Oleh Adi Warsidi
Di
kamar ukuran 4 x 3 meter itu, sebuah lemari penuh buku menempel di dinding. Tak
ada meja dan kursi, hanya selembar ambal berwarna biru. Itulah ruang kerja Drs.
Teuku Abdullah Sakti (DTA Sakti), perawat hikayat Aceh yang telah lebur dan
tercerai berai bersama waktu.
Pekan
lalu, Tempo diajak menyelami ruangan yang terletak pada sudut rumahnya di Desa
Tanjong, Darussalam, Banda Aceh. Mesin tik model lama tergeletak persis di
depan lemari. Tak ada komputer, dengan mesin itulah DTA Sakti bekerja merangkai
kata.
Lemari
bagian atas berisi buku-buku hikayat Aceh dan Melayu yang telah
dialih-bahasakan olehnya, sebagian lagi adalah buku-buku sejarah Aceh. Pak TA
–begitu orang memanggilnya- adalah dosen di Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan (FKIP) Sejarah di Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh.
Harta
karun ada di bagian bawah lemari kayu itu. Dokumen-dokumen tua berumur ratusan
tahun tertata rapi, sebagian hampir tak terbaca. “Ini adalah kumpulan-kumpulan
hikayat lama Aceh, sempat basah direndam tsunami,” sebutnya. Hikayat adalah
cerita-cerita dongeng yang bersyair dan bisa berupa petunjuk dalam kehidupan.
Seringkali hikayat hanya diketahui secara turun temurun yang diceritakan secara
lisan.
Kumpulan
yang dimaksudkan adalah buku-buku tua yang lebih tepat disebut lembaran, tak
mirip lagi sebuah buku. Berisikan hikayat-hikayat lama dalam bahasa Aceh dan
Melayu, tulisan dalam kertas-kertas kusam itu berhuruf arab, bukan latin. Di
sinilah peran TA bermain dalam merawat hikayat-hikayat lama, menuliskan kembali
kisah dalam huruf latin, bahasa Aceh atau Melayu persis aslinya. “Agar semua
orang bisa tahu dan membaca.”
TA
menyebutnya alih aksara, tak kurang 28 buku yang memuat hikayat lama telah
berhasil disusunnya kembali, beberapa lagi masih dalam tahap pengerjaan.
Kesibukan itulah yang dilakoninya setiap hari, ketika tak sibuk mengajar.
Hikayat-hikayat yang dialih-bahasakan kembali, kerap muncul di media massa
Aceh, seperti di Harian Serambi Indonesia dan Harian Rakyat Aceh.
Selain
itu, juga dituangkan dalam buku-buku kecil seukuran saku, untuk dijual bebas. Uangnya
dipakai untuk mencetak lagi sebanyak-banyaknya, agar hikayat lama dikenali luas
dan tak mudah punah. Jika ditotalkan, kisah lama yang telah berhasil
dialih-aksarakan sebanyak 7.000 halaman buku saku.
Hikayat
yang dituliskan kembali beragam, ada Hikayat Meudehak (cerita tentang
keberhasilan raja), Gomtala Syah (kisah binatang), Hikayat Prang Sabi
(membangkitkan semangat perang melawan Belanda) Hikayat Tajussalatin (pedoman
dan nasehat untuk raja-raja) dan lain sebagainya. Cerita itu telah berumur lama,
Tajussalatin misalnya telah dikarang sejak 1603 oleh Bukhari Al-Jauhari atas
perintah Sultan Aceh saat itu. Memakai bahasa Melayu, dongeng itu ditulis dalam
huruf arab.
Naskah
yang menjadi tuntunan para raja-raja di Aceh itu kemudian menyebar di seluruh
nusantara. Pernah Sultan Hamengkubuwono V menerjemahkannya dalam bahasa jawa
pada abad ke-18. Konon, salinannya masih tersimpan rapi di ruangan klasik
meseum Suno Bodoyo, Jokyakarta.
***
ketertarikan
TA terhadap hikayat telah lama. Dilahirkan di Desa Bucue, Kecamatan Sakti,
Pidie pada Tahun 1954 lalu, kehidupannya sudah biasa dengan cerita-cerita
dongeng Aceh alias hikayat. Darah budaya mengalir sejak belajar di dayah Titue-
Keumala, yang diasuh oleh T. Muhammad Syeh Lemeulo, saat itu.
Selain
itu, rumah orang tuanya di desa juga banyak tersimpan dokumen hikayat dulu
warisan moyangnya. “Umumnya, kitab hikayat lama yang ada sama saya adalah
warisan keluarga,” sebutnya.
Saat
kecil, dia sudah bisa menghafal Hikayat Akhbarul Karim, yang bercerita tentang
agama. Kehidupan di desanya juga tak jauh dari hikayat, setiap pesta perkawinan
di Aceh dulunya, selalu dihiasi dengan hikayat syair yang didendangkan siang
dan malam. Perlahan-lahan kebiasaan itu hilang berganti musik.
Umur
13 tahun, TA mengenal Adnan PMTOH saat pementasan di Lapangan Kota Bakti,
Sigli. Diakuinya, begitu terpana TA menyaksikan keahlian Adnan yang mahir
membacakan hikayat-hikayat diluar kepala, ditambah dengan peragaan alat-alat
yang sangat bagus dan menghibur. Saat itu, ribuan orang hadir menyaksikan
keahlian Adnan.
Setelah
itu, TA muda menjadi rajin mengumpulkan kembali hikayat-hikayat yang tersebar
di kumpulan buku-buku usang rumahnya. Dihafalnya dan diingatnya setiap kisah
yang dibaca.
Tahun
1985, TA meneruskan sekolah ke Jogya. Di sana kecintaannya kepada hikayat
menipis. Sampai suatu hari dia mendapat kecelakaan tabrakan mobil yang
ditumpanginya. Hanya setahun di Jogya, TA kembali ke Aceh untuk penyembuhan
kakinya, dia kemudian berobat satu tahun di Beutong, Aceh Barat. “Kendati
sembuh, kaki saya tak sempurna lagi, saya mulai menggunakan tongkat sejak itu,”
sebutnya.
Tapi
di Beutong lah, hari-harinya diisi dengan lantunan hikayat yang pernah
dihafalnya. Kecintaannya bertambah lagi sampai kembali ke Jogya meneruskan
study yang sempat macet. Tahun 1990, TA resmi menjadi dosen dan rutin
menuliskan dan sekaligus merawat hikayat-hikayat lama.
Bukan
tanpa kendala, menurutnya pemerintah Aceh masih kurang bisa merawat budaya.
Buktinya, TA kerap mencari dukungan kepada Pemda Aceh untuk mencetak
hikayat-hikayat lama yang telah dialih-aksarakan kembali, tapi tak ada
perhatian. TA tak patah arang, menyisihkan sedikit gajinya hikayat itu tetap
dicetaknya dan dikeluarkan sendiri, dijual murah dan kemudian hasilnya untuk
dicetak lagi. “Saya ingin cerita-cerita lama di Aceh tetap terpelihara,”
sebutnya.
Mengumpulkan
bahan juga hal yang susah. Banyak kitab lama yang hilang bersama konflik di
Aceh, tsunami menambahnya lagi. Misalnya, Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh
(PDIA) yang rata dengan tanah. Padahal, tempat itu kaya dengan cerita Aceh
dulunya.
TA yang pernah mendapatkan ‘Bintang Budaya Parama Dharma’
–untuk mereka yang memelihara budaya nasional- semasa Presiden Megawati
dulunya, sering menyelami di mana karya budaya Aceh banyak tersangkut.
Temuannya, hikayat Aceh sebanyak 600 judul pernah di-latin-kan semasa perang
Belanda di Aceh.
Adalah
Hosein Djayadiningrat yang menggubah saat itu. Dia merupakan ajudan dari Snock
Hungronje, peneliti Belanda yang dianggap berjasa dalam perang Belanda di Aceh.
Indonesia merdeka, karya itu dibeli oleh Muhammad Yamin, menteri era Soekarno.
Setelah itu, tidak diketahui lagi keberadaan kisah itu.
Baru
tahun 1994, TA mendapatkan kabar kalau hikayat 600 judul itu berada di Museum
Pertamina, Jakarta. Dulunya, (Alm) Aboe Bakar (budayawan Aceh dan pendiri PDIA)
pernah mengusulkan agar hikayat itu dibeli kembali oleh Pemda Aceh untuk dibawa
ke Serambi. Tapi, tak pernah digubris. “Saya sendiri berkali-kali menuliskan di
koran tentang itu,” sebut TA.
Menurutnya,
Snock Hungronje pernah menuliskan pujian terhadap Aceh dulunya dalam sebuah
buku. “Satu-satunya cerita dongeng lisan tentang binatang yang pernah dibukukan
di Nusantara adalah di Aceh,” sebut TA mengulang pujian. Cerita binatang yang
dimaksud adalah Hikayat Gomtala Syah.
TA
sendiri sempat heran terhadap orang Aceh yang tidak begitu serius merawat
cerita budaya. “Masak orang luar Aceh yang lebih peduli, kita sendiri tidak.”
Kekhawatirannya
terhadap hikayat yang hampir punah, membuatnya terus bekerja merawat kembali
kisah-kisah dalam bentuk syair itu. Kemampuannya tentu terbatas, apalagi tak
banyak yang melakukannya. Hanya beberapa orang, salah satunya adalah (Alm)
Adnan PMTOH.
***
Mengenang
sang fenomenal Adnan, ingatan TA melenting ke tahun 1967. Kembali ke alun-alun
Kota Bakti, saat pertama kali melihatnya beraksi. Hikayat-hikayat Malem Diwa
dan Sang Deuria meluncur bebas dari mulut penutur PMTOH itu.
Dengan
berbagai alat peraga, Adnan melakonkan Malem Diwa, sang tokoh cerita. Lalu berubah
jadi Putri Bungsu dengan perubahan suaranya, sesaat kemudian jadi Banta Muda
lalu berubah lagi menjadi Raja Muda Negeri Antara.
Kisah
Malem Diwa menurut TA adalah cerita yang bukan sepenuhnya dongeng, ada kejadian
sebenarnya dan tokoh sejarahnya. Inti cerita, bagaimana penyebaran agama Islam
di Aceh saat itu. Kisah dimulai dari turunnya tujuh putri dari negeri Antara
(Aceh Tengah) untuk mandi di Krueng Peusangan (Bireuen).
Malem
Diwa mengintip para putri mandi dan tertarik dengan si Bungsu alias Putroe
Bungsu. Singkat kisah, diapun mencuri baju terbang Putroe Bungsu, hingga tak
bisa kembali ke negerinya. Malem muncul sebagai pahlawan dan kemudian menikahi
putri jelita itu. Berbilang tahun kemudian, mereka dikaruniai anak, bernama
Banta Muda.
Banta
lewat masa balita, saat Putroe Bungsu menemukan baju terbangnya yang
disembunyikan Malem Diwa di bawah dapur rumah. Kerinduan pada kerajaannya,
membuat Putroe terbang kembali ke Negeri Antara membawa Banta Muda, tanpa
sepengetahuan suami.
Inti
kisah dimulai. Malem dirudung duka lalu berusaha mencari istrinya ke Negeri
Antara. Dia menyamar menjadi seorang guru mengaji dan mengajarkan ngaji di
kerajaan. Salah satu murid adalah anaknya sendiri, Banta Muda. Di sini hikayat
menggambarkan bagaimana penyebaran Islam dilakukan.
Tak
lama setelah pertemuan itu, Putroe Bungsu akan dipersunting oleh seorang Raja
yang belum beragama Islam. Malem Diwa dan Banta Muda bersekutu melawan Raja.
Penguasa itu kalah dan Malem Diwa bahagia kembali bersama seluruh keluarga.
Di
tangan Adnan PMTOH, kisah itu disajikan dengan unik. “Semua orang pasti akan
tertawa, merenung dan sedih mendengarnya,” sebut TA.
TA
memuji Adnan sebagai tokoh pujangga Aceh yang unik. Hanya Adnan yang bisa
membacakan hikayat dengan menghibur. Dia juga berhasil membacakan kisah dengan
tambahan tiruan bunyi-bunyian semisal burung dan binatang lainnya. Derap
langkah tokoh cerita kerap digantikan dengan suara pentongan. Tapi, tak pernah
mengubah inti cerita.
Di
sisi lain, Adnan juga mengarang cerita-cerita baru dengan model hikayat
bersyair. Memasukkan zaman sekarang ke kisahnya. Dibacakan dengan menutur dan
menghibur ribuan orang Aceh semasa hidupnya. “Jarang mendapatkan orang
sepertinya sekarang,” sebut TA.
Sepeninggal
Adnan, TA mengakui sedikit resah akan kelanjutan hikayat lama Aceh yang umumnya
masih terkubur. Takut suatu saat tak ada yang memperdulikan lagi dan membacakan
lagi. Harapannya, Pemda Aceh bisa terjun labih dalam lagi untuk melestarikan
budaya, terutama hikayat Aceh. Selain itu, bisa mendirikan sebuah Fakultas
Sastra di Aceh, setidaknya anak-cucu bisa terus membaca dan tahu cerita lama.
Walau
tak pernah bertemu dan berbicara secara langsung, Adnan adalah inspirasi bagi
TA dalam bekerja mengamankan hikayat-hikayat bersyair. Keduanya sama-sama
mencintai budaya. Bedanya, Adnan adalah penutur dan TA adalah perawat.
Di
ruang kerjanya, TA masih meneruskan tugasnya mengalih-aksarakan kitab berhuruf
Arab ke huruf latin. Tik...tik... mesin ketik masih menemaninya dalam
kegundahan memikirkan kelanjutan hikayat lama Aceh. Tugasnya masih belum
selesai, impiannya masih bergantung, mungkin sampai dia tak bisa bermimpi lagi.
***
*Tulisan
ini adalah dari situs penulis di Adi
Warsidi
http://www.atjehcyber.net/2011/06/perawat-hikayat-aceh.html#
Tidak ada komentar:
Posting Komentar