Ulama Berjuluk “Penghidup Agama”
Rabu, 09 November 2011
Oleh: Muhammad Luqmanul Hakim
MALAM sudah larut. Banyak orang-orang yang telah terlelap merangkai mimpi. Namun, ada seorang pemuda yang masih terlihat menikmati bacaannya. Ketika rasa kantuk menyerang, ia sandarkan tubuh dan kepalanya pada buku sebentar, lalu terbangun kembali. Tanpa merebahkan punggungnya di tempat tidur, ia lalu meneruskan aktifitas yang menjadi hobinya, yaitu membaca. Begitu seterusnya, hingga ia menunaikan sholat tahajjud.
Menjelang sholat subuh, ia meraih roti yang ia simpan dan memakannya sebagai sahur yang sekaligus menjadi makan malam serta makan siangnya. Ia sudah terbiasa berpuasa dan makan sekali dalam sehari semalam.
Kemudian pada keesokan harinya, ia semakin “gila” mengejar ilmu. Ia pelajari 12 cabang ilmu pada guru-gurunya. Tak sedikit-pun waktunya yang tersia-sia. Bahkan ketika berjalan pun ia terus mengulang-ulang ilmu yang telah dihafalnya, atau membaca buku yang ditelaahnya.
Itulah sosok Imam Nawawi, ulama yang dalam usia muda sudah menghasilkan karya-karya mendunia. Kitab-kitabnya tersebar di berbagai belahan dunia. Bahkan, sebagian dari kitab-kitab yang ditulisnya masih menjadi rujukan utama di kalangan para penuntut ilmu hingga saat ini, termasuk di berbagai pondok pesantren di Indonesia.
Rihlah Ilmiah
Imam Nawawi bernama lengkap Yahya bin Syarf bin Muriy bin Hasan bin Husain bin Muhammad bin Jam’ah bin Hizaam An-Nawawi Ad-Dimasyqiy. Ia disebut juga sebagai Abu Zakariya, padahal ia tidak mempunyai anak yang bernama Zakariya. Karena ia belum sempat menikah dan membujang hingga akhir hayatnya. Selain itu, orang-orang memberinya gelar "Muhyiddin" (orang yang menghidupkan agama). Padahal ia tidak menyukai gelar ini. Bahkan diriwayatkan ia pernah berkata: “Aku tidak akan memaafkan orang yang menggelariku Muhyiddin.” Ucapan itu tidak akan lahir lain kecuali karena sikap ketawaddu’annya.
Ulama kebanggan umat ini lahir di desa Nawa, dekat kota Damaskus (yang sekarang menjadi ibu kota Suriah) pada bulan Muharram tahun 631 H (1233 M). Kedua tempat tersebut kemudian menjadi nisbat namanya, yaitu an-Nawawi ad-Dimasyqi.
Sejak kecil Imam Nawawi dikenal sebagai anak yang cerdas dan tidak suka bermain. Pernah suatu ketika ia dipaksa bermain oleh teman-teman sebayanya. Namun ia menolak dan menangis karena paksaan tersebut. Ia lebih suka menghafalkan Al-Quran daripada memenuhi ajakan teman-temannya. Maka tidak mengherankan, sebelum baligh ia sudah hafal Al-Quran 30 juz.
Ketika Syeikh Yasin bin Yusuf Az-Zarkasyi, salah satu ulama di zamannya mengetahui hal itu, ia pun mendatangi orang tuanya. Ia berpesan bahwa anak ini diharapkan akan menjadi orang paling pintar dan paling zuhud pada masanya dan bisa memberikan manfaat yang besar kepada umat Islam. Orangtua dan gurunya pun semakin memberikan perhatian lebih kepada Imam Nawawi kecil.
Pada tahun 649 H (1251 M), yaitu ketika usianya mencapai 19 tahun, Imam Nawawi melakukan rihlah ilmiah ke kota damaskus. Di sana ia “mondok” di lembaga pendidikan al-Ruwahiyyah atas beasiswa dari lembaga tersebut. Lembaga pendidikan ini dekat dengan masjid termegah pertama di dunia, yaitu masjid Al-Jami’ Al-Umawy. Di sana ia memulai perjalanannya menuntut ilmu. Ia menghabiskan seluruh waktunya untuk menuntut ilmu sehingga ilmu pun memberikan kepadanya sebagian darinya.
Guru dan Muridnya
Imam Nawawi memiliki banyak guru dan murid. Guru-gurunya merupakan ulama yang ahli di bidangnya. Sedangkan di antara murid-muridnya banyak yang kemudian menjadi ulama besar.
Dalam bidang fiqih dan ushul fiqih, sang Imam berguru pada Ishaq bin Ahmad bin ’Utsman al-Maghribi (w. 650 H), Abdurrahman bin Nuh bin Muhammad al-Maqdisi (w. 654 H), Sallar bin aI-Hasan al-Irbali (w. 670 H), Umar bin Bandar bin Umar at-Taflisi asy-Syafi’I (w. 672 H), dan Abdurrahman bin Ibrahim bin Dhiya’ al-Fazari (w. 690 H.)
Sementara dalam bidang ilmu hadits, ia berguru pada Abdurrahman bin Salim bin Yahya al-Anbari (w. 661 H), Abdul ’Aziz bin Muhammad bin Abdul Muhsin al-Anshari (w. 662 H), Khalid bin Yusuf an-Nablusi (w. 663 H), Ibrahim bin ’Isa al-Muradi (w. 668 H), Isma’il bin Abi Ishaq at-Tanukhi (w.672 H), dan Abdurrahman bin Abi Umar al-Maqdisi (w. 682 H).
Lalu dalam bidang nahwu dan bahasa, guru-gutrunya adalah Syaikh Ahmad bin Salim al-Mishri (w. 664 H), dan juga al-’Izz al-Maliki.
Adapun murid-muridnya yang kemudian menjadi ulama besar, di antaranya adalah Sulaiman bin Hilal al-Ja’fari, Ahmad Ibnu Farah al-Isybili, Muhammad bin Ibrahim bin Sa’dullah bin Jama’ah, , Syamsuddin bin an-Naqib, dan Syamsuddin bin Ja’wan, ’Ala-uddin ’Ali Ibnu Ibrahim dan masih banyak yang lainnya.
Pujian Ulama
Banyak ulama yang memberikan apresiasi tinggi kepada Imam Nawawi. Adz-Dzahabi, misalnya pernah berkata: "Imam Nawawi adalah profil manusia yang berpola hidup sangat sederhana dan anti kemewahan. Ia merupakan sosok manusia yang bertaqwa, qana’ah, wara,' memiliki muraqabatullah baik di saat sepi maupun ramai.
Ia tidak menyukai kesenangan pribadi seperti berpakaian indah, makan minum lezat, dan tampil mentereng. Makanannya hanyalah roti dengan lauk seadanya. Pakaiannya adalah pakaian yang sangat sederhana, dan alas tidurnya hanyalah kulit yang disamak. Ia selalu berusaha untuk melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar sekalipun terhadap penguasa. Tidak jarang ia mengirimi surat para penguasa yang berisi nasihat agar berlaku adil dalam mengemban amanah kekuasaan, menghapus cukai, dan mengembalikan hak kepada ahlinya.
Adapun Abul Abbas bin Faraj pernah bertutur: "Syeikh (An-Nawawi) telah berhasil meraih 3 tingkatan yang mana 1 tingkatannya saja jika orang biasa berusaha untuk meraihnya, tentu akan merasa sulit. Tingkatan pertama adalah ilmu (yang dalam dan luas). Tingkatan kedua adalah zuhud. Dan tingkatan ketiga adalah keberanian dan kepiawaiannya dalam beramar ma’ruf nahi munkar."
Cinta Ilmu
Kalau berbicara tentang kecintaan terhadap ilmu, Imam Nawawi adalah sosok yang bisa dijadikan teladan utama. Atas kecintaannya terhadap ilmu, ia menghindari kenikmatan-kenikmatan duniawi yang secara umum manusia cenderung kepadanya .
Kenikmatan berupa makanan, misalnya. Ia tak mau aktifitas makan mengganggu kegiatan belajarnya. Dalam sehari semalam ia tidak makan kecuali sekali setelah waktu akhir isya' dan tidak minum kecuali sekali pada waktu sahur.
Ia makan roti yang dibawakan oleh ayahnya dari desa Nawa yang dibuat sendiri dan cukup untuk persediaan selama satu minggu. Ia juga tidak pernah memakan kecuali satu macam makanan seperti madu, cuka, atau minyak. Sedangkan daging, Imam Nawawi memakannya sekali dalam sebulan, dan hampir tidak pernah ia memakan makanan dengan dua lauk selama hidupnya. Baginya, makan tidak lain hanyalah untuk sekedar menjaga kesehatan tubuhnya.
Kenikmatan lain yang ia hindari dan lebih memilih belajar adalah tidur. Ia tidak pernah menyengaja tidur. Biasanya ia tertidur ketika sedang membaca buku. Itu pun setelah bangun langsung membaca lagi. Ia pernah berkata, “Apabila kantuk mengalahkan diriku maka aku bersandar pada buku sebentar lalu aku terbangun”.
Pernah suatu ketika, salah seorang temannya datang dengan membawa makanan yang masih ada kulitnya, namun ia tidak bersedia memakannya. Ia berkata, “Saya khawatir tubuh saya lembab sehingga saya tertidur”.
Bahkan, yang membuat orang terkagum-kagum atas kegigihannya dalam menuntut ilmu, yaitu ketika muridnya yang bernama ‘Ala-uddin Ibnill ‘Aththar menuturkan bahwa selama 2 tahun penuh ia tidak merebahkan badannya ke bumi, melainkan tidur bersandar pada bukunya.
Selain itu, kenikmatan lain yang ia hindari adalah menikah. Ia sebenarnya bukan tidak mau menikah apalagi menolak syariat nikah. Bahkan, dalam kitab-kitabnya juga banyak yang menyinggung masalah pernikahan. Hanya saja, ia tidak sempat memikirkannya karena besarnya rasa cinta terhadap ilmu. Oleh karena itu, ketika meninggal pada umur 45 tahun ia tetap membujang.
Karya-karyanya
Imam Nawawi merupakan ulama yang dalam usia muda, yaitu sejak berusia 30, sudah menghasilkan karya besar lintas negara dan lintas zaman. Buah karyanya tersebut hingga saat ini selalu menjadi bahan perhatian dan diskusi setiap Muslim serta selalu digunakan sebagai rujukan di hampir seluruh belantara dunia Islam.
Di dalam karya-karyanya didapati kemudahan dalam mencernanya, keunggulan dalam argumentasinya, kejelasan dalam kerangka berfikirnya serta keobjektifan dalam memaparkan pendapat-pendapat para fuqaha’.
Di antara karyanya yang berjumlah sekitar 40 tersebut ada yang telah ia selesaikan dan ada pula yang belum terselesaikan. Di antara yang telah terselesaikan adalah kitab al-Arba’in Nawawi, Syarh Shahih Muslim, ar-Raudhah (Raudhatut Thalibin), al-Minhaj, Riyadhus Shalihin, al-Adzkar, at-Tibyan, Tahir Tanbih wa Tashhth, Tahdibul Asma’ wal Lughat, Thabaqatul Fuqaha’ dan lain-lain.
Adapun yang belum terselesaikan – andaikatan ia menyelesaikannya, maka tidak ada yang bisa menandingi kitab tersebut, yakni Syarh Muhadzdzab yang bernama al-Majmu’. Ia baru menyelesaikan sampai bab riba saja. Susunannya bagus dan sangat bermanfaat serta kritis. Dalam kitab tersebut, ia mengupas fiqih madzhab Syafi’i dan yang lainnya, menerangkan hadits dengan baik, menjelaskan kalimat-kalimat asing dan perkara-perkara penting yang hanya dijumpai dalam kitab tersebut”.
Demikianlah profil Imam Nawawi, salah satu ulama kebanggan umat. Ulama yang dalam usia muda sudah menghasilkan karya-karya mendunia. Semoga kita bisa meneladaninya dalam kehidupan kita. Amin.
Penulis sedang mengikuti Program Kaderisasi Ulama (PKU)
Hidayatullah.com - Ulama Berjuluk “Penghidup Agama”
Tampilkan postingan dengan label opini. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label opini. Tampilkan semua postingan
Rabu, 09 November 2011
Senin, 07 November 2011
Ketika Hewan Menjadi “Primadona Religi”
Sabtu, 05 November 2011
Oleh: Drh. Arif Rahman Hakim
Setiap masuk bulan Dzulhijjah, terutama di sepuluh hari pertamanya, hewan kurban tampak menjadi ‘primadona religi’. Umat Islam yang mampu dan mengerti akan ‘berburu’ untuk mendapatkan sang ‘primadona religi’ yang berkualifikasi terbaik. Mengapa?
Dicari, yang Terbaik
Primadona dalam konteks ini tak ada hubungannya dengan dunia artis. Itu hanyalah istilah yang dipinjam bahwa di hari-hari sekitar Idul Adha, hewan kurban dicari-cari banyak orang untuk dijadikan kurban sebagai perwujudan ketaatan kepada Allah.
Di sekitar Hari Raya Kurban, hewan yang memenuhi kualifikasi ‘layak kurban’ dicari dengan penuh antusias oleh kaum Muslimin. Subhanallah! Memang, Hari Raya Kurban memiliki arti penting bagi seluruh umat Islam. Karena, di saat-saat itu Allah membuka kesempatan emas bagi kita untuk lebih bisa mendemonstrasikan ketunduk-patuhannya kepada-Nya. Allah memberi peluang lebih besar agar kita bisa memertontonkan usaha kita yang sungguh-sungguh dalam mendekatkan diri kepada-Nya.
Semangat berkurban telah dicontohkan Nabi Ibrahim a.s. dan Nabi Ismail a.s.. sebagaimana yang terekam dalam Kitab Suci. “Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: ‘Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!’ Ia menjawab: ‘Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar’.” (QS Ash-Shaaffaat [37]: 102).
Di kisah ini, tampak Nabi Ibrahim a.s. ‘begitu tega’ akan ‘menyembelih’ Nabi Ismail a.s.. Tapi, itu dilakukannya sebagai tanda cinta kepada Allah. Sekarang, kita berefleksi. Andai kejadian itu dialami kita, kira-kira apa yang akan kita perbuat? Mungkinkah iman dan ketaqwaan kita sekuat Ibrahim a.s. dan Ismail a.s.? Mungkinkah kita punya keberanian yang sama, mengorbankan sesuatu yang teramat kita cintai?
Semangat berkurban seperti yang dicontohkan Ibrahim a.s. dan Ismail a.s. dapat kita aplikasikan pada Hari Raya Kurban. Kita tidak harus ‘menyembelih’ putra kita. Sebagai gantinya kita cukup menyembelih sapi, kambing atau domba menurut kemampuan kita masing-masing.
Setelah memiliki semangat berkurban, ada hal lain yang perlu mendapat perhatian tentang berkurban. Salah satu hal penting yang wajib diperhatikan adalah syarat hewan kurban. Mengapa harus ada syarat?
Ingatlah kembali kisah ini! “Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putera Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya. Ketika keduanya mempersembahkan kurban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Ia berkata (Qabil): ‘Aku pasti membunuhmu!’ Berkata Habil: ‘Sesungguhnya Allah hanya menerima (kurban) dari orang-orang yang bertaqwa’.“ (QS Al-Maaidah [5]: 27).
Mengapa kurban Habil diterima, sedang kurban Qabil tidak? Ternyata, Habil mengurbankan domba yang kualitasnya baik dan dengan niat ikhlas. Sementara, Qabil mengurbankan buah-buahan yang kualitasnya tidak baik dan dibarengi sikap tak ikhlas.
Inti pesan dari kisah di atas, bahwa kualitas kurban yang kita persembahkan mencerminkan kadar keimanan dan keikhlasan kita. Bukankah hakikat berkurban adalah memberikan yang terbaik dari yang kita miliki?
Jadi, saat akan memilih hewan kurban kita patut untuk berkaca kepada kasus ‘Habil-Qabil’ saat keduanya berkurban. Hewan kurban yang akan kita ‘persembahkan’ hendaknya memenuhi persyaratan ‘administrasi’.
Untuk itu, sebenarnya cukup mudah untuk mendapatkan hewan kurban yang sesuai syariat Islam, yaitu: 1). Hewan itu sehat dan tidak cacat fisik, misalnya: tidak pincang, tidak buta sebelah, ekor tidak terpotong dan tidak terlalu kurus. 2). Umur hewan kurban : a). Domba atau kambing telah berumur 1 tahun (yang telah berganti gigi) atau lebih, b). Sapi yang telah berumur 2 tahun (yang telah berganti gigi) atau lebih.
Setelah lolos persyaratan ‘administrasi’, hewan kurban hendaknya diperiksa lagi untuk melindungi ‘konsumen’ dari bahaya penyakit menular kepada manusia (Zoonosis) oleh petugas yang berwenang. Panitia penyelenggara penyembelihan hewan kurban hendaknya lebih proaktif menginformasikan tentang kegiatan penyembelihan hewan kurban. Adapun pemeriksaan tersebut meliputi pemeriksaan ante mortem (sebelum penyembelihan) dan pemeriksaan post mortem (setelah penyembelihan) agar daging kurban yang dihasilkan memenuhi syarat dalam hal kesehatan.
Mungkin kita berpikir, kok tampak terlalu ribet untuk hanya sekadar berkurban, karena harus melalui berbagai macam ‘aturan‘? Tetapi, jika kita perhatikan kisah Habil dan Qabil tadi, taat kepada ‘aturan‘ tersebut sebagai bukti kadar keimanan dan keikhlasan kita.
Hal terakhir yang wajib mendapat perhatian adalah cara menyembelih hewan kurban. Menurut syariat Islam, hewan dijatuhkan di lantai, di atas lubang tanah yang telah disediakan, tanduk hewan diputar kearah lantai sehingga hidung mengarah ke atas, kepala hewan harus mengarah ke selatan dan ekornya mengarah ke utara, serta muka dan kaki hewan mengarah ke Kiblat. Sementara, penyembelih harus berdiri di sebelah timur leher. Tenggorokan dan kerongkongan diputus dengan sekali tebas.
Cara menyembelih tersebut hendaknya diperhatikan karena selain sesuai dengan syariat Islam juga sangat memerhatikan aspek kesrawan (kesejahteraan hewan). Bukankah hewan juga mempunyai hak diperlakukan selayaknya hewan?
Adapun pelaksanaan kurban dilakukan setelah shalat Idul Adha sampai tiga hari sesudahnya (hari-hari tasyrik). Jadi, ada empat hari kesempatan bagi kita untuk menyembelih hewan kurban.
Semoga Idul Adha tahun ini mampu menjadikan kita sebagai manusia yang lebih baik. Misal, semangat berkurban (dalam pengertian luas) lebih meningkat. Atau, semangat untuk berbagi dengan sesama lebih meninggi. Sungguh, itu semua bermuara kepada situasi ‘lebih dekat dengan Allah’.*
Penulis alumnus FKH Unair dan peminat masalah sosial-keagamaan
Hidayatullah.com - Ketika Hewan Menjadi “Primadona Religi”
Oleh: Drh. Arif Rahman Hakim
Setiap masuk bulan Dzulhijjah, terutama di sepuluh hari pertamanya, hewan kurban tampak menjadi ‘primadona religi’. Umat Islam yang mampu dan mengerti akan ‘berburu’ untuk mendapatkan sang ‘primadona religi’ yang berkualifikasi terbaik. Mengapa?
Dicari, yang Terbaik
Primadona dalam konteks ini tak ada hubungannya dengan dunia artis. Itu hanyalah istilah yang dipinjam bahwa di hari-hari sekitar Idul Adha, hewan kurban dicari-cari banyak orang untuk dijadikan kurban sebagai perwujudan ketaatan kepada Allah.
Di sekitar Hari Raya Kurban, hewan yang memenuhi kualifikasi ‘layak kurban’ dicari dengan penuh antusias oleh kaum Muslimin. Subhanallah! Memang, Hari Raya Kurban memiliki arti penting bagi seluruh umat Islam. Karena, di saat-saat itu Allah membuka kesempatan emas bagi kita untuk lebih bisa mendemonstrasikan ketunduk-patuhannya kepada-Nya. Allah memberi peluang lebih besar agar kita bisa memertontonkan usaha kita yang sungguh-sungguh dalam mendekatkan diri kepada-Nya.
Semangat berkurban telah dicontohkan Nabi Ibrahim a.s. dan Nabi Ismail a.s.. sebagaimana yang terekam dalam Kitab Suci. “Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: ‘Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!’ Ia menjawab: ‘Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar’.” (QS Ash-Shaaffaat [37]: 102).
Di kisah ini, tampak Nabi Ibrahim a.s. ‘begitu tega’ akan ‘menyembelih’ Nabi Ismail a.s.. Tapi, itu dilakukannya sebagai tanda cinta kepada Allah. Sekarang, kita berefleksi. Andai kejadian itu dialami kita, kira-kira apa yang akan kita perbuat? Mungkinkah iman dan ketaqwaan kita sekuat Ibrahim a.s. dan Ismail a.s.? Mungkinkah kita punya keberanian yang sama, mengorbankan sesuatu yang teramat kita cintai?
Semangat berkurban seperti yang dicontohkan Ibrahim a.s. dan Ismail a.s. dapat kita aplikasikan pada Hari Raya Kurban. Kita tidak harus ‘menyembelih’ putra kita. Sebagai gantinya kita cukup menyembelih sapi, kambing atau domba menurut kemampuan kita masing-masing.
Setelah memiliki semangat berkurban, ada hal lain yang perlu mendapat perhatian tentang berkurban. Salah satu hal penting yang wajib diperhatikan adalah syarat hewan kurban. Mengapa harus ada syarat?
Ingatlah kembali kisah ini! “Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putera Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya. Ketika keduanya mempersembahkan kurban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Ia berkata (Qabil): ‘Aku pasti membunuhmu!’ Berkata Habil: ‘Sesungguhnya Allah hanya menerima (kurban) dari orang-orang yang bertaqwa’.“ (QS Al-Maaidah [5]: 27).
Mengapa kurban Habil diterima, sedang kurban Qabil tidak? Ternyata, Habil mengurbankan domba yang kualitasnya baik dan dengan niat ikhlas. Sementara, Qabil mengurbankan buah-buahan yang kualitasnya tidak baik dan dibarengi sikap tak ikhlas.
Inti pesan dari kisah di atas, bahwa kualitas kurban yang kita persembahkan mencerminkan kadar keimanan dan keikhlasan kita. Bukankah hakikat berkurban adalah memberikan yang terbaik dari yang kita miliki?
Jadi, saat akan memilih hewan kurban kita patut untuk berkaca kepada kasus ‘Habil-Qabil’ saat keduanya berkurban. Hewan kurban yang akan kita ‘persembahkan’ hendaknya memenuhi persyaratan ‘administrasi’.
Untuk itu, sebenarnya cukup mudah untuk mendapatkan hewan kurban yang sesuai syariat Islam, yaitu: 1). Hewan itu sehat dan tidak cacat fisik, misalnya: tidak pincang, tidak buta sebelah, ekor tidak terpotong dan tidak terlalu kurus. 2). Umur hewan kurban : a). Domba atau kambing telah berumur 1 tahun (yang telah berganti gigi) atau lebih, b). Sapi yang telah berumur 2 tahun (yang telah berganti gigi) atau lebih.
Setelah lolos persyaratan ‘administrasi’, hewan kurban hendaknya diperiksa lagi untuk melindungi ‘konsumen’ dari bahaya penyakit menular kepada manusia (Zoonosis) oleh petugas yang berwenang. Panitia penyelenggara penyembelihan hewan kurban hendaknya lebih proaktif menginformasikan tentang kegiatan penyembelihan hewan kurban. Adapun pemeriksaan tersebut meliputi pemeriksaan ante mortem (sebelum penyembelihan) dan pemeriksaan post mortem (setelah penyembelihan) agar daging kurban yang dihasilkan memenuhi syarat dalam hal kesehatan.
Mungkin kita berpikir, kok tampak terlalu ribet untuk hanya sekadar berkurban, karena harus melalui berbagai macam ‘aturan‘? Tetapi, jika kita perhatikan kisah Habil dan Qabil tadi, taat kepada ‘aturan‘ tersebut sebagai bukti kadar keimanan dan keikhlasan kita.
Hal terakhir yang wajib mendapat perhatian adalah cara menyembelih hewan kurban. Menurut syariat Islam, hewan dijatuhkan di lantai, di atas lubang tanah yang telah disediakan, tanduk hewan diputar kearah lantai sehingga hidung mengarah ke atas, kepala hewan harus mengarah ke selatan dan ekornya mengarah ke utara, serta muka dan kaki hewan mengarah ke Kiblat. Sementara, penyembelih harus berdiri di sebelah timur leher. Tenggorokan dan kerongkongan diputus dengan sekali tebas.
Cara menyembelih tersebut hendaknya diperhatikan karena selain sesuai dengan syariat Islam juga sangat memerhatikan aspek kesrawan (kesejahteraan hewan). Bukankah hewan juga mempunyai hak diperlakukan selayaknya hewan?
Adapun pelaksanaan kurban dilakukan setelah shalat Idul Adha sampai tiga hari sesudahnya (hari-hari tasyrik). Jadi, ada empat hari kesempatan bagi kita untuk menyembelih hewan kurban.
Semoga Idul Adha tahun ini mampu menjadikan kita sebagai manusia yang lebih baik. Misal, semangat berkurban (dalam pengertian luas) lebih meningkat. Atau, semangat untuk berbagi dengan sesama lebih meninggi. Sungguh, itu semua bermuara kepada situasi ‘lebih dekat dengan Allah’.*
Penulis alumnus FKH Unair dan peminat masalah sosial-keagamaan
Hidayatullah.com - Ketika Hewan Menjadi “Primadona Religi”
Langganan:
Postingan (Atom)