SEJARAH
1945:Tahun dimana, Kenneth Duva Burke(May
5, 1897 – November 19, 1993) seorang teoritis literatur Amerika dan filosof
memperkenalkan konsep dramatisme sebagai metode untuk memahami fungsi sosial
dari bahasa dan drama sebagai pentas simbolik kata dan kehidupan sosial. Tujuan
Dramatisme adalah memberikan penjelasan logis untuk memahami motif tindakan
manusia, atau kenapa manusia melakukan apa yang mereka lakukan (Fox,
2002).Dramatisme memperlihatkan bahasa sebagai model tindakan simbolik
ketimbang model pengetahuan (Burke, 1978).
Pandangan Burke adalah bahwa hidup bukan seperti
drama, tapi hidup itu sendiri adalah drama. 1959: The
Presentation of Self in Everyday Life Tertarik dengan teori dramatisme
Burke, Erving Goffman (11 Juni 1922 – 19 November 1982), seorang
sosiolog interaksionis dan penulis, memperdalam kajian dramatisme tersebut dan
menyempurnakannya dalam bukunya yang kemudian terkenal sebagai salah satu
sumbangan terbesar bagi teori ilmu sosial The Presentation of Self in
Everyday Life. Dalam buku ini Goffman yang mendalami fenomena interaksi
simbolik mengemukakan kajian mendalam mengenai konsep Dramaturgi.
INI BUKAN DRAMATURGI ARISTOTELES
Istilah Dramaturgi kental dengan
pengaruh drama atau teater atau pertunjukan fiksi diatas panggung dimana
seorang aktor memainkan karakter manusia-manusia yang lain sehingga penonton
dapat memperoleh gambaran kehidupan dari tokoh tersebut dan mampu mengikuti
alur cerita dari drama yang disajikan. Meski benar, dramaturgi juga
digunakan dalam istilah teater namun term dan karakteristiknya berbeda dengan
dramaturgi yang akan kita pelajari. Dramaturgi dari istilah teater dipopulerkan
oleh Aristoteles. Sekitar tahun 350 SM, Aristoteles, seorang filosof
asal Yunani, menelurkan, Poetics, hasil pemikirannya yang sampai
sekarang masih dianggap sebagai buku acuan bagi dunia teater. Dalam Poetics,
Aristoteles menjabarkan penelitiannya tentang penampilan/drama-drama berakhir
tragedi/tragis ataupun kisah-kisah komedi.
Untuk menghasilkan Poetics Aristoteles meneliti
hampir seluruh karya penulis Yunani pada masanya. Kisah tragis merupakan obyek
penelitian utamanya dan dalam Poetic juga Aristoteles menyanjung
Kisah Oedipus Rex, sebagai kisah drama yang paling dapat diperhitungkan. Meskipun
Aristoteles mengatakan bahwa drama merupakan bagian dari puisi, namun
Aristoteles bekerja secara utuh menganalisa drama secara keseluruhan. Bukan
hanya dari segi naskahnya saja tapi juga menganalisa hubungan antara karakter
dan akting, dialog, plot dan cerita. Ia memberikan contoh-contoh plot yang baik
dan meneliti reaksi drama terhadap penonton. Nilai-nilai yang dikemukakan oleh
Aristoteles dalam maha karyanya ini kemudian dikenal dengan “aristotelian
drama” atau drama ala aristoteles, dimana deus ex machina adalah
suatu kelemahan dan dimana sebuah akting harus tersusun secara efisien. Banyak
konsep kunci drama, seperti anagnorisis dan katharsis, dibahas dalam Poetica. Sampai
sekarang “aristotelian drama” sangat terlihat aplikasinya pada
tayangan-tayangan tv, buku-buku panduan perfilman dan bahkan kursus-kursus
singkat perfilman (dramaturgi dasar) biasanya sangat bergantung kepada dasar
pemikiran yang dikemukakan oleh Aristoteles.
DRAMATURGI: BENTUK LAIN DARI
KOMUNIKASI
Bila Aristoteles mengungkapkan
Dramaturgi dalam artian seni. Maka, Goffman mendalami dramaturgi dari segi sosiologi.
Seperti yang kita ketahui, Goffman memperkenalkan dramaturgi pertama kali
dalam kajian sosial psikologis dan sosiologi melalui bukunya, The
Presentation of Self In Everyday Life. Buku tersebut menggali segala macam
perilaku interaksi yang kita lakukan dalam pertunjukan kehidupan kita
sehari-hari yang menampilkan diri kita sendiri dalam cara yang sama
dengan cara seorang aktor menampilkan karakter orang lain dalam sebuah
pertunjukan drama.
Cara yang sama ini
berarti mengacu kepada kesamaan yang berarti ada pertunjukan yang ditampilkan.
Bila Aristoteles mengacu kepada teater maka Goffman mengacu pada pertunjukan
sosiologi. Pertunjukan yang terjadi di masyarakat untuk memberi kesan yang baik
untuk mencapai tujuan. Tujuan dari presentasi dari Diri – Goffman ini
adalah penerimaan penonton akan manipulasi. Bila seorang aktor berhasil, maka
penonton akan melihat aktor sesuai sudut yang memang ingin diperlihatkan oleh
aktor tersebut. Aktor akan semakin mudah untuk membawa penonton untuk mencapai
tujuan dari pertunjukan tersebut. Ini dapat dikatakan sebagai bentuk lain dari
komunikasi. Kenapa komunikasi? Karena komunikasi sebenarnya adalah alat untuk
mencapai tujuan.
Bila dalam komunikasi konvensional manusia berbicara
tentang bagaimana memaksimalkan indera verbal dan non-verbal untuk mencapai
tujuan akhir komunikasi, agar orang lain mengikuti kemauan kita. Maka dalam
dramaturgis, yang diperhitungkan adalah konsep menyeluruh bagaimana kita
menghayati peran sehingga dapat memberikan feedback sesuai yang kita
mau. Perlu diingat, dramatugis mempelajari konteks dari perilaku
manusia dalam mencapai tujuannya dan bukan untuk mempelajari hasil dari
perilakunya tersebut.
Dramaturgi memahami bahwa dalam interaksi antar manusia ada
“kesepakatan” perilaku yang disetujui yang dapat mengantarkan kepada tujuan
akhir dari maksud interaksi sosial tersebut. Bermain peran merupakan salah satu
alat yang dapat mengacu kepada tercapainya kesepakatan tersebut.
Bukti nyata bahwa terjadi permainan peran dalam kehidupan
manusia dapat dilihat pada masyarakat kita sendiri. Manusia menciptakan sebuah
mekanisme tersendiri, dimana dengan permainan peran tersebut ia bisa tampil
sebagai sosok-sosok tertentu. Hal ini setara dengan yang dikatakan oleh
Yenrizal (IAIN Raden Fatah, Palembang), dalam makalahnya “Transformasi Etos
Kerja Masyarakat Muslim: Tinjauan Dramaturgis di Masyarakat Pedesaan Sumatera
Selatan” pada Annual Conference on Islamic Studies, Bandung, 26 – 30 November
2006: “Dengan konsep dramaturgis dan permainan peran yang
dilakukan oleh manusia, terciptalah suasana-suasana dan kondisi interaksi yang
kemudian memberikan makna tersendiri. Munculnya pemaknaan ini sangat tergantung
pada latar belakang sosial masyarakat itu sendiri. Terbentuklah kemudian masyarakat
yang mampu beradaptasi dengan berbagai suasana dan corak kehidupan. Masyarakat
yang tinggal dalam komunitas heterogen perkotaan, menciptakan panggung-panggung
sendiri yang membuatnya bisa tampil sebagai komunitas yang bisa bertahan hidup
dengan keheterogenannya. Begitu juga dengan masyarakat homogen pedesaan,
menciptakan panggung-panggung sendiri melalui interaksinya, yang terkadang
justru membentuk proteksi sendiri dengan komunitas lainnya.”
DRAMATURGIS : KITA SEBENARNYA HIDUP
DI ATAS PANGGUNG
Teori dramaturgi menjelaskan bahwa
identitas manusia adalah tidak stabil dan merupakan setiap identitas tersebut
merupakan bagian kejiwaan psikologi yang mandiri. Identitas manusia bisa saja
berubah-ubah tergantung dari interaksi dengan orang lain. Disinilah dramaturgis
masuk, bagaimana kita menguasai interaksi tersebut. Dalam dramaturgis,
interaksi sosial dimaknai sama dengan pertunjukan teater. Manusia adalah aktor
yang berusaha untuk menggabungkan karakteristik personal dan tujuan kepada
orang lain melalui “pertunjukan dramanya sendiri”.
Dalam mencapai tujuannya tersebut, menurut konsep
dramaturgis, manusia akan mengembangkan perilaku-perilaku yang mendukung
perannya tersebut. Selayaknya pertunjukan drama, seorang aktor drama
kehidupan juga harus mempersiapkan kelengkapan pertunjukan. Kelengkapan ini
antara lain memperhitungkan setting, kostum, penggunakan kata (dialog)
dan tindakan non verbal lain, hal ini tentunya bertujuan untuk meninggalkan
kesan yang baik pada lawan interaksi dan memuluskan jalan mencapai tujuan. Oleh
Goffman, tindakan diatas disebut dalam istilah “impression
management”.
Goffman juga melihat bahwa ada perbedaan akting yang
besar saat aktor berada di atas panggung (“front stage”) dan di
belakang panggung (“back stage”) drama kehidupan. Kondisi
akting di front stage adalah adanya penonton (yang melihat kita) dan
kita sedang berada dalam bagian pertunjukan. Saat itu kita berusaha untuk
memainkan peran kita sebaik-baiknya agar penonton memahami tujuan dari perilaku
kita. Perilaku kita dibatasi oleh oleh konsep-konsep drama yang bertujuan untuk
membuat drama yang berhasil (lihat unsur-unsur tersebut pada impression
management diatas). Sedangkan back stage adalah keadaan dimana
kita berada di belakang panggung, dengan kondisi bahwa tidak ada penonton.
Sehingga kita dapat berperilaku bebas tanpa mempedulikan plot perilaku
bagaimana yang harus kita bawakan.
Contohnya, seorang front liner hotel senantiasa
berpakaian rapi menyambut tamu hotel dengan ramah, santun, bersikap formil dan
perkataan yang diatur. Tetapi, saat istirahat siang, sang front liner bisa
bersikap lebih santai, bersenda gurau dengan bahasa gaul dengan temannya
atau bersikap tidak formil lainnya (merokok, dsb). Saat front liner menyambut
tamu hotel, merupakan saat front stage baginya (saat pertunjukan).
Tanggung jawabnya adalah menyambut tamu hotel dan memberikan kesan baik hotel
kepada tamu tersebut. Oleh karenanya, perilaku sang front liner juga
adalah perilaku yang sudah digariskan skenarionya oleh pihak manajemen hotel. Saat
istirahat makan siang, front liner bebas untuk mempersiapkan dirinya
menuju babak ke dua dari pertunjukan tersebut. Karenanya, skenario yang
disiapkan oleh manajemen hotel adalah bagaimana sang front liner tersebut
dapat refresh untuk menjalankan perannya di babak selanjutnya.
Sebelum berinteraksi dengan orang lain, seseorang pasti akan
mempersiapkan perannya dulu, atau kesan yang ingin ditangkap oleh orang lain.
Kondisi ini sama dengan apa yang dunia teater katakan
sebagai “breaking character”. Dengan konsep dramaturgis dan
permainan peran yang dilakukan oleh manusia, terciptalah suasana-suasana dan
kondisi interaksi yang kemudian memberikan makna tersendiri. Munculnya
pemaknaan ini sangat tergantung pada latar belakang sosial masyarakat itu
sendiri. Terbentuklah kemudian masyarakat yang mampu beradaptasi dengan
berbagai suasana dan corak kehidupan. Masyarakat yang tinggal dalam komunitas
heterogen perkotaan, menciptakan panggung-panggung sendiri yang membuatnya bisa
tampil sebagai komunitas yang bisa bertahan hidup dengan keheterogenannya.
Begitu juga dengan masyarakat homogen pedesaan, menciptakan panggung-panggung
sendiri melalui interaksinya, yang terkadang justru membentuk proteksi sendiri
dengan komunitas lainnya. Apa yang dilakukan masyarakat melalui konsep
permainan peran adalah realitas yang terjadi secara alamiah dan berkembang
sesuai perubahan yang berlangsung dalam diri mereka. Permainan peran ini akan
berubah-rubah sesuai kondisi dan waktu berlangsungnya. Banyak pula faktor yang
berpengaruh dalam permainan peran ini, terutama aspek sosial psikologis yang
melingkupinya.
KRITIK
TERHADAP DRAMATURGI
Dramarturgi hanya dapat berlaku di
institusi total
Institusi total maksudnya adalah institusi yang
memiliki karakter dihambakan oleh sebagian kehidupan atau keseluruhan kehidupan
dari individual yang terkait dengan institusi tersebut, dimana individu ini
berlaku sebagai sub-ordinat yang mana sangat tergantung kepada organisasi dan
orang yang berwenang atasnya.
Ciri-ciri institusi total antara lain dikendalikan oleh
kekuasan (hegemoni) dan memiliki hierarki yang jelas. Contohnya, sekolah
asrama yang masih menganut paham pengajaran kuno (disiplin tinggi), kamp
konsentrasi (barak militer), institusi pendidikan, penjara, pusat rehabilitasi
(termasuk didalamnya rumah sakit jiwa, biara, institusi pemerintah, dan
lainnya. Dramaturgi dianggap dapat berperan baik pada instansi-instansi
yang menuntut pengabdian tinggi dan tidak menghendaki adanya “pemberontakan”.
Karena di dalam institusi-institusi ini peran-peran sosial akan lebih mudah
untuk diidentifikasi. Orang akan lebih memahami skenario semacam apa yang ingin
dimainkan. Bahkan beberapa ahli percaya bahwa teori ini harus
dibuktikan dahulu sebelum diaplikasikan.
Menihilkan “kemasyarakatan”
Teori ini juga dianggap tidak
mendukung pemahaman bahwa dalam tujuan sosiologi ada satu kata yang seharusnya
diperhitungkan, yakni kekuatan “kemasyarakatan”. Bahwa tuntutan peran
individual menimbulkan clash bila berhadapan dengan peran
kemasyarakatan. Ini yang sebaiknya dapat disinkronkan.
Dianggap condong kepada Positifisme
Dramaturgi dianggap terlalu condong
kepada positifisme. Penganut paham ini menyatakan adanya kesamaan antara ilmu
sosial dan ilmu alam, yakni aturan. Aturan adalah pakem yang mengatur dunia
sehingga tindakan nyeleneh atau tidak dapat dijelaskan secara logis
merupakan hal yang tidak patut.
ANALISA
DRAMATURGI
Dramaturgis masuk dalam Perspektif
Obyektif
Dramaturgis dianggap masuk ke dalam perspektif obyektif
karena teori ini cenderung melihat manusia sebagai makhluk pasif (berserah).
Meskipun, pada awal ingin memasuki peran tertentu manusia memiliki kemampuan
untuk menjadi subyektif (kemampuan untuk memilih) namun pada saat menjalankan
peran tersebut manusia berlaku objektif, berlaku natural, mengikuti alur.
Misalnya, pada kasus Kekerasan pada Rumah Tangga (“KDRT”), saat perilaku
kekerasan itu hendak terjadi, korban sebenarnya memiliki pilihan, berserah diri
atau melakukan perlawanan. Bila ia memberontak maka konsekuensinya adalah ini
dan bila ia pasrah maka akibatnya seperti itu.
Proses subyektif ini akan beralih menjadi obyektif saat ia
menjalani peran yang dipilihnya tersebut. Misalnya yang ia ambil adalah pasrah
karena ia takut kalau ia melarikan diri konsekuensinya lebih parah, atau ia
merasa terlalu tergantung kepada tersangka dan mengkhawatirkan nasih anaknya
bila ia melawan. Maka, setelah itu ia akan menjalani perannya sebagai korban.
Secara naluriah ia akan menutupi bagian tubuhnya yang mungkin menjadi sasaran
kekerasan. Atau ia berusaha untuk menutupi telinganya untuk melindungi mental
dan psikologisnya. Itulah mengapa dramaturgi di sebut memiliki muatan objektif.
Karena pelakunya, menjalankan perannya secara natural, alamiah mengetahui
langkah-langkah yang harus dijalani.
Pendekatan Keilmuan Little John –
Pendekatan Scientific (ilmiah – empiris)
Seperti telah dijabarkan diatas, Dramaturgis merupakan teori
yang mempelajari proses dari perilaku dan bukan hasil dari perilaku. Ini
merupakan asas dasar dari penelitian-penelitian yang menggunakan pendekatan scientific. Obyektifitas yang digunakan disini
adalah karena institusi tempat dramaturgi berperan adalah memang institusi yang
terukur dan membutuhkan peran-peran yang sesuai dengan semangat institusi
tersebut. Institusi ini kemudian yang diklaim sebagai institusi total
sebagaimana telah dijabarkan sebelumnya. Bahwa hasil dari peranan itu
sesungguhnya, bila proses (rumusnya) dijalankan sesuai dengan standar observasi
dan konsistensi maka bentuk akhirnya adalah sama. Contohnya, bila seorang
pengajar mempraktekkan cara mengajar sesuai dengan template perguruan
tinggi maka kualitas keluaran perguruan tinggi tersebut akan menghasilkan
kualitas yang bisa dikatakan relatif sama. Atau untuk contoh front liner hotel
diatas, bila front liner dapat memainkan skenario penyambutan tamu
manajemen hotel, niscaya tamu akan merasa dihargai, dihormati, senang dan
bersedia untuk datang menginap kembali di hotel tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar