Sabtu, 05 November 2011
Oleh: Drh. Arif Rahman Hakim
Setiap
masuk bulan Dzulhijjah, terutama di sepuluh hari pertamanya, hewan
kurban tampak menjadi ‘primadona religi’. Umat Islam yang mampu dan
mengerti akan ‘berburu’ untuk mendapatkan sang ‘primadona religi’ yang
berkualifikasi terbaik. Mengapa?
Dicari, yang Terbaik
Primadona
dalam konteks ini tak ada hubungannya dengan dunia artis. Itu hanyalah
istilah yang dipinjam bahwa di hari-hari sekitar Idul Adha, hewan kurban
dicari-cari banyak orang untuk dijadikan kurban sebagai perwujudan
ketaatan kepada Allah.
Di sekitar Hari Raya Kurban, hewan yang
memenuhi kualifikasi ‘layak kurban’ dicari dengan penuh antusias oleh
kaum Muslimin. Subhanallah! Memang, Hari Raya Kurban memiliki arti
penting bagi seluruh umat Islam. Karena, di saat-saat itu Allah membuka
kesempatan emas bagi kita untuk lebih bisa mendemonstrasikan
ketunduk-patuhannya kepada-Nya. Allah memberi peluang lebih besar agar
kita bisa memertontonkan usaha kita yang sungguh-sungguh dalam
mendekatkan diri kepada-Nya.
Semangat berkurban telah dicontohkan Nabi Ibrahim a.s. dan Nabi Ismail a.s.. sebagaimana yang terekam dalam Kitab Suci. “Maka
tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama
Ibrahim, Ibrahim berkata: ‘Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam
mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!’ Ia
menjawab: ‘Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu;
insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar’.” (QS Ash-Shaaffaat [37]: 102).
Di
kisah ini, tampak Nabi Ibrahim a.s. ‘begitu tega’ akan ‘menyembelih’
Nabi Ismail a.s.. Tapi, itu dilakukannya sebagai tanda cinta kepada
Allah. Sekarang, kita berefleksi. Andai kejadian itu dialami kita,
kira-kira apa yang akan kita perbuat? Mungkinkah iman dan ketaqwaan kita
sekuat Ibrahim a.s. dan Ismail a.s.? Mungkinkah kita punya keberanian
yang sama, mengorbankan sesuatu yang teramat kita cintai?
Semangat
berkurban seperti yang dicontohkan Ibrahim a.s. dan Ismail a.s. dapat
kita aplikasikan pada Hari Raya Kurban. Kita tidak harus ‘menyembelih’
putra kita. Sebagai gantinya kita cukup menyembelih sapi, kambing atau
domba menurut kemampuan kita masing-masing.
Setelah memiliki
semangat berkurban, ada hal lain yang perlu mendapat perhatian tentang
berkurban. Salah satu hal penting yang wajib diperhatikan adalah syarat
hewan kurban. Mengapa harus ada syarat?
Ingatlah kembali kisah ini! “Ceritakanlah
kepada mereka kisah kedua putera Adam (Habil dan Qabil) menurut yang
sebenarnya. Ketika keduanya mempersembahkan kurban, maka diterima dari
salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang
lain (Qabil). Ia berkata (Qabil): ‘Aku pasti membunuhmu!’ Berkata Habil:
‘Sesungguhnya Allah hanya menerima (kurban) dari orang-orang yang
bertaqwa’.“ (QS Al-Maaidah [5]: 27).
Mengapa kurban Habil
diterima, sedang kurban Qabil tidak? Ternyata, Habil mengurbankan domba
yang kualitasnya baik dan dengan niat ikhlas. Sementara, Qabil
mengurbankan buah-buahan yang kualitasnya tidak baik dan dibarengi sikap
tak ikhlas.
Inti pesan dari kisah di atas, bahwa kualitas
kurban yang kita persembahkan mencerminkan kadar keimanan dan keikhlasan
kita. Bukankah hakikat berkurban adalah memberikan yang terbaik dari
yang kita miliki?
Jadi, saat akan memilih hewan kurban kita
patut untuk berkaca kepada kasus ‘Habil-Qabil’ saat keduanya berkurban.
Hewan kurban yang akan kita ‘persembahkan’ hendaknya memenuhi
persyaratan ‘administrasi’.
Untuk itu, sebenarnya cukup mudah
untuk mendapatkan hewan kurban yang sesuai syariat Islam, yaitu: 1).
Hewan itu sehat dan tidak cacat fisik, misalnya: tidak pincang, tidak
buta sebelah, ekor tidak terpotong dan tidak terlalu kurus. 2). Umur
hewan kurban : a). Domba atau kambing telah berumur 1 tahun (yang telah
berganti gigi) atau lebih, b). Sapi yang telah berumur 2 tahun (yang
telah berganti gigi) atau lebih.
Setelah lolos persyaratan
‘administrasi’, hewan kurban hendaknya diperiksa lagi untuk melindungi
‘konsumen’ dari bahaya penyakit menular kepada manusia (Zoonosis) oleh
petugas yang berwenang. Panitia penyelenggara penyembelihan hewan kurban
hendaknya lebih proaktif menginformasikan tentang kegiatan
penyembelihan hewan kurban. Adapun pemeriksaan tersebut meliputi
pemeriksaan ante mortem (sebelum penyembelihan) dan pemeriksaan post
mortem (setelah penyembelihan) agar daging kurban yang dihasilkan
memenuhi syarat dalam hal kesehatan.
Mungkin kita berpikir, kok
tampak terlalu ribet untuk hanya sekadar berkurban, karena harus melalui
berbagai macam ‘aturan‘? Tetapi, jika kita perhatikan kisah Habil dan
Qabil tadi, taat kepada ‘aturan‘ tersebut sebagai bukti kadar keimanan
dan keikhlasan kita.
Hal terakhir yang wajib mendapat perhatian
adalah cara menyembelih hewan kurban. Menurut syariat Islam, hewan
dijatuhkan di lantai, di atas lubang tanah yang telah disediakan, tanduk
hewan diputar kearah lantai sehingga hidung mengarah ke atas, kepala
hewan harus mengarah ke selatan dan ekornya mengarah ke utara, serta
muka dan kaki hewan mengarah ke Kiblat. Sementara, penyembelih harus
berdiri di sebelah timur leher. Tenggorokan dan kerongkongan diputus
dengan sekali tebas.
Cara menyembelih tersebut hendaknya
diperhatikan karena selain sesuai dengan syariat Islam juga sangat
memerhatikan aspek kesrawan (kesejahteraan hewan). Bukankah hewan juga
mempunyai hak diperlakukan selayaknya hewan?
Adapun pelaksanaan
kurban dilakukan setelah shalat Idul Adha sampai tiga hari sesudahnya
(hari-hari tasyrik). Jadi, ada empat hari kesempatan bagi kita untuk
menyembelih hewan kurban.
Semoga Idul Adha tahun ini mampu
menjadikan kita sebagai manusia yang lebih baik. Misal, semangat
berkurban (dalam pengertian luas) lebih meningkat. Atau, semangat untuk
berbagi dengan sesama lebih meninggi. Sungguh, itu semua bermuara kepada
situasi ‘lebih dekat dengan Allah’.*
Penulis alumnus FKH Unair dan peminat masalah sosial-keagamaan
Hidayatullah.com - Ketika Hewan Menjadi “Primadona Religi”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar