Kaum feminis Barat dan pendukungnya yang telah menyaksikan sejarah panjang gelombang feminisme sebagai gerakan kekuatan perjuangan hak-hak asasi perempuan, sering merasa heran ketika mendapati tidak semua kaum perempuan di dunia tertarik pada feminisme. Banyak perempuan berlatar belakang non-Barat:, termasuk Indonesia, mengkonotasikan feminisme Barat secara pejorative, bahkan menganggapnya dirty word. Reaksi perempuan berlatar budaya ragam ini mengejutkan banyak pendukung feminisme Barat.
Dalam memahami ketidakmengertian dan ketidaksukaan terhadap feminisme Barat ini, penting kiranya mengkaji dan menjawab dua pertanyaan berikut. Pertama, seberapa jauh feminisme Barat telah mengabaikan pengalaman perempuan dari budaya yang berbeda? Berikutnya, respon apa yang muncul sebagai akibat dari teori-teori feminisme Barat yang etnosentris?
Keragaman Budaya
Ketimpangan yang dihadapi perempuan dalam hal pembagian kekuasaan, sumber daya, dan akses terhadap informasi terjadi di tingkat intra-negara dan inter-negara. Namun, feminis Barat sering mengabaikan pengalaman perempuan dari latar belakang budaya yang berbeda dengan mereka. Sebagian besar feminis Barat lebih berfokus pada kebutuhan dan masalah-masalah mereka yang mendesak sehingga mereka cenderung mengkaji isu gender yang mengacu pada kelas dan budaya mereka sendiri (kelas menengah kulit putih). Kecenderungan ini disebut dengan istilah etnosentrisme.
Feminis Barat mengklaim teori tentang perempuan bersifat lintas-budaya, jika tidak universal. Namun, dengan menutup mata terhadap perbedaan di kalangan perempuan yang termarginalisasi atau terjauhkan jaraknya dari pelaku inti feminisme arus utama, maka kebutuhan dan masalah-masalah yang dihadapi perempuan marginal tersebut tidak terlihat dan karenanya tidak masuk perhitungan feminisme Barat.
Dalam kasus-kasus di mana feminis Barat mengakui keberagaman perempuan internasional, mereka ternyata juga masih kurang memahami ketimpangan kekuatan tajam antara negara-negara dunia pertama dengan negara-negara dunia ketiga. Seperti disinyalir Barret dan McIntosh (1985) dalam Ethnocentrism and Socialist Feminist Theory, perempuan kulit putih Barat memiliki hak istimewa dan kelas yang memberi mereka akses pada media, pendidikan dan pengajaran, dan pertemuan publik. Dengan kekuatan itu, mereka bebas membentuk citra rata-rata perempuan dunia ketiga yang secara tidak adil dikenakan sama rata pada seluruh perempuan berlatar budaya ragam.
Dalam Under Western Eyes, Chandra Talpade Mohanty (1988) juga mengkritik feminis Barat yang mendefmisikan perempuan dunia ketiga secara stereotip sebagai "tidak progresif, tradisional, buta hukum, bodoh, terbelakang, dan kadang revolusioner". Sementara itu, perempuan Barat menganggap dirinya "sekular, modern, terbebaskan, dan memiliki kontrol atas hidup mereka sendiri". Alih-alih mendukung kompleksitas dan dinamika perempuan berbudaya ragam, teori-teori feminisme yang etnosentris dan universalis rnencipcakan asumsi tak tepat tentang peran perempuan berbudaya ragam dan menyepelekan kemampuan mereka dalam memberi kontribusi untuk pemikiran-pemikiran feminisme.
Adalah hal menggembirakan bahwa
perempuan berbudaya ragam kini tidak sekadar pasif dan menerima begitu saja
teori-teori feminisme arus utama. Pandangan etnosentris feminis Barat dianggap
tak mampu memenuhi kebutuhan perempuan berbudaya ragam. Karenanya, mereka
berusaha mengembangkan teori-teori lain yang lebih sesuai dengan kebutuhan
mereka yang khusus, kompleks, dan beragam. Munculnya feminisme kulit hitam,
feminisme Eropa Timur, dan feminisme Islam, akan diulas secara ringkas dalam
tulisan ini sebagai contoh menarik.
Feminisme Islam
Selain respon dua kalangan di atas, muncul pula respon dari kalangan Islam. Gerakan feminis telah lama mendapat sambutan kuat di dunia Islam. Jantung diskursus gerakan feminis Islam adalah isu reinterpretasi progresif terhadap Alquran, seperti sedang dikaji antara lain oleh Riffat Hasan dan All Asghar Engineer.
Salah satu kritik utama feminis Islam terhadap feminis Barat adalah kecenderungannya kepada sekularisme. Menurut teologi feminisme Islam, konsep hak-hak asasi manusia yang tidak berlandaskan visi transendental merupakan hal yang tragis. Karenanya, mereka berpandangan gerakan perempuan Islam harus berpegang pada paradigma agama supaya tidak menjadi sekular. Fatima Mernissi (1988) dan Issa J. Boullata (1989), misalnya, menegaskan bahwa perempuan Islam harus mengembangkan program-program feminisnya sendiri dengan menggunakan kerangka acuan yang Islami.
Penutup
Dalam merespon etnosentrisme, perempuan berbudaya ragam telah mengembangkan pergerakan feminisme mereka masing-masing, dalam rangka mendapat tempat dalam masyarakat dan juga dalam diskursus feminisme yang didomiriasi oleh perempuan kelas menengah berkulit putih. Aksi ini tidak menempatkan gerakan mereka sebagai gerakan eksklusif di luar feminisme arus utama. Tetapi sebaliknya, pengemukaan masalah etnosentrisme telah memperluas kajian mengenai rentang pengalanian clan kondisi kaum perempuan berbudaya ragam. Etnosentrisme nan-is digantikan oleh pengakuan dan penghargaan terhadap perbedaan dan keberagaman (diver-sity).
Feminisme Islam
Selain respon dua kalangan di atas, muncul pula respon dari kalangan Islam. Gerakan feminis telah lama mendapat sambutan kuat di dunia Islam. Jantung diskursus gerakan feminis Islam adalah isu reinterpretasi progresif terhadap Alquran, seperti sedang dikaji antara lain oleh Riffat Hasan dan All Asghar Engineer.
Salah satu kritik utama feminis Islam terhadap feminis Barat adalah kecenderungannya kepada sekularisme. Menurut teologi feminisme Islam, konsep hak-hak asasi manusia yang tidak berlandaskan visi transendental merupakan hal yang tragis. Karenanya, mereka berpandangan gerakan perempuan Islam harus berpegang pada paradigma agama supaya tidak menjadi sekular. Fatima Mernissi (1988) dan Issa J. Boullata (1989), misalnya, menegaskan bahwa perempuan Islam harus mengembangkan program-program feminisnya sendiri dengan menggunakan kerangka acuan yang Islami.
Penutup
Dalam merespon etnosentrisme, perempuan berbudaya ragam telah mengembangkan pergerakan feminisme mereka masing-masing, dalam rangka mendapat tempat dalam masyarakat dan juga dalam diskursus feminisme yang didomiriasi oleh perempuan kelas menengah berkulit putih. Aksi ini tidak menempatkan gerakan mereka sebagai gerakan eksklusif di luar feminisme arus utama. Tetapi sebaliknya, pengemukaan masalah etnosentrisme telah memperluas kajian mengenai rentang pengalanian clan kondisi kaum perempuan berbudaya ragam. Etnosentrisme nan-is digantikan oleh pengakuan dan penghargaan terhadap perbedaan dan keberagaman (diver-sity).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar