerika Serikat di sebuah kantor Amerika Latin, kita akan tegang dan tekanan darah akan meninggi. Karena kita harus menunggu 45 menit, berbeda halnya dengan di Amerika, kita hanya menunggu 5 menit saja. Perlakuan Amerika latin seperti ini tidak bermaksud menghina atau meremehkan si penunggu, karena memang konsep tentang waktunya seperti itu. Sama halnya seperti orang Indonesia yang punya budaya “jam karet”. Orang Amerika latin memiliki konsep waktu yang bersifat informal, jika terlambat 45 menit dari jadwal itu merupakan hal yang biasa saja bagi mereka.
Kekeliruan budaya itu dapat berlipat ganda karena salah perhitungan. Di Amerika Serikat, orang yang selalu lambat dianggap tidak dapat diandalkan, dan ini merupakn suatu kesimpulan yang masuk akal bila mereka menggunakna waktu kulturalnya. Bagi mereka untuk menilai seorang Amerika Latin dengan menggunakan skala nilai waktu Amerika, berarti menghadapi suatu resiko yang besar.
·      Tempat Untuk Segala sesuatu
Pada setiap Negara memiliki pembatasan-pembatasan tempat yang berbeda ketika melakukan sebuah komunikasi, misalnya saja komunikasi dalam dunia bisnis dan politik. Bagi orang yang tidak sadar akan aturan yang dimiliki oleh tempat lainnya, maka ia akan membuat orang tersebut tersinggung.
Di India, tidak selayaknya berbicara bisnis ketika sedang mengunjungi rumah seseorang. Bila kita melakukannya maka akan kehilangan kesempatan untuk mengadakan  hubungan bisnis yang memuaskan.
Di Amerika Latin, meskipun mahasiswa-mahasiswa berminat pada politik, tradisi menentukan bahwa seorang politikus harus menghindari topik-topik politik ketika berbicara di Universitas. Seorang politikus Amerika Latin mengatakan kepada antropolog Allan Homberg bahwa ia dan rekan-rekan politisi lainnya takkan berani berbicara tentang politik di Universitas San Marcos di Peru—seperti yang dilakukan Wakil Presiden Nixon.
Masalahnya menjadi ruwet ketika mahasiswa-mahasiswa San marcos, setelah mengetahui rencana kunjungan Nixon, mereka lebih suka Nixon tidak datang. Sebenarnya rektor Universitas pun tidak mengundang Nixon sebenarnya, karena ia khawatir bahwa Nixon akan berbicara tentang politik, dan itu memang terjadi. Hal ini menyebabkan kesalahfahaman  kebudayaan, sehigga menimbulkan miss communication.
Berbeda dengan Negara lain, di Indonesia tidak adanya batasan tempat pada saat melakukan hubungan bisnis maupun komunikasi politik. Dimana saja bisa dilakukan, asalkan mengukuti prosedur yang ada.
·   Nyaman Dalam Ruang
Kita Ambil satu contoh perbandingan orang Amerika Serikat dengan orang Amerika Latin. Orang Amerika Serikat lebih cenderung menghina orang Amerika dengan tidak sengaja yaitu ketika mereka menangani hubungan-hubungan ruang atau jarak, khusunya selama percakapan berlangsung.
Ketika  ada suatu percakapan antara orang Amerika Serikat dengan Amerika latin yang dimulai dari ujung ruangan. Beberapa kali orang Amerika Latin itu maju dan orang Amerika pasti mundur, dan akhirnya mereka berada di ujung lain rungan itu.  Gerakan-gerakan yang agak lucu ini dilakukan untuk memperoleh rasa yang nyaman ketika berbicara.
·   Pengaruh Status Atas Komunikasi

Perbedaan status dan kelas sosial menyebabkan orang-orang yang berstatus berbeda sulit menyatakan opini secara bebas dan terus terang dalam diskusi dan perdebatan. Pada Budaya Amerika Latin orang berstatus lebih rendah harus menyatakan rasa hormat kepada atasannya, mereka menekankan pentingnya pemeliharaan hubungan-hubungan pribadi secara harmonis, meskipun hubungan tersebut besifat dangkal. Ini sama halnya dengan kebudayaan yang di anut oleh orang Indonesia, sangat menjunjung tinggi hierarki kekuasaan.
Berbeda dengan orang Amerika, jika kita mengemukan sesuatu kepada atasan, menyatakan apa yang sesungguhnya kita fikirkan, bahkan mungkin tidak sependapat dengannya, ini merupakan suatu hal yang wajar saja. Karena perbedaan status tidak begitu kuat terjadi pada orang Amerika tersebut.

·      Penyesuaian Diri Berjalan Dua Arah

Seseorang tidak perlu menghabiskan hidupnya untuk mempelajari berbagai budaya, karena tidak ada satu budayapun yang bersifat statik, semua budaya secara konstan  berubah. Seperti Indonesia yang sedikit menggunakan budaya Negara lain. Hal ini tidak terelakkan dan mungkin konstruktif bila kita tahu bagaimana menggunakan pengetahuan kita. Tinggal kita menyadari dampak perubahan ini pada diri kita dan belajar memanfaatkan perubahan-perubahan tersebut secara trampil. Dan oleh sebab itu kita harus memahami bagaimana kedua budaya tersebut saling berinteraksi.

·      Konformitas atau Penyesuaian Diri

Untuk bekerjasama dengan orang-orang kita tidak harus seperti mereka. Bila kita melakukan konformitas(keseragaman) sepenuhnya, maka orang Arab, orang Amerika Serikat, orang America Latin, orang Italia, dan siapapun akan menganggap prilaku kita membingungkan dan tidak tulus. Ia mencurigai motif kita. Kita diharapkan untuk berbeda, namun kita juga diharapakan untuk menghormati dan menerima orang-orang lain apa adanya. Dan kita tidak terlalu memaksa kepribadian kita, belajar berkomunikasi dengan mereka dengan mengamati tradisi-tradisi mereka.
Kesadaran tentang adanya kekeliruan-kekeliruan dalam hubungan lintas budaya merupakan langkah maju pertama yang besar. Dan menerima fakta bahwa pendirian-pendirian orang lain merupakan suatu langkah maju lainnya.

2 komentar:

  1. iklannya terlalu ketengah tolong dikepinggirkan sedikit Saya pembaca agak sedikit terganggu karena artikel tertutup iklan

    BalasHapus
  2. ini dr buku deddy mulyana bukan ? ada daftar pustakanya .?

    BalasHapus