Pages

Minggu, 23 November 2014

Penat

Penat dalam kebisingan.
Panas dalam ruangan.
Bagaikan jeritan yang tak tau arah.
Gaduh dengan teriakan.
Tatapan lirihnya begitu dalam dan bersahaja.
Tak ada yang memperdulikannya di sana.
Bersama ilmu yang di milikinya.
Tak perduli di dengar atau tidak.
Tak perduli di mengerti atau tidak.
Sulit sekali menjinakkan manusia-manusia
yang katanya berpendidikan.
Namun tak pernah menghargai yang di depan.
Gaduh, berisik, cuek, berkumpul jadi satu.
Menjadi saling tak perduli.

Elegi Rindu

Sering datang perasaan lain, tentang sebuah kejujuran.
Berharap kepastian yang tak pernah terucap.
Cinta ini bagaikan elegi rindu.
Yang terkubur bersama luapan perasaan.
Terpendam dalam hati, yang kadang menyakitkan.
Cinta ini bagaikan elegi rindu,
yang terbang jauh di bawa angin.
Berharap ia akan kembali
dengan harapan-harapan yang tak pernah terwujud.
Selalu ku berkata jujur.
Namun itu candaan bagimu.
Ya, aku bercanda dalam keseriusan
yang kadang menimbulkan kegembiraan tersendiri di antara kita.
Ini bukan cinta yang tak terbalas.
Namun tak pernah terucap
ku anggap ini hanya sebuah elegi yang harus ku tanggung.
Elegi rindu

Nikmati Saja

Perjalanan sudah di mulai.
Dari awal memang memiliki keraguan.
Tak yakin dengan sebuah pilihan, namun mencoba meyakinkan diri

Tak sama seperti kebanyakan...
Mungkin itulah sifat yang telah di takdirkan...
Tak yakin akan bertahan..
Namun mencoba untuk tegar dan tabah..

Memang ia, aku belum bertanya tentang kehidupan di depan..
Aku tak terlalu yakin, akan bertahan...

Cuek itu memang sudah menjadi sifat, yang mungkin sulit untuk di rubah
Apa yang harus aku lakukan..??

Minggu, 16 November 2014

Senyummu Itu..

Senyummu itu bagaikan oase di tengah dahaga.
Senyummu itu terasa menyejukkan hatiku.
Senyummu itu bagaikan berkah di tengah kesulitan hati.
Senyummu itu ada rasa nyaman yang begitu menentramkan.
Melihat senyummu itu aku merasa damai dalam kegelisahan hati

Sabang, 7 Juli 2014

Kota Tua dengan Sejuta Kisah

Bercerita dengan kisah
Mendengar dengan seksama,
ada petuah di setiap kata
Menjadi pengalaman yang bermakna,
Ini begitu menarik, di bawah lampu neon, teras rumah begitu bahagia..
Kisah itu menjelma menjadi tawa..
Kau bercerita, aku dan mereka tertawa dalam canda..

Tiju, Sigli, 19 April 2014 (20:59)

Kota Tua dengan Sejuta Kisah

Bercerita dengan kisah
Mendengar dengan seksama,
ada petuah di setiap kata
Menjadi pengalaman yang bermakna,
Ini begitu menarik, di bawah lampu neon, teras rumah begitu bahagia..
Kisah itu menjelma menjadi tawa..
Kau bercerita, aku dan mereka tertawa dalam canda..

Tiju, Sigli, 19 April 2014 (20:59)

Pada siapa Aku harus bercerita?

Pada siapa aku harus bercerita, sedangkan tak ada yang mau mendengarkan ceritaku.
Pada siapa aku harus bercerita, sedangkan aku tak teman yang bisa memahamiku.
Haruskah ku bercerita di atas kertas-kerta putih itu? Agar suatu saat penerusku tahu, aku juga memiliki masalah seperti ini.
Atau haruskan aku cerita di social media, agar semua tahu masalahku.
Dan atau aku hanya cukup bercerita kepada tuhan YME, tuhan yang memiliki jiwa dan raga ini.
Pada siapa aku harus bercerita?

Sabang, 7 Juli 2014

Senin, 10 November 2014

Sahabat Lama

Ditengah panasnya cuaca Ibukota, penat rasanya bila berada di sini, di jalan yang penuh dengan hiruk pikuk kendaraan yang berlalu lalang. Tapi itu harus di jalani, semua demi masa depat yang lebih cerah tentunya. Ini mungkin perjuangan untuk mencapai masa depat yang lebih baik. “Kenapa aku harus disini. Harus jauh dari orang tua. Ternyata memang capek hidup sendiri. Handphone ku tiba-tiba bergetar” aku bergumam dalam hati yang di kejutkan dengan suara HP yang bordering dan menggetarkan saku celana ku ini,ku lihat sebuah nomor baru memanggil.

“Assalamu’alaikum” ku menjawab telepon tersebut

“Wa’alaikumsalam” jawab suara di seberang sana. “Hai sombong,gak lihat kiri kanan jalannya’’ suara itu menyambung lagi pembicaraannya. Lalu ku tengok kiri dan kanan tidak ada orang yang aku kenali.

“Maaf, ini dengan siapa ya?” Tanya ku penasaran

“Ah, payah. Baru beberapa tahun gak jumpa sudah di lupakan. Ini Ronni. Kenal?” jawabnya agak sedikit dongkol

“Ronni mana” jawab ku lagi. Aku pura-pura tidak mengenal

“Ronni, teman SD, SMP mu, masa gak kenal”

Kepedihan Hujan




Di luar masih hujan dengan derasnya. Dan aku tertahan disini, tak bisa pulang. Rinai hujan begitu damai dengan iramanya. Ya aku selalu bahagia setiap hujan menyapa Negeri ini. Negeri yang kaya akan keindahan dunia. Kau tahu hujan itu menyimpan bejuta kenangan dari setiap butirnya. Begitu indah dan nyata. Terasa damai bila melihat ia turun dari langit-Nya.

Masa lalu kini memang telah berlalu, namun ia kini menjadi kenangan yang sangat berharga bagu setiap makhluk yang bernama manusia. Masa lalu yang menjadi kenangan dapat hadir kapan saja sesuka hatinya. Kini masa lalu yang penuh dengan kenangan itu kembali teringat. Meski kesakitan jiwa bila mengingatnya.

Mungkin kau begitu sempurna yang begitu sulit untuk dilupakan. Semenjak kau pergi menghadap-Nya, diri ini terasa hampa dalam kesendirian. Sulit memang untuk melupakan masa terindah itu. Tak ada alasan yang kuat bagiku untuk melupakanmu begitu saja dalam hati ini.

Hari Pertama

lifestyle.kompasiana.com


“Dek bangun, udah jam 6 ni, nanti telat kesekolah” suara Mama yang berteriak memanggilnya untuk segera bangun.
“ia ma, ni mau bangun”
“ayo cepat bangun, hari ini kan hari pertamamu”
“ia mama. Ardi dah bangun ni”

“dah bangun kok masih ditempat tidur” suara bang Ridho yang menggagunya
“ah apaan sih bang, ganggu saja. Lagi mimpi enak ni. Nanggung” balasnya sambil menarik selimut lagi
“heh. Emang mimpi bisa bersambung. Ada-ada aja kamu dek. ayo bangun cepat” balas bang Ridho sambil menarik selimut dan menggangguku lagi

“iya-iya. Dah bangun ni. Dasar bawel” sambil duduk ditempat tidur
‘ayo mandi sana!”
‘iya, abang bawel” balas ku dengan nada kesal, sambil bangun menuju kamar mandi yang berada di belakang, dengan malasnya. Tanpa sengaja ku menabrak dinding, yang menimbulkan nada yang membuat orang-orang rumah pada kaget. Pas ku bangun semua orang sudah berkumpul, sambil menertawaiku

“aduh, apa ketawa-tawa, sakit tau ” ku menoleh kearah bang Ridho yang menertawaiku dengan nada kesal. Memang saudara laki-laki ku satu-satunya sering membuatku kesal.

Ayah!

Hal sepele yang di lakukan akan menjadi sesuatu yang sangat berharga bagi orang lain. Aku punya seorang Ayah yang sangat perhatian, namun di balik perhatiannya membuat aku malu, harus menerima ejekan dari teman-temanku. Kejadian ini terjadi ketika aku masih duduk di kelas 2 SMP di kotaku, pagi itU, Ayah mengambil pulpen dari tas yang sering kupakai untuk kesekolah. Padahal aku memilki pulpen lebih dari satu dalam tas itu.

Sebelum menuju kesekolah, aku bersalaman kepada kedua orang tuaku dan meminta sedikit uang jajan, dan ku lihat Ayahku sedang menulis, namun aku tidak begitu menghiraukannya. Beberapa menit kemudian ketika aku sudah berada dalam ruang kelas, aku langsung mengambil posisi duduk dan mengambil sebuah buku dan pulpen, karena bel sekolah memang sudah di bunyikan. Ternyata pulpen yang ada di dalam tasku itu sudah tidak kehabisan tinta, sehingga aku harus meminjam kepada kawanku.

The Sad Story of The Rain



“Kau ingat Ron, dulu ketika hujan turun kita selalu bermain hujan. Rasanya ingin kembali bermain hujan. Seperti dulu lagi” Ardi mengenang kisahnya ketika masih kecil dulu, sambil melihat ke arah laur yang sedang basah dengan hujan. Anak-anak menyambut ria ketika hujan turun, sambil bermain bola di depan rumah. Sesekali ku lihat orang tua mereka marah ketika ada anak mereka yang bermain hujan. Sam seperti aku masih kecil dulu. Umi sering melarang kami untuk main hujan, karena setiap habis mandi hujan badan ku langsung demam. Wajar saja Umi marah ketika itu.

“Hahaa. Kamu Di masih saja ingat masa indah kita dulu” Sambil meneguk kopi panas Roni, menjawab pertanyaan yang mengenang kisah masa lalu mereka. “Semuanya memang seperti mimpi, perasaan baru kemarin kita bermain bersama, sekarang kita sudah jadi Ayah buat anak-anak kita, tak pantas lah kita bermain hujan lagi” Roni menyambung kembali kata-katanya.

Makes a wish

Malam ini cerah. Tampak di atas sana bintang-bintang membentuk formasinya masing-masing. Ku langkahkan kaki menuju ke sebuah dermaga, kakiku berhenti di ujung dermaga, disana telah duduk seorang gadis yang tidak asing lagi bagiku. Dia adalah Rina Andriani. Rumahnya memang tidak begitu jauh dari tempat ini, gadis yang memakai kawat gigi dengan bentuk wajah oval ini, tersenyum ketika menyadari kedatanganku. Rambutnya dibiarkan tergurai.
''Bintang malam ini indah ya?'' sapaku sambil membuka sepatu dan duduk di dekat gadis cantik ini. Dia melirik kearahku sekilas dan lalu kembali melihat bintang-bintangnya.
''Iya. Sangat indah malah'' dia kembali tersenyum padaku. Ku biarkan kakiku menyentuh air yang dingin ini, sambil menikmati semilir angin malam yang dingin dan masuk ketulang-tulangku.

Ku rebahkan badanku, dan ku lihat bintangnya berkedap-kedip memancarkan cahaya.
''lihat, lihat ada bintang jatuh. Makes a wish'' pintanya padaku.
''kamu masih percaya gituan Rin?'' tanyaku padanya.
''iya, setidaknya kita punya harapan. Ikram'' dia tersenyum sambil mejamkan matanya.
''aku gak percaya Rin, masa percaya sama begituan'' aku bangun dari rehatku, dan melihat ke arahnya. ''emangnya, apa yang kamu harapkan???'' tanyaku padanya.
''kamu mau tahu??'' tanyanya lagi padaku.
''emang apa??''
''aku berharap, semoga aku masih bisa melihat bintang seindah ini'' dalam hatinya Rina berkata ''maaf Kram, aku berbohong padamu, sebenarnya aku berharap waktu itu akan lebih lama lagi untuk di dekatmu''.
Hatiku berkata ''Kau tahu Rin?, sebenarnya aku berharap hubungan kita lebih dari teman''. Aku tersenyum kearah Rina, lalu kami kembali menikmati indahnya bintang malam ini.