Pages

Selasa, 27 November 2012

Sang Perawat Hikayat Aceh



Oleh Adi Warsidi

Di kamar ukuran 4 x 3 meter itu, sebuah lemari penuh buku menempel di dinding. Tak ada meja dan kursi, hanya selembar ambal berwarna biru. Itulah ruang kerja Drs. Teuku Abdullah Sakti (DTA Sakti), perawat hikayat Aceh yang telah lebur dan tercerai berai bersama waktu.

Pekan lalu, Tempo diajak menyelami ruangan yang terletak pada sudut rumahnya di Desa Tanjong, Darussalam, Banda Aceh. Mesin tik model lama tergeletak persis di depan lemari. Tak ada komputer, dengan mesin itulah DTA Sakti bekerja merangkai kata.


Lemari bagian atas berisi buku-buku hikayat Aceh dan Melayu yang telah dialih-bahasakan olehnya, sebagian lagi adalah buku-buku sejarah Aceh. Pak TA –begitu orang memanggilnya- adalah dosen di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Sejarah di Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh.

Harta karun ada di bagian bawah lemari kayu itu. Dokumen-dokumen tua berumur ratusan tahun tertata rapi, sebagian hampir tak terbaca. “Ini adalah kumpulan-kumpulan hikayat lama Aceh, sempat basah direndam tsunami,” sebutnya. Hikayat adalah cerita-cerita dongeng yang bersyair dan bisa berupa petunjuk dalam kehidupan. Seringkali hikayat hanya diketahui secara turun temurun yang diceritakan secara lisan.


Kumpulan yang dimaksudkan adalah buku-buku tua yang lebih tepat disebut lembaran, tak mirip lagi sebuah buku. Berisikan hikayat-hikayat lama dalam bahasa Aceh dan Melayu, tulisan dalam kertas-kertas kusam itu berhuruf arab, bukan latin. Di sinilah peran TA bermain dalam merawat hikayat-hikayat lama, menuliskan kembali kisah dalam huruf latin, bahasa Aceh atau Melayu persis aslinya. “Agar semua orang bisa tahu dan membaca.”

TA menyebutnya alih aksara, tak kurang 28 buku yang memuat hikayat lama telah berhasil disusunnya kembali, beberapa lagi masih dalam tahap pengerjaan. Kesibukan itulah yang dilakoninya setiap hari, ketika tak sibuk mengajar. Hikayat-hikayat yang dialih-bahasakan kembali, kerap muncul di media massa Aceh, seperti di Harian Serambi Indonesia dan Harian Rakyat Aceh.

Selain itu, juga dituangkan dalam buku-buku kecil seukuran saku, untuk dijual bebas. Uangnya dipakai untuk mencetak lagi sebanyak-banyaknya, agar hikayat lama dikenali luas dan tak mudah punah. Jika ditotalkan, kisah lama yang telah berhasil dialih-aksarakan sebanyak 7.000 halaman buku saku.

Hikayat yang dituliskan kembali beragam, ada Hikayat Meudehak (cerita tentang keberhasilan raja), Gomtala Syah (kisah binatang), Hikayat Prang Sabi (membangkitkan semangat perang melawan Belanda) Hikayat Tajussalatin (pedoman dan nasehat untuk raja-raja) dan lain sebagainya. Cerita itu telah berumur lama, Tajussalatin misalnya telah dikarang sejak 1603 oleh Bukhari Al-Jauhari atas perintah Sultan Aceh saat itu. Memakai bahasa Melayu, dongeng itu ditulis dalam huruf arab.

Naskah yang menjadi tuntunan para raja-raja di Aceh itu kemudian menyebar di seluruh nusantara. Pernah Sultan Hamengkubuwono V menerjemahkannya dalam bahasa jawa pada abad ke-18. Konon, salinannya masih tersimpan rapi di ruangan klasik meseum Suno Bodoyo, Jokyakarta.

***
ketertarikan TA terhadap hikayat telah lama. Dilahirkan di Desa Bucue, Kecamatan Sakti, Pidie pada Tahun 1954 lalu, kehidupannya sudah biasa dengan cerita-cerita dongeng Aceh alias hikayat. Darah budaya mengalir sejak belajar di dayah Titue- Keumala, yang diasuh oleh T. Muhammad Syeh Lemeulo, saat itu.

Selain itu, rumah orang tuanya di desa juga banyak tersimpan dokumen hikayat dulu warisan moyangnya. “Umumnya, kitab hikayat lama yang ada sama saya adalah warisan keluarga,” sebutnya.

Saat kecil, dia sudah bisa menghafal Hikayat Akhbarul Karim, yang bercerita tentang agama. Kehidupan di desanya juga tak jauh dari hikayat, setiap pesta perkawinan di Aceh dulunya, selalu dihiasi dengan hikayat syair yang didendangkan siang dan malam. Perlahan-lahan kebiasaan itu hilang berganti musik.

Umur 13 tahun, TA mengenal Adnan PMTOH saat pementasan di Lapangan Kota Bakti, Sigli. Diakuinya, begitu terpana TA menyaksikan keahlian Adnan yang mahir membacakan hikayat-hikayat diluar kepala, ditambah dengan peragaan alat-alat yang sangat bagus dan menghibur. Saat itu, ribuan orang hadir menyaksikan keahlian Adnan.

Setelah itu, TA muda menjadi rajin mengumpulkan kembali hikayat-hikayat yang tersebar di kumpulan buku-buku usang rumahnya. Dihafalnya dan diingatnya setiap kisah yang dibaca.

Tahun 1985, TA meneruskan sekolah ke Jogya. Di sana kecintaannya kepada hikayat menipis. Sampai suatu hari dia mendapat kecelakaan tabrakan mobil yang ditumpanginya. Hanya setahun di Jogya, TA kembali ke Aceh untuk penyembuhan kakinya, dia kemudian berobat satu tahun di Beutong, Aceh Barat. “Kendati sembuh, kaki saya tak sempurna lagi, saya mulai menggunakan tongkat sejak itu,” sebutnya.

Tapi di Beutong lah, hari-harinya diisi dengan lantunan hikayat yang pernah dihafalnya. Kecintaannya bertambah lagi sampai kembali ke Jogya meneruskan study yang sempat macet. Tahun 1990, TA resmi menjadi dosen dan rutin menuliskan dan sekaligus merawat hikayat-hikayat lama.

Bukan tanpa kendala, menurutnya pemerintah Aceh masih kurang bisa merawat budaya. Buktinya, TA kerap mencari dukungan kepada Pemda Aceh untuk mencetak hikayat-hikayat lama yang telah dialih-aksarakan kembali, tapi tak ada perhatian. TA tak patah arang, menyisihkan sedikit gajinya hikayat itu tetap dicetaknya dan dikeluarkan sendiri, dijual murah dan kemudian hasilnya untuk dicetak lagi. “Saya ingin cerita-cerita lama di Aceh tetap terpelihara,” sebutnya.

Mengumpulkan bahan juga hal yang susah. Banyak kitab lama yang hilang bersama konflik di Aceh, tsunami menambahnya lagi. Misalnya, Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh (PDIA) yang rata dengan tanah. Padahal, tempat itu kaya dengan cerita Aceh dulunya.

TA yang pernah mendapatkan ‘Bintang Budaya Parama Dharma’ –untuk mereka yang memelihara budaya nasional- semasa Presiden Megawati dulunya, sering menyelami di mana karya budaya Aceh banyak tersangkut. Temuannya, hikayat Aceh sebanyak 600 judul pernah di-latin-kan semasa perang Belanda di Aceh.

Adalah Hosein Djayadiningrat yang menggubah saat itu. Dia merupakan ajudan dari Snock Hungronje, peneliti Belanda yang dianggap berjasa dalam perang Belanda di Aceh. Indonesia merdeka, karya itu dibeli oleh Muhammad Yamin, menteri era Soekarno. Setelah itu, tidak diketahui lagi keberadaan kisah itu.

Baru tahun 1994, TA mendapatkan kabar kalau hikayat 600 judul itu berada di Museum Pertamina, Jakarta. Dulunya, (Alm) Aboe Bakar (budayawan Aceh dan pendiri PDIA) pernah mengusulkan agar hikayat itu dibeli kembali oleh Pemda Aceh untuk dibawa ke Serambi. Tapi, tak pernah digubris. “Saya sendiri berkali-kali menuliskan di koran tentang itu,” sebut TA.

Menurutnya, Snock Hungronje pernah menuliskan pujian terhadap Aceh dulunya dalam sebuah buku. “Satu-satunya cerita dongeng lisan tentang binatang yang pernah dibukukan di Nusantara adalah di Aceh,” sebut TA mengulang pujian. Cerita binatang yang dimaksud adalah Hikayat Gomtala Syah.

TA sendiri sempat heran terhadap orang Aceh yang tidak begitu serius merawat cerita budaya. “Masak orang luar Aceh yang lebih peduli, kita sendiri tidak.”

Kekhawatirannya terhadap hikayat yang hampir punah, membuatnya terus bekerja merawat kembali kisah-kisah dalam bentuk syair itu. Kemampuannya tentu terbatas, apalagi tak banyak yang melakukannya. Hanya beberapa orang, salah satunya adalah (Alm) Adnan PMTOH.

***
Mengenang sang fenomenal Adnan, ingatan TA melenting ke tahun 1967. Kembali ke alun-alun Kota Bakti, saat pertama kali melihatnya beraksi. Hikayat-hikayat Malem Diwa dan Sang Deuria meluncur bebas dari mulut penutur PMTOH itu.

Dengan berbagai alat peraga, Adnan melakonkan Malem Diwa, sang tokoh cerita. Lalu berubah jadi Putri Bungsu dengan perubahan suaranya, sesaat kemudian jadi Banta Muda lalu berubah lagi menjadi Raja Muda Negeri Antara.

Kisah Malem Diwa menurut TA adalah cerita yang bukan sepenuhnya dongeng, ada kejadian sebenarnya dan tokoh sejarahnya. Inti cerita, bagaimana penyebaran agama Islam di Aceh saat itu. Kisah dimulai dari turunnya tujuh putri dari negeri Antara (Aceh Tengah) untuk mandi di Krueng Peusangan (Bireuen).

Malem Diwa mengintip para putri mandi dan tertarik dengan si Bungsu alias Putroe Bungsu. Singkat kisah, diapun mencuri baju terbang Putroe Bungsu, hingga tak bisa kembali ke negerinya. Malem muncul sebagai pahlawan dan kemudian menikahi putri jelita itu. Berbilang tahun kemudian, mereka dikaruniai anak, bernama Banta Muda.

Banta lewat masa balita, saat Putroe Bungsu menemukan baju terbangnya yang disembunyikan Malem Diwa di bawah dapur rumah. Kerinduan pada kerajaannya, membuat Putroe terbang kembali ke Negeri Antara membawa Banta Muda, tanpa sepengetahuan suami.

Inti kisah dimulai. Malem dirudung duka lalu berusaha mencari istrinya ke Negeri Antara. Dia menyamar menjadi seorang guru mengaji dan mengajarkan ngaji di kerajaan. Salah satu murid adalah anaknya sendiri, Banta Muda. Di sini hikayat menggambarkan bagaimana penyebaran Islam dilakukan.

Tak lama setelah pertemuan itu, Putroe Bungsu akan dipersunting oleh seorang Raja yang belum beragama Islam. Malem Diwa dan Banta Muda bersekutu melawan Raja. Penguasa itu kalah dan Malem Diwa bahagia kembali bersama seluruh keluarga.

Di tangan Adnan PMTOH, kisah itu disajikan dengan unik. “Semua orang pasti akan tertawa, merenung dan sedih mendengarnya,” sebut TA.

TA memuji Adnan sebagai tokoh pujangga Aceh yang unik. Hanya Adnan yang bisa membacakan hikayat dengan menghibur. Dia juga berhasil membacakan kisah dengan tambahan tiruan bunyi-bunyian semisal burung dan binatang lainnya. Derap langkah tokoh cerita kerap digantikan dengan suara pentongan. Tapi, tak pernah mengubah inti cerita.

Di sisi lain, Adnan juga mengarang cerita-cerita baru dengan model hikayat bersyair. Memasukkan zaman sekarang ke kisahnya. Dibacakan dengan menutur dan menghibur ribuan orang Aceh semasa hidupnya. “Jarang mendapatkan orang sepertinya sekarang,” sebut TA.

Sepeninggal Adnan, TA mengakui sedikit resah akan kelanjutan hikayat lama Aceh yang umumnya masih terkubur. Takut suatu saat tak ada yang memperdulikan lagi dan membacakan lagi. Harapannya, Pemda Aceh bisa terjun labih dalam lagi untuk melestarikan budaya, terutama hikayat Aceh. Selain itu, bisa mendirikan sebuah Fakultas Sastra di Aceh, setidaknya anak-cucu bisa terus membaca dan tahu cerita lama.

Walau tak pernah bertemu dan berbicara secara langsung, Adnan adalah inspirasi bagi TA dalam bekerja mengamankan hikayat-hikayat bersyair. Keduanya sama-sama mencintai budaya. Bedanya, Adnan adalah penutur dan TA adalah perawat.

Di ruang kerjanya, TA masih meneruskan tugasnya mengalih-aksarakan kitab berhuruf Arab ke huruf latin. Tik...tik... mesin ketik masih menemaninya dalam kegundahan memikirkan kelanjutan hikayat lama Aceh. Tugasnya masih belum selesai, impiannya masih bergantung, mungkin sampai dia tak bisa bermimpi lagi. ***

*Tulisan ini adalah dari situs penulis di Adi Warsidi
http://www.atjehcyber.net/2011/06/perawat-hikayat-aceh.html#

Tidak ada komentar:

Posting Komentar