Pages

Minggu, 30 Oktober 2011

Hari Raya Haji


Insya Allah beberapa hari lagi umat Islam di seluruh penjuru dunia akan melaksanakan Shalat Idul Adha dan menyembelih hewan kurban, serta sekaligus memperingati, mengenang dan meneladani perjuangan Nabi Ibrahim AS, Siti Hajar, dan putranya Ismail.

Idul Adha atau Hari Raya Haji merupakan sebuah hari raya Islam. Pada hari ini diperingati peristiwa kurban, yaitu ketika nabi Ibrahim (Abraham), yang bersedia untuk mengorbankan putranya Ismail untuk Allah, akan mengorbankan putranya Ismail, kemudian digantikan oleh-Nya dengan domba.

Beberapa hari lagi umat Islam berkumpul pada pagi hari dan melakukan salat Ied bersama-sama di tanah lapang, seperti ketika merayakan Idul Fitri. Setelah salat, dilakukan penyembelihan hewan kurban, untuk memperingati perintah Allah kepada Nabi Ibrahim yang menyembelih domba sebagai pengganti putranya.
Hari Raya Idul Adha jatuh pada tanggal 10 bulan Dzulhijjah, hari itu jatuh persis 70 hari setelah perayaan Idul Fitri. Hari ini juga beserta hari-hari Tasyrik diharamkan puasa bagi umat Islam.

Pusat perayaan Idul Adha adalah sebuah desa kecil di Arab Saudi yang bernama Mina, dekat Mekkah. Di sini ada tiga tiang batu yang melambangkan Iblis dan harus dilempari batu oleh umat Muslim yang sedang naik Haji. Hari Idul Adha adalah puncaknya ibadah Haji yang dilaksanakan umat Muslim.

Sebagai mana kisah nabi Ibrahim AS lah yang berjuang dan bekerja keras membangun negeri yang tandus dari lembah ngarai yang tiada bertumbuh-tumbuhan di Mekkah itu menjadi negeri yang makmur, seperti doanya dalam Al Quran: Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata: Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini (Mekkah), negeri yang aman, dan jauhkan aku dan anak-cucuku daripada menyembah berhala-berhala  (Al Quran surat Ibrahim ayat 35).

Kemudian, Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunan ku di lembah yang tiada mempunyai tumbuhan itu di dekat rumah Engkau, yaitu Baitullah yang dimuliakan. (Yang demikian itu) ya, Tuhan kami, agar mereka itu mendirikan shalat, maka jadikanlah sebagian hati manusia cenderung tertarik kepada mereka, dan berikan rezeki kepada mereka dari berbagai-bagai buah-buahan agar mereka bersyukur (Al Quran, surat Ibrahim ayat 37). Nabi Ibrahim berdoa dan bercita-cita agar anak-cucu yang ditempatkan di negeri yang baru dihuni itu menjadi penduduk yang taat melaksanakan shalat dan bersyukur kepada Allah.

Untuk mencapai satu cita-cita yang besar, maka besar pula tantangannya dan ujian yang harus dihadapi. Dan, untuk semua cita-cita yang besar tentu besar pula pengorbanan yang diminta. Nabi Ibrahim AS seorang besar yang tengah kita kenang sejarah perjuangan dan cita-citanya. Dia telah ditantang oleh kaum senegerinya, bahkan ayahnya sendiri, yang penyembah berhala. Dia hrus dibakar. Dia harus meninggalkan kampung halamannya negeri Babil pindah ke negeri Mesir demi mempertahankan keyakinannya.

Ujian paling berat ialah, karena sampai berusia lanjut belum juga dikaruniai seorang anak, lalu setelah tua dan mendapatkan seorang putra yang diidam-idamkan. Allah menguji Ibrahim dengan menyuruhnya menyembelih putra yang dicintai tersebut (buah hati sibiran tulang). ”Maka tatkala anak itu telah sampai pada sanggup berusaha bersama Ibrahim, Ibrahim berkata: ”Hai Anakku, sesungguhnya aku telah bermimpi aku harus menyembelih mu. Maka bagaimana pendapatmu Nak? Ia menjawab, ”Wahai Bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu. Insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar”.

Firman Allah itu menjelaskan bahwa ketika Ismail kecil telah mencapai usia remaja dan sudah waktunya untuk membantu si ayah dalam usaha kehidupan, Ibrahim bermimpi bahwa ia menyembelih anak satu-satunya, putra yang telah lama diidam-idamkannya, obat jerih pelerai demam, penenang hati di kala resah. Ibrahim menanggapi mimpi itu sebagai isyarat dari Tuhannya, isyarat perintah supaya ia mengorbankan anak satu-satunya yang sangat dikasihi. Ibrahim memahami itu sebagai suatu ujian, Allah menguji hamba-Nya untuk mengukur seberapa tinggi iman dan keyakinannya.

Dalam keadaan seperti ini, apa yang dilakukan Ibrahim? Di sinilah memancar keagungan iman, semangat berkurban yang mengagumkan menjadi nyata, cahaya akidah dan keyakinan menjadi jelas, menyinari segala ufuk kehidupan dari segala sisinya. Sesungguhnya Ibrahim tidak sempit hati karena mimpi itu, ia tidak kecut karena perintah yang bagi orang biasa dirasakan sangat kejam.
Tapi bagi Ibrahim yang memilki iman yang tebal dan keyakinan tinggi, perintah Allah adalah suatu yang tidak boleh ditampik, atau diulur-ulur untuk dihindari, tapi harus dilaksanakan dengan segera. Ia yakin Allah memerintahkan begitu, karena Allah Maha Pengasih dan Maha Penyayang kepadanya. Karena itu, dia langsung mendatangi putra kesayangannya yang menjadi buah hati dan biji matanya, menceritakan apa yang dilihatnya dalam mimpi dengan sangat bijaksana, penuh ketenangan dan kedamaian. ”Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi, aku menyembelihmu: Renungkanlah, bagaimana pendapatmu? (Ash-Shaffat ayat 102).

Begitu caranya Ibrahim berbicara kepada anaknya Ismail. Lemah lembut penuh kedamaian, tidak kasar dan tidak sempit dada, tidak menekan. Tetapi disampaikannya dengan penuh kasih sayang, karena jiwa yang mukmin selalu berlapang dada terhadap setiap kehendak (qadha) Allah, di samping penuh kepercayaan.

Peristiwa yang dialami Ibrahim ini sangat penting, suatu peristiwa yang sulit bagi manusia biasa memecahkannya. Seorang bapak yang hatinya tersangkut kepada anak satu-satunya yang sudah lama pula diidam-idamkan, lalu anak itu muncul keharibaannya penuh sopan dan kebanggaan, tetapi kemudian anak itu akan harus mati dengan cara yang sangat mengesankan.

Ibrahim dituntut supaya menyembelih buah hatinya itu dengan tangannya sendiri sebagai kurban untuk dipersembahkan kepada Tuhannya. Ibrahim menerima perintah Tuhan dengan iman yang sangat mengagumkan, dan si anak penyabar menerima pula perintah penyembelihan atas dirinya dengan segala kerelaan dan keyakinan. Karena Tuhannya tidak bermaksud jahat kepadanya. Tuhan yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang niscaya tidak akan mencelakakannya. Mimpi bapaknya tidak sedikit pun menggoncangkan hatinya, dan tidak menghilangkan kesadaran yang senantiasa menuntut kecerdasan. Dia berkata penuh cinta kasih dan santun kepada bapaknya: ”Wahai Bapakku, laksanakanlah perintah yang diperintahkan Allah itu, Insya Allah Bapak akan mendapatkan aku sebagai orang yang sabar (Ash-Shaffat ayat 102).

Dengan dorongan dan motivasi yang diberikan Ismail itu, Ibrahim semakin mantap dalam memenuhi perintah Allah. Dibaringkannya anak kesayangan yang menjadi buah hati satu-satunya itu di tanah, siap untuk disembelih. Ismail pasrah dan tidak bergerak, dan tidak pula kelihatan wajahnya sebagai orang yang terpaksa. Dia betul-betul rela. Maka di saat itu sempurnalah ujian, dan sampailah penyerahan diri kedua ayah dan anak terhadap Allah di puncaknya. Yaitu saat hanya tinggal mengalirkan darah dan menghilangkan nyawa.
Pada saat itu Allah berfirman: ”Dan, kami panggil Dia: Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu, begitulah kami memberi ganjaran kepada orang-orang yang berbuat baik. Dan, kami tebus anak itu dengan seekor kibasy (hewan) sembelihan yang besar (Ash-Shaffat ayat 104-107).”Di waktu itu juga datanglah pertolongan Allah dengan serta merta, Ibrahim melihat di depannya telah ada seekor ”kibasy”. Maka, disembelihlah kibasy itu sebagai tebusan bagi anaknya Ismail.

Untuk mensyukuri nikmat Allah itu, maka Nabi Ibrahim membiasakan menyembelih hewan kurban tiap-tiap tahun pada hari ”nahar”, yang kemudian peristiwa besar itu dilestarikan menjadi syariat agama Islam, untuk dilakukan setiap insan muslim (yang mampu) pada Hari Raya Idul Adha (Hari Raya Haji dan hari-hari Tasyrik).


Sabtu, 29 Oktober 2011

AL-QURAN

Al-quran bagai lautan samudra yang berttaburan mutiara. Kita mendekatinya, maka kita akan mendapatkan kebaikan yang tidak terbilang. Semakin tekun orang menggali al-quran, semakin tenggelam ia dalam mutiara-mutiara yang terdapat didalamnya.
Al-quran akan selalu, bahkan selamnya bening tak terkotori olehkotoran apapun. Ia senantiasa menjadi nur (cahaya). Nur yang dapat menerangi para pencari kebenaran, dan ia akan selalu menjadi petunjukbagi manusia sampai hari kiamat tiba.

Sebagai wahyu yang Allah turunkan kepada nabi-Nya, tentu al-Qur'an memiliki keutamaan dan keistimewaan tersendiri bagi para pembaca dan penggemarnya. Ayat-ayat al-qur'an yang kita baca sehari-sehari tidak lepas dari karunia Allah untuk setiap muslim yang demikian besar. Karena saking istimewanya al-Qur'an ini dari kitab-kitab samawi lainnya, Allah memberikan tempat istimewa bagi para pecintanya. Al-quran lahir kedunia ini sebagai solusi. Solusi semua persoalan mulai dari ideology, social, ekonomi, budaya, politik, pandidikan dan lai sebagainya. Sebagai mana firman Allah;  
 “kitab yang kami turunkan kepadamu, supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulitakepada cahaya teran- benderang dengan izin tuhan mereka, yaitu menuju jalan Tuhan Yang Mahaperkasa lagi mahaterpuji” (QS.Ibrahim:1)

Ayat diatas menjelasakan bahwa al-quran adalh kitab yang penuh berkahdan memiliki banyak kebaikanyang melimpah dalam semua aspek kehidupan. Setiap ayat al-quran memberikan dampak yang melimpah karena al-quran merupakan tuntunan dan petunjuk untuk menjauhi keburukan dan kerusakan karena al-quran penyebab datangnya kebaikan dunia dan akhirat. Al-quran akan memberikan pemahaman kepada kita, maka kita harus dekat dengan al-quran. Dan semua itu akan terwujud bila berinrteraksi dengan al-quran sebagai mana firman-Nya:
“kamu umat islam, umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, karena kamu menyuruh berbuat yang makruf dan mencegah dari yang mungkar. Dan beriman kepada Allah, sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka. Dan diantara mereka ada yang berimannamun kebanyakan dari mereka adalah orang yang fasih” (QS. Ali Imran : 110) 

Dan sebaliknya, bila kita jauh dari al-quran maka kita kan terpuruk dan jauh dari kebaikan dan keberkahan.

Ketika kita melihat jurang pemisah yangmenganga sangat lebar antara identitas sisten kehidupan dengan realitas kehidupan. Sebenanya tujuan al-quran diturunkan adalah akan kita semua mntadabburi dan mem,erhatikan ayat-ayat dan menjadi orang-orang yang berfikiran untuk mendapat pelajaran. Di antara manfaat itu adalah:

1. Ayat-ayat al-Qur'an yang dibaca setiap hari akan memberikan motivasi dan penyemangat bagi si pembacanya.

2. Ketika membaca al-Qur'an, Allah akan menegur diri kita pada setiap ayat-ayat-Nya.

3. Bacaan al-Qur'an yang melibatkan emosi akan memberikan kedamaian dan ketenangan yang tidak bisa dilukiskan, seperti yang dialami dan dirasakan oleh Sayyid Quthb Rahimahullah.

4. Orang yang membaca al-Qur'an akan senantiasa ingat Allah dan kembali kepada-Nya.

5. Orang yang membaca al-Qur'an akan selalu berada dalam kecukupan dan nikmat Allah meski ia merasakan serba kurang di dunia.

6. Ayat-ayat Alloh akan menjadi penjaganya selama ia hidup di dunia, karena ia telah menjaga ayat-ayat-Nya.

7. Orang yang paham al-Qur'an adalah orang yang memiliki banyak ilmu.

8. Orang yang membaca al-Qur'an bagaikan orang yang sedang menyelami samudera kehidupan, dan mengambil manfaat darinya.

9. Orang yang selalu akrab dengan ayat-ayat akan diberikan jiwa yang sejuk, hati yang damai dan pikiran yang jernih, sehingga membuatnya ingin selalu beramal, kreatif, inovatif dan produktif.

10. Orang yang membaca al-Qur'an akan selalu berada dalam kegembiraan dan penuh harapan, di saat orang lain merasakan kesedihan, kecemasan dan rasa pesimis. Karena diri mereka selalu dipompa dengan siraman ayat-ayat-Nya yang lembut.

11. Orang yang rajin membaca al-Qur'an akan selalu diberikan jalan kemudahan dan petunjuk sehingga tidak mudah untuk menyimpang dan menyerah karena ayat-ayat Allah akan selalu mengingatkan dirinya ketika dirinya 'tersandung dosa dan maksiat.'

12. Orang yang membaca dan menjaga al-Qur'an selalu berada dalam lindungan dan penjagaan Allah. Ayat-ayat al-Qur'an mengajak pembacanya untuk senantiasa berpikir, merenung dan beramal sebanyak-banyaknya. Dan masih banyak manfaat-manfaat lainnya yang terus update dengan kondisi kehidupan kita...Semoga kita termasuk orang-orang yang selalu belajar dan meningkatkan diri untuk lebih dekat lagi dengan al-Qur'an

Ironisnya kebanyakan dari kita membaca al-quran hanya karena keterpaksaan. Dan banyak dari manusia zaman modern sekarang ini tidak biasa memmbaca al-quran, sungguh aneh tapi nyata inilah realitas yang ada dizaman yang serba modern ini. Dan ada juga sebagian dari kita hanya sekedar baca tanpa mengetahui maksud dari ayat-ayat yang dibaca. Semua ini terjadi karenakita tidak menganggap al-quran sebagi pedoman lagi.

Seharusnya kita mentadabburi untuk merenung dan memerhatikan dengan seksamayang mengantar pembaca al-quran mengetahui makna-maknayang terkandung didalamnya dan menghadirkan kekaguman kepada pemilik ucapan, yaitu Allah SWT. Dengan mengimani kebenaran al-quran yang mutlak dan mengambil pelajaran-pelajaran yang terkandung didalamnya serta dapat menginplementasikan kaedah dan tuntunan yang di uraikan al-quran dalam panggung kehidupan kita. Dengan mentadabburi al-quran dengan sungguh-sungguh sehingga dapat membersihkan hati dan memproteksi jiwa serta menjadi solusi dalam setiap masalah.
wallahu a'lam

Kamis, 27 Oktober 2011

PAHLAWAN INONG ACEH

Nangroe Aceh Darussalam merupakan daerah yang banyak melahirkan pahlawan perempuan yang gigih tidak kenal kompromi melawan kaum imperialis. meraka bukan hanya pahlawan wanita yang berjuang dengan tulisan atau pemikiran saja tapi mereka ikut terjun langsung ke medan pertempuran, mereka menyediakan perbekalan makanan, membantu di garis belakang, mengobati yang luka, bahkan banyak diantara mereka yang menjadi pemimpin pasukan dalam peperangan melawan kaum penjajah.

Sejak jaman dahulu kaum perempuan Aceh sangat terkenal dengan semangat dan keberaniannya sebagai Mujahidah melawan bangsa penjajah, mereka gigih berjihad mulai dari hutan belantara sampai lautan bersama-sama para Mujahidin.

Dalam sejarahnya Kerajaan Aceh Darussalam memiliki 31 orang Sultan, dan beberapa diantaranya adalah Sultan Perempuan atau disebut Sultanah. Mereka adalah; Sri Ratu Tajul Alam Safiatuddin (1050-1086 H), Sri Ratu Nurul Alam Naqiatuddin (1086-1088 H), Sri Ratu Zakiatuddin Inayat Syah (1088-1098 H), Sri Ratu Kamalat Syah (1098-1109 H).
Tak bias dibantahkan lagi . aceh menjadi gudang penghasil pahlawan perempuan. Tentu saja sebutan itu bukan asal sebut. Mari kita buka lembar sejarah bumi seramoe mekah ini. Maka sederet nama-nama pejuang Aceh tersuguhkan. Kisahnyapun tak kalah heroic dari kaum agam alian kaum laki-laki

1. Cut nyak dien

Cut Nyak Dien merupakan salah satu dari perempuan berhati baja yang di usianya yang lanjut masih mencabut rencong dan berusaha melawan pasukan Belanda sebelum ia akhirnya ditangkap. Pahlawan Kemerdekaan Nasional kelahiran Lampadang, Aceh, tahun 1848, ini sampai akhir hayatnya teguh memperjuangkan kemerdekaan bangsanya. Wanita yang dua kali menikah ini, juga bersuamikan pria-pria pejuang. Teuku Ibrahim Lamnga, suami pertamanya dan Teuku Umar suami keduanya adalah pejuang-pejuang kemerdekaan bahkan juga Pahlawan Kemerdekaan Nasional.

Cut Nyak Dien lahir pada 1848 dari keluarga kalangan bangsawan yang sangat taat beragama. Ayahnya bernama Teuku Nanta Seutia, uleebalang VI Mukim, bagian dari wilayah Sagi XXV. Leluhur dari pihak ayahnya, yaitu Panglima Nanta, adalah keturunan Sultan Aceh yang pada permulaan abad ke-17 merupakan wakil Ratu Tajjul Alam di Sumatra Barat. Ibunda Cut Nyak Dhien adalah putri uleebalang bangsawan Lampagar.

Cut Nyak Dien dinikahkan oleh orang tuanya pada usia belia, yaitu tahun 1862 dengan Teuku Ibrahim Lamnga putra dari uleebalang Lam Nga XIII. Perayaan pernikahan dimeriahkan oleh kehadiran penyair terkenal Abdul Karim yang membawakan syair-syair bernafaskan agama dan mengagungkan perbuatan-perbuatan heroik sehingga dapat menggugah semangat bagi yang mendengarkannya, khususnya dalam rangka melawan kafir (Snouck Hourgronje, 1985: 107). Setelah dianggap mampu mengurus rumah tangga sendiri, pasangan tersebut pindah dari rumah orang tuanya. Selanjutnya kehidupan rumah tangganya berjalan baik dan harmonis. Mereka dikaruniai seorang anak laki-laki.

Jiwa pejuang memang sudah diwarisi Cut Nyak Dien dari ayahnya yang seorang pejuang kemerdekaan yang tidak kenal kompromi dengan penjajahan. Dia yang dibesarkan dalam suasana memburuknya hubungan antara kerajaan Aceh dan Belanda semakin mempertebal jiwa patriotnya. Ketika perang Aceh meletus tahun 1873, suami Tjoet Njak Dien turut aktif di garis depan sehingga merupakan tokoh peperangan di daerah VI Mukim. Karena itu Teuku Ibrahim jarang berkumpul dengan istri dan anaknya. Tjoet Njak Dien mengikhlaskan keterlibatan suaminya dalam peperangan, bahkan menjadi pendorong dan pembakar semangat juang suaminya. Untuk mengobati kerinduan pada suaminya yang berada jauh di medan perang, sambil membuai sang buah hatinya ia menyanyikan syair-syair yang menumbuhkan semangat perjuangan. Ketika sesekali suaminya pulang ke rumah, maka yang dibicarakan dan dilakukan Tjoet Njak Dien tak lain adalah hal-hal yang berkaitan dengan perlawanan terhadap kaum kafir Belanda.

Begitu menyakitkan perasaaan Cut Nyak Dien akan kematian suaminya yang semuanya bersumber dari kerakusan dan kekejaman kolonial Belanda. Hati ibu muda yang masih berusia 28 tahun itu bersumpah akan menuntut balas kematian suaminya sekaligus bersumpah hanya akan menikah dengan pria yang bersedia membantu usahanya menuntut balas tersebut. Hari-hari sepeninggal suaminya, dengan dibantu para pasukannya, dia terus melakukan perlawanan terhadap pasukan Belanda.
Dua tahun setelah kematian suami pertamanya atau tepatnya pada tahun 1880, Cut Nyak Dien menikah lagi dengan Teuku Umar, kemenakan ayahnya. Sumpahnya yang hanya akan menikah dengan pria yang bersedia membantu menuntut balas kematian suami pertamanya benar-benar ditepati. Teuku Umar adalah seorang pejuang kemerdekaan yang terkenal banyak mendatangkan kerugian bagi pihak Belanda.

Perlawanan terhadap Belanda kian hebat. Beberapa wilayah yang sudah dikuasai Belanda berhasil direbutnya. Dengan menikahi Tjoet Njak Dien mengakibatkan Teuku Umar kian mendapatkan dukungan. Meskipun telah mempunyai istri sebelumnya, Tjoet Njak Dien lah yang paling berpengaruh terhadap Teuku Umar. Perempuan inilah yang senantiasa membangkitkan semangat juangnya, mempengaruhi, mengekang tindakannya, sekaligus menghilangkan kebiasaan buruknya Sekilas mengenai Teuku Umar. Teuku Umar terkenal sebagai seorang pejuang yang banyak taktik. Pada tahun 1893, pernah berpura-pura melakukan kerja sama dengan Belanda hanya untuk memperoleh senjata dan perlengkapan perang. Setelah tiga tahun berpura-pura bekerja sama, Teuku Umar malah berbalik memerangi Belanda. Tapi dalam satu pertempuran di Meulaboh pada tanggal 11 Pebruari 1899, Teuku Umar gugur.

Sejak meninggalnya Teuku Umar, selama 6 tahun Cut Nyak Dien mengordinasikan serangan besar-besaran terhadap beberapa kedudukan Belanda. Segala barang berharga yang masih dimilikinya dikorbankan untuk mengisi kas peperangan. Cut Nyak Dien kembali sendiri lagi. Tapi walaupun tanpa dukungan dari seorang suami, perjuangannya tidak pernah surut, dia terus melanjutkan perjuangan di daerah pedalaman Meulaboh. Dia seorang pejuang yang pantang menyerah atau tunduk pada penjajah. Tidak mengenal kata kompromi bahkan walau dengan istilah berdamai sekalipun.Perlawanannya yang dilakukan secara bergerilya itu dirasakan Belanda sangat mengganggu bahkan membahayakan pendudukan mereka di tanah Aceh, sehingga pasukan Belanda selalu berusaha menangkapnya tapi sekalipun tidak pernah berhasil.

Keterlibatan Cut Nyak Dien dalam perang Aceh nampak sekali ketika terjadi pembakaran terhadap Mesjid Besar Aceh. Dengan amarah dan semangat yang menyala-nyala berserulah ia, “Hai sekalian mukmin yang bernama orang Aceh! Lihatlah! Saksikan sendiri dengan matamu mesjid kita dibakarnya! Mereka menentang Allah Subhanahuwataala, tempatmu beribadah dibinasakannya! Nama Allah dicemarkannya! Camkanlah itu! Janganlah kita melupakan budi si kafir yang serupa itu! Masih adakah orang Aceh yang suka mengampuni dosa si kafir yang serupa itu? Masih adakah orang Aceh yang suka menjadi budak Belanda?” (Szekely Lulofs, 1951:59).
Lama-lama pasukan Cut Nyak Dien melemah. Kehidupan putri bangsawan ini kian sengsara akibat selalu hidup di dalam hutan dengan makanan seadanya. Usianya kian lanjut, kesehatannya kian menurun, seiring dengan bertambahnya usia, Cut Nyak Dien pun semakin tua. Penglihatannya mulai rabun dan berbagai penyakit orang tua seperti encok pun mulai menyerang. Di samping itu jumlah pasukannya pun semakin berkurang, ditambah lagi situasi yang semakin sulit memperoleh makanan. Tapi, ketika Pang Laot Ali, tangan kanan sekaligus panglimanya, menawarkan untuk menyerah sebagai jalan pembebasan dari kehidupan yang serba terpencil dan penuh penderitaan ini, Tjoet Njak Dien menjadi sangat marah. Pang Laot Ali tetap tak sampai hati melihat penderitaan pimpinannya. Akhirnya ia menghianatinya. Kepada Belanda ia melaporkan persembunyiannya dengan beberapa syarat, di antaranya jangan melakukan kekerasan dan harus menghormatinya.


Ketika tertangkap wanita yang sudah tak berdaya dan rabun ini, mengangkat kedua belah tangannya dengan sikap menentang. Dari mulutnya terucap kalimat, “Ya Allah ya Tuhan inikah nasib perjuanganku? Di dalam bulan puasa aku diserahkan kepada kafir”.
Tjoet Njak Dien marah luar biasa kepada Pang Laot Ali. Sedangkan kepada Letnan Van Vureen yang memimpin operasi penangkapan itu sikap menentang mujahidah ini masih nampak dengan mencabut rencong hendak menikamnya. Tapi walaupun di dalam tawanan, dia masih terus melakukan kontak atau hubungan dengan para pejuang yang belum tunduk. Tindakannya itu kembali membuat pihak Belanda berang sehingga dia pun akhirnya dibuang ke Sumedang, Jawa Barat. yang berati mengingkari salah satu butir perjanjiannya dengan Pang Laot Ali.

DI SUMEDANG tak banyak orang tahu perempuan ini. Tua renta dan bermata rabun. Pakaiannya lusuh, dan hanya itu saja yang melekat di tubuhnya. Sebuah tasbih tak lepas dari tangannya, juga sebuah periuk nasi dari tanah liat. Dia datang ke Sumedang bersama dua pengikutnya sebagai tahanan politik Belanda, yang ingin mengasingkannya dari medan perjuangannya di Aceh pada 11 Desember 1906.
Perempuan tua itu lalu dititipkan kepada Bupati Sumedang Pangeran Aria Suriaatmaja, yang digelari Pangeran Makkah. Melihat perempuan yang amat taat beragama itu, Bupati tak menempatkannya di penjara, tetapi di rumah H. Ilyas, seorang tokoh agama, di belakang Kaum (masjid besar Sumedang). Di rumah itulah perempuan itu tinggal dan dirawat.

Di antara mereka yang datang banyak membawakan makanan atau pakaian, selain karena mereka menaruh hormat dan simpati yang besar, juga karena Ibu Perbu tak bersedia menerima apapun yang diberikan oleh Belanda. Keadaan ini terus berlangsung hingga 6 November 1908, saat Ibu Perbu meninggal dunia. Dimakamkan secara hormat di Gunung Puyuh, sebuah komplek pemakaman para bangsawan pangeran Sumedang, tak jauh dari pusat kota Sumedang. Sampai wafatnya, masyarakat Sumedang belum tahu siapa sesungguhnya perempuan yang banyak memberikan manfaat bagi masyarakat itu, bahkan hingga kemerdekaan Indonesia.
Ketika masyarakat Sumedang beralih generasi dan melupakan Ibu Perbu, pada tahun 60-an berdasarkan keterangan dari pemerintah Belanda baru diketahui bahwa Tjoet Njak Dhien, seorang pahlawan wanita Aceh yang terkenal telah diasingkan ke Pulau Jawa, Sumedang, Jawa Barat. Pengasingan itu berdasarkan Surat Keputusan No. 23 (Kolonial Verslag 1907:12). Akhirnya dengan mudah dapat dipastikan bahwa Ibu Perbu tak lain adalah Tjoet Njak Dhien yang diasingkan Belanda bersama seorang panglima berusia 50 tahun dan seorang kemenakannya bernama Teungku Nana berusia 15 tahun.

Perjuangan Cut Nyak Dien menimbulkan rasa takjub para pakar sejarah asing, sehingga banyak buku yang melukiskan kehebatan pejuang wanita ini. Zentgraaff mengatakan, para wanita lah yang merupakan de leidster van het verzet (pemimpin perlawanan) terhadap Belanda dalam perang besar itu. Aceh mengenal Grandes Dames (wanita-wanita besar) yang memegang peranan penting dalam berbagai sektor.

2. Laksamana Malahayati

Bicara soal perempuan hebat, ada sedikit cerita tentang sosok perempuan lain yang berbeda generasi dari RA Kartini. Perempuan yang untuknya tidak ada lagu pujian. Pahlawan yang jarang disebut namanya. pahlawan yang tidak pernah diungkit sejarahnya. Laksamana perempuan pertama di dunia. Petarung garis depan. Pemimpin laskar Inong Balee yang disegani musuh dan kawan. Dialah Laksamana Malahayati.
Kisah Laksamana Malahayati walaupun tidak banyak, semua bercerita tentang kepahlawanannya. Pada saat dibentuk pasukan yang prajuritnya terdiri dari para janda yang kemudian dikenal dengan nama pasukan Inong Balee, Malahayati adalah panglimanya (suami Malahayati sendiri gugur pada pertempuran melawan Portugis). Konon kabarnya, pembentukan Inong Balee sendiri adalah hasil buah pikiran Malahayati. Malahayati juga membangun benteng bersama pasukannya dan benteng tersebut dinamai Benteng Inong Balee.

Malahayati, adalah salah seorang perempuan pejuang yang berasal dari Kesultanan Aceh. Pada tahun 1585-1604, memegang jabatan Kepala Barisan Pengawal Istana Panglima Rahasia dan Panglima Protokol Pemerintah dari Sultan Saidil Mukammil Alauddin Riayat Syah IV.[1]
Malahayati memimpin 2.000 orang pasukan Inong Balee (janda-janda pahlawan yang telah tewas) berperang melawan kapal-kapal dan benteng-benteng Belanda tanggal 11 September 1599 sekaligus membunuh Cornelis de Houtman dalam pertempuran satu lawan satu di geladak kapal, dan mendapat gelar Laksamana untuk keberaniannya ini, sehingga ia kemudian lebih dikenal dengan nama Laksamana Malahayati.

Karir militer Malahayati terus menanjak hingga ia menduduki jabatan tertinggi di angkatan laut Kerajaan Aceh kala itu. Sebagaimana layaknya para pemimpin jaman itu, Laksamana Malahayati turut bertempur di garis depan melawan kekuatan Portugis dan Belanda yang hendak menguasai jalur laut Selat Malaka.
Di bawah kepemimpinan Malahayati, Angkatan Laut Kerajaan Aceh terbilang besar dengan armada yang terdiri dari ratusan kapal perang. Adalah Cornelis de Houtman, orang Belanda pertama yang tiba di Indonesia, pada kunjungannya yang ke dua mencoba untuk menggoyang kekuasaan Aceh pada tahun 1599. Cornelis de Houtman yang terkenal berangasan, kali ini ketemu batunya. Alih-alih bisa meruntuhkan Aceh, armadanya malah porak poranda digebuk armada Laksamana Malahayati. Banyak orang-orangnya yang ditawan dan Cornelis de Houtman sendiri mati dibunuh oleh Laksamana Malahayati pada tanggal 11 September 1599.
Selain armada Belanda, Laksamana Malahayati juga berhasil menggebuk armada Portugis. Reputasi Malahayati sebagai penjaga pintu gerbang kerajaan membuat Inggris yang belakangan masuk ke wilayah ini, memilih untuk menempuh jalan damai. Surat baik-baik dari Ratu Elizabeth I yang dibawa oleh James Lancaster untuk Sultan Aceh, membuka jalan bagi Inggris untuk menuju Jawa dan membuka pos dagang di Banten. Keberhasilan ini membuat James Lancaster dianugrahi gelar bangsawan sepulangnya ia ke Inggris.
Laksamana Malahayati …. grande dame (perempuan yang agung). Pahlawan emansipasi yang terlupakan.

3. Pocut Baren


Pada tahun 1910, Belanda yang dipimpin langsung oleh Letnan Hoogers melakukan penyerbuan secara besar-besaran terhadap gua di Gunung Mancang yang disinyalir markas para pejuang Aceh. Pasukan Belanda ketika itu mengalami kesulitan melacak keberadaan gua ini. Hingga suatu saat, keberadaan gua tersebut diketahui. Usaha tentara Belanda untuk sampai di gua itu kandas di tengah jalan karena ketika sedang mendaki gunung, beratus-ratus batu digulingkan sehingga banyak tentara Belanda yang tewas. Akhirnya Belanda mendapat akal untuk mengalirkan 1200 kaleng minyak tanah ke arah gua lalu dibakar. Banyak jatuh korban karena penyerangan ini. Seorang wanita yang menjadi panglima dalam pertempuran itu ikut tertembak dibagian kakinya. Dan diapun tertangkap.

Wanita itu tak lain adalah Pocut Baren. Pocut Baren adalah seorang Uleebalang di Tungkob. Ia bukanlah wanita pertama yang memerintah di aceh; sebelumnya –berabad-abad yang lalu- telah ada ratu-ratu1 yang mengendalikan pemerintahan, tak kalah hebatnya dengan pria dan Pocut
Pocut Baren adalah seorang tokoh pejuang wanita yang pada masa Perang Aceh sangat terkenal keberaniannya melawan kolonilalisme Belanda. la adalah sosok wanita pejuang yang heroik. Di samping itu ia juga dikenal sebagai seorang uleebalang wanita yang mampu membangun daerahnya di Tungkop, Aceh Barat yang porak poranda sebagai akibat terjadinya perang yang berkepanjanganBaren merupakan pengganti pria.

Lahir pada tahun 1800, merupakan puteri dari Teuku Cut Amat; keluarganya sudah sekian lama turun temurun menjadi Uleebalang di Tungkob. Bila melihat sekarang banyaknya kendaraan yang memudahkan untuk datang kemana saja, tentu Tungkob bukanlah daerah yang jauh. Tapi bila melihat tungkop lima puluh tahun silam, Tungkob itu benar-benar jauh dipedalaman, di daerah Woila Hulu. Ia merupakan sebagian federasi Kawai XII yang kedalamnya termasuk juga Pameue, Geumpang, Tangse, Anoe dan Ara dan dari nama-nama itu orang segera dapat mengetahui bahwa tempat tersebut terletak di pusat pegunungan.
Pocut Baren seorang wanita bangsawan yang lahir di Tungkop. la adalah putri Teuku Cut Amat, seorang Uleebalang Tungkop yang sangat berpengaruh, terpandang berwatak keras dan pantang menyerah. Daerah keulebalangan Tungkop merupakan bagian dari daerah federasi Kaway XII yang letaknya berada di Pantai Barat Aceh, yang sekarang masuk wilayah Kabupaten Aceh barat.

Bersuamikan seorang Keujruen yang kemudian menjadi Uleebalang Gume, Kabupaten Aceh Barat. Yang kemudian tewas dalam peperangan melewan Belanda. Peperangan yang dia ikut juga didalamnya. Namun kematian suaminya tidak menyurutkan semangatnya untuk terus melanjutkan berjuang.
Di gambarkan oleh H.C. Zentgraaff, Pocut Baren selalu diiringi oleh semacam pengawal, terdiri dari lebih kurang tiga puluh orang pria. Kemana-mana ia selalu memakai peudeueng tajam (pedang tajam), sejenis kelewang bengkok, mungkin sejenis pedang Turki yang sangat terkenal di pantai Barat.
Adapun wilayah Tungkop terletak di kawasan Hulu Sungai Woyla. (Zentgraaff; 1982/1983 : 137). Oleh Pemerintah Belanda, pada tahun 1922 Keuleebalangan Tungkop dimasukkan ke dalam Onderafdelling Meulaboh, bersama-sama daerah lainnya, seperti Bubon, Lhokbubon, Kaway XVI (Meulaboh), Seuneuam, Betong dan Pameue. Daerah-daerah ini menjadi daerah swapraja yang dalam istilah Belandanya disebut Zelfbesturen. Daerah ini oleh pemerintah Belanda diakui sebagai daerah zelfbesturen menurut peraturan organisasi pemerintah sebagaimana diatur dalam Stablad 1922 Nomor 451. (Hassan, 1980: 194).

Walaupun kedudukannya masih berada di bawah payung Kerajaan Aceh Darussalam, Federasi Kaway XII ini telah mempunyai hak mengatur dirinya sendiri (hak otonom). Kaway XII dan daerah sepanjang Krueng Woyla merupakan daerah yang banyak menghasilkan emas. Dengan kekayaan emasnya yang melimpah tersebut, telah mendorong orang-orang dari Minangkabau berdatangan untuk menambang daerah penghasil emas tersebut. Orang-orang Minangkabau yang bermukim di daerah Kaway XII dan sepanjang Krueng Woyla, setelah bercampur baur dengan masyarakat Aceh, keturunannya dikenal dengan nama masyarakat Aneuk Jamee. Kaway XII merupakan daerah tambang emas di dalam wilayah Kerajaan kecil yang dipimpin oleh seorang Keujruen yang disebut Keujreun Meuih. Keujreun Meuih mempunyai tugas mengambil hasil emas dan pajak-pajak lainnya dari pertambangan emas di dalam wilayah federasi tersebut. (Djajadiningrat, 1934:693).

Pocut Baren telah berjuang dalam waktu yang cukup lama. Sejak muda ia terjun ke kancah pertempuran. Pocut Baren juga ikut berjuang bersama-sama dengan Cut Nyak Dhien. Perjuangan dan perlawanan Pocut Baren yang gagah berani dilukiskan sendiri oleh penulis Belanda bernama Doup. Pocut Baren telah melakukan perlawanan terhadap Belanda sejak tahun 1903 hingga tahun 1910. Cut Nyak Dhien pernah tertangkap oleh pasukan Belanda pada tanggal 4 November 1905. Artinya, Pocut Baren pernah memimpin sendirian pasukannya melawan Belanda, meskipun Cut Nyak Dhien masih aktif berjuang secara sendirian. Dengan demikian, pada masa itu di wilayah Aceh terdapat dua wanita pejuang yang memimpin pasukannya melawan Belanda, yaitu Cut Nyak Dhien dan Pocut Baren.
Setelah penangkapannya oleh Belanda, dia dipindahlan ke kutaraja. Kakinya yang tertembak karena tidak menerima perawatan yang cukup lalu membusuk dan harus diamputasi. Setelah Pocut Baren dinyatakan sembuh dari sakitnya dan diyakini oleh Belanda tidak akan melakukan perlawanan lagi, maka ia dikembalikan ke kampung halamannya di Tungkop sebagai seorang uleebalang.

Namun demikian perlawanan Pocut tidaklah berhenti sampai disitu saja. Walau ia tidak dapat berperang langsung namun jiwa panglimanya terus berkobar. Dia terus menyemangati para anak buahnya. Melalui syair dan pantun dia menyemangati para pengikutnya agar tetap bersemangat melakukan perlawanan terhadap kaphe Belanda. Pantun-pantunya yang popular dan mengesankan itu masih belum dilupakan orang.

Untuk kelancaran perjuangannya, Pocutpun memikirkan agar tersedianya logistik yang cukup. Maka Pocut menggerakkan rakyatnya untuk menghidupkan kembali lahan-lahan yang telah lama terbengkalai. Lahan sawah kembali digarap. Lahan perkebunan ditanami buah-buahan, sayur-sayuran, kelapa, pala, kakau, cengkeh, nilam, mangga, pisang, jagung, dan tanaman lainnya. Dan mulai membangun saluran irigasi yang dialirkan dari sungai-sungai besar ke sawah-sawah penduduk. Hasil nya tidak main-main. Saat panen tiba daerah Tungkop mengalami surplus pertanian, sehingga sebagian hasilnya dapat dikirimkan ke daerah-daerah lain.
Itulah semangat Uleebalang Wanita Aceh ini. Kecacatannya tidak menjadikan dia berputus asa dan kehilangan semangat untuk terus berjuang hingga akhir hayatnya. Pocut Baren meninggal di tahun 19332. Dalam masyarakatnya nama wanita ini meninggalkan kenangan sebagai seorang wanita di pantai Barat yang paling cakap dan penuh
vitalitas dari semua wanita yang ada di daerah itu.

Membangun Perekonomian Rakyat
Kejujuran dan keterbukaannya mengingatkan kita pada Pocut Baren sebagai seorang wanita pejuang yang dapat menghormati musuhnya ia mengambil manfaat itu untuk menyelamatkan rakyatnya. Selain pemberani, ulet dan suka berterus terang, Pocut Baren juga seorang wanita yang sangat cerdas. Kecerdasannya ia buktikan dalam pelaksanaan pekerjaannya sebagai seorang uleebalang. Perjuangan secara fisik dalam menentang Belanda telah diakhirinya. Walaupun demikian, ia tetap berjuang untuk kesejahteraan rakyatnya dengan cara membangun kembaii negerinya menjadi sebuah negeri yang makmur. Untuk itu ia mengajak seluruh rakyatnya agar mau bekerja keras.
Selama masa perjuangan melawan Belanda, perekonomian masyarakat mengalami kemunduran. Hal ini terjadi karena sawah ladang para petani dibiarkan terbengkalai menjadi lahan tidur. Sebagian besar penduduk terlibat dalam perang melawan Belanda, sehingga waktu untuk bekerja di sawah dan berternak maupun menangkap ikan menjadi berkurang. Hal ini menyebabkan munculnya banyak kemiskinan dan bencana kekurangan pangan. Untuk memperbaiki kehancuran ekonomi rakyat di daerah Tungkop tersebut, Pocut Baren berjuang keras agar masalah ekonomi rakyat yang hancur tersebut dapat segera diatasi. Sebagai seorang uleebalang, Pocut Baren ternyata juga cakap dalam bidang pertanian dan pemerintahan desa. Dengan ketrampilannya di ladang pertanian dan pemerintahan tersebut, ia memimpin rakyatnya agar secara bersama-sama membangun desanya.

Sawah-ladang para petani yang semula ditinggalkan diusahakan kembali agar tidak ada satupun di antaranya yang terbengkalai. Kebun-kebun penduduk harus ditanami dengan pepohonan yang dapat memberikan hasil pada pemiliknya. Untuk itu muncul gerakan penghijauan dengan menanam tanaman pangan, seperti buah-buahan, sayur-sayuran, dan tanaman keras lainnya. Dengan mendapatkan pembinaan dari seorang uleebalang wanita, masyarakat menanami kebunnya dengan tanaman kelapa, pala, kakau, cengkih, nilam, mangga, pisang, jagung dan lain-lain tanaman yang bermanfaat bagi dirinya dan masyarakat.
Dalam bidang pengairan untuk mengairi sawah-sawah milik para petani, Pocut Baren menggerakkan rakyatnya untuk membangun saluran irigasi yang airnya dialirkan dari sungai-sungai besar ke sawah-sawah penduduk, sehingga pada musim kemarau sawah-ladang milik petani tidak akan kekeringan. Untuk menghindarkan perselishan di antara para petani, maka perlu diadakan pembagian air secara bergilir. Untuk menghindarkan serangan hama dan penyakit tanaman, Pocut Baren menyarankan agar para Petam menanam padi secara serempak, sehingga siklus kehidupan hama dapat diputus. Agar hasil panen lebih memuaskan, maka perlu adanya perbaikan cara bercocok tanam yang benar. Pocut Baren juga memperkenalkan sistem Panca Usaha Tani kepada masyarakat.

Panca usaha tani tersebut yaitu : (1) Melakukan pengolahann tanah secara baik dan benar, dengan memanfaatkan tenaga kerbau dan sapi untuk membajak sawah. (2) Cara menyemaikan bibit padi yang benar, dengan memilih padi lokal jenis unggul; (3) Melakukan pemberantasan hama secara bersama-sama, dengan memanfaatkan predator. Yang dimaksud predator di sini yaitu hewan yang memangsa hewan lain yang menjadi hama tanaman; (4) Memberikan pupuk dengan dosis yang tepat pada tanaman padi. Adapun pupuk yang digunakan adalah pupuk kandang dan kompos atau pupuk organik; dan (5) Mengairi sawah sesuai dengan kebutuhan tanaman padi. Setelah masa panen para petani juga disarankan agar memanen padinya dengan baik dan benar. Untuk menyimpan hasil panen, perlu dibuatkan tempat penyimpanan padi (lumbung).
Jika ada anggota masyarakat yang malas bekerja, ia tidak segan-segan untuk menegurnya. Untuk itu ia bekerja keras untuk mengabdi pada rakyatnya. Buah usahanya yang keras, ulet dan tak mengenal lelah itu, pada akhirnya akan membuahkan hasil yang menggembirakan. Beberapa tahun setelah Pocut Baren
membina desanya, hasilnya mulai kelihatan. Secara berangsur-angsur kehidupan rakyatnya yang tadinya sangat menderita, mulai membaik. Perekonomian rakyat mulai bergairah kembali. Berkat kepemimpinannya sebagai seorang uleebalang wanita, Tungkop menjadi daerah yang aman, tentram dan makmur. Ketika musim panen tiba, daerah Tungkop mengalami surplus produksi pertanian sehingga hasilnya dapat dikirim ke daerah lain yang membutuhkan.

Perubahan yang menyolok dari daerah miskin yang rawan pemberontakan menjadi daerah yang aman dan makmur membuat pemerintah Belanda yang membawahi daerah tersebut menjadi gembira. Hal ini ditunjukkan dengan adanya laporan Letnan H. Scheurleer, Komandan Bivak Tanoh Mirah yang juga merangkap penguasa sipil. la melaporkan kepada atasannya di Kutaraja bahwa Pocut Baren telah berusaha dengan sungguh-sungguh menciptakan ketertiban, keamanan dan kemakmuran. (Zentgraaf, 1982/1983 : 139). Sebagai tanda terima kasihnya, Veltman sekali lagi memperlihatkan kebaikan hatinya kepada Pocut Baren. Ia menghadiahkan sebuah kaki palsu yang di buat dari kayu untuk wanita itu. Kaki palsu tersebut didatangkan langsung dari negeri Belanda.

Setelah memakai kaki palsu pemberian dari Veltman, Pocut Baren mendapat julukan sebagai "De Vrouwelijke Oeleebalang methet houten been" (Doup, 1940 : 204; Zentgraaff; 1982/1983 : 138-139). Keberhasilannya dalam membangun perekonomian rakyat dan memantapkan keamanan dan ketertiban di daerahnya menunjukkan bahwa Pocut Baren bukan hanya seorang pejuang dan pemimpin rakyat, tetapi juga seorang yang ahli dalam bidang agronomi.

Sebagai Penyair
Pocut Baren yang lahir sebagai anak bangsawan ternyata mempunyai banyak bakat alam. Di samping ia sebagai seorang pejuang yang tangguh, ahli dalam bidang pemerintahan agronomi, ternyata ia juga ahli dalam bidang kesenian dan kesusastraan Aceh. Pada saat-saat tertentu syair-syaimya sering dibacakan atau
dilantunkan di depan publik. Keahliannya dalam bidang kesusastraan dan kesenian Aceh tidak mengherankan karena di dalam tubuhnya mengalir darah seni yang kental. Pada saat-saat istirahat dari kesibukannya sebagai pemimpin pemerintahan, ia merenungkan kembali peristiwa-peristiwa yang telah berlalu. Di saat-saat demikian darah pujangganya mengalir dengan deras. Kenangan-kenangan masa lalunya ia tuangkan dalam bentuk pantun dan syair. Telah banyak pantun dan syairnya yang ditulisnya dalam bahasa Aceh dan huruf Melayu Arab. Oleh para penulis Belanda, karya sastranya banyak yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda dan disimpan di perpustakaan Universitas Leiden di Nederland. Oleh masyarakat Aceh sendiri, karya sastranya juga telah banyak dilantunkan pada waktu-waktu tertentu dan acara-acara yang memungkinkan untuk dibacakan. Bahkan telah banyak orang yang mampu menghafal buah karyanya dan ia dendangkan pada saat-sat senggang atau pada acara keluarga. Hasil karya sastranya sampai saat ini masih banyak orang yang melantunkamya. Adapun salah satu contoh penggalan syairya yang tertuang dalam bahasa Aceh sebagai berikut :

Ie Krueng Woyla ceukoe likat
Engkot jilumpat jisangka ie tuba
Seungap di yub seungap di rambat
Meurubok Barat buka suara
Bukon sayang itek di kapai
Jitimoh bulee ka si on sapeue
Bukon sayang bilek ku tinggai
Teumpat ku tido siang dan malam (Zentgraaff, 1982/1983 : 140-141).

Syair tersebut jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia kira-kira sebagai berikut :
Sungai Woyla keruh pekat
Ikan melompat dikira racun tuba
Sunyi di kolong, senyap di rambat (sebutan untuk ruang antara dapur dan rumah utama)
Meureubok (sejenis burung berkicau) barat buka suara
Aduhai sayang itik di kapal
Bulunya tumbuh aneka wama
Tinggallah engkau bilikku sayang
Tempat peraduanku siang dan malam.

Keberhasilannya dalam membangun perekonomian rakyat dan kepiawaiannya dalam memimpin serta bakatnya di bidang kesusastraan Aceh membuat rakyatnya mencintai Pocut Baren. Apalagi syair-syair yang diciptakannya sangat digemari oleh masyarakat luas. Betapapun besarnya cinta yang dimiliki rakyatnya, tak akan mampu melawan takdir. Pada suatu saat orang pasti akan mati, meninggalkan orang-orang yang dicintai dan mencintainya. Setelah saatnya tiba, Pocut Baren akhirnya meninggal pada tahun 1933, meninggalkan rakyatnya untuk selama-lamanya. (Zentgraaff, 1982/1983 : 142).

4. Cut meutia

Tjoet Nyak Meutia (Keureutoe, Pirak, Aceh Utara, 1870 - Alue Kurieng, Aceh, 24 Oktober 1910) adalah pahlawan nasional Indonesia dari daerah Aceh. Ia dimakamkan di Alue Kurieng, Aceh.
Cut Meutia lahir di Perlak, Aceh Utara, pada tahun 1870, dan meninggal dunia di Pasai 24 Oktober 1910. Ia pernah menikah tiga kali. Suami pertama bernama Teuku Sjam Sarief, kemudian diceraikan, karena sang suami berpihak kepada Belanda.



Kemudian, Cut Meutia menikah lagi dengan Teuku Cut Muhammad. Dengan suami keduanya itu ia berperang bersama-sama dengan Belanda, sampai akhirnya Teuku Cut Muhammad ditangkap.

Belanda sendiri sangat gusar terhadap gerakan yang dimainkan oleh Teuku Cut Muhammad dan istrinya Cut Mutia. Teuku Cut Muhammad makin banyak mendapat simpati dari masyarakat wilayah Keureuto dan sekitarnya, karena dia juga mahir berkelahi.

Mayor HNA Swart, komandan pasukan Belanda kala itu, diperintahkan untuk menempuh berbagai jalan guna menangkap hidup-hidup Teuku Cut Muhammad. Hingga Maret 1905, Belanda berhasil menawan Teuku Cut Muhammad dengan tipu muslihat dan disekap di dalam penjara Lhokseumawe.

Pada tanggal 25 Maret 1905, Teuku Cut Muhammad dijatuhi hukuman gantung, tapi tidak sempat dilakukan karena gubernur Van Daalen pengganti Van Heutz mengubahnya menjadi hukuman tembak.

Menurut Van Daalen, dia tidak layak menjatuhi hukuman gantung terhadap orang-orang yang berjuang dengan cara gagah berani seperti Teuku Cut Muhammad. Setelah meninggal, Cut Meutia menikah lagi dengan kerabat dekat Cut Muhammad yang juga seorang pejuang yang bernama Pang Nangru (meninggal September 1910 di Paya Cicem).
Awalnya Tjoet Meutia melakukan perlawanan terhadap Belanda bersama suaminya Teuku Muhammad atau Teuku Tjik Tunong. Namun pada bulan Maret 1905, Tjik Tunong berhasil ditangkap Belanda dan dihukum mati di tepi pantai Lhokseumawe. Sebelum meninggal, Teuku Tjik Tunong berpesan kepada sahabatnya Pang Nagroe agar mau menikahi istrinya dan merawat anaknya Teuku Raja Sabi.

Tjoet Meutia kemudian menikah dengan Pang Nagroe sesuai wasiat suaminya dan bergabung dengan pasukan lainnya dibawah pimpinan Teuku Muda Gantoe. Pada suatu pertempuran dengan Korps MarechausΓ©e di Paya Cicem, Tjoet Meutia dan para wanita melarikan diri ke dalam hutan. Pang Nagroe sendiri terus melakukan perlawanan hingga akhirnya tewas pada tanggal 26 September 1910.
Tjoet Meutia kemudian bangkit dan terus melakukan perlawanan bersama sisa-sisa pasukkannya. Ia menyerang dan merampas pos-pos kolonial sambil bergerak menuju Gayo melewati hutan belantara. Namun pada tanggal 24 Oktober 1910, Tjoet Meutia bersama pasukkannya bentrok dengan MarechausΓ©e di Alue Kurieng. Dalam pertempuran itu
Tjoet Njak Meutia gugur.

5. Pocut meurah intan


Pocut Meurah Intan adalah puteri keturunan keluarga bangsawan dari kalangan kesultanan Aceh. Ayahnya Keujruen Biheue. Pocut Meurah merupakan nama panggilan khusus bagi perempuan keturunan keluarga sultan Aceh. Ia juga biasa dipanggil dengan nama tempat kelahirannya. Biheue adalah sebuah kenegerian atau ke-uleebalangan yang pada masa jaya Kesultanan Aceh berada di bawah Wilayah Sagi XXXI Mukim, Aceh Besar. Setelah krisis politik pada akhir abad ke-19, kenegerian itu menjadi bagian wilayah XII mukim : Pidie, Batee, Padang Tiji, Kale dan Laweueng.
Suami Pocut Meurah Intan bernama Tuanku Abdul Majid, Putera Tuanku Abbas bin Sultan Alaidin Jauhar Alam Syah. Tuanku Abdul Majid adalah salah seorang anggota keluarga Sultan Aceh yang pada mulanya tidak mau berdamai dengan Belanda. Karena keteguhan pendiriannya dalam menentang Belanda, ia disebut oleh beberapa penulis Belanda sebagai perompak laut, pengganggu keamanan bagi kapal-kapal yang lewat di perairan wilayahnya, sebutan ini berkaitan dengan profesi Tuanku Abdul Majid sebagai pejabat kesultanan yang ditugaskan untuk mengutip bea cukai di pelabuhan Kuala Batee.
Dari perkawinan dengan Tuanku Abdul Majid, Pocut Meurah Intan memperoleh tiga orang putera, yaitu #Tuanku Muhammad yang biasa dipanggil dengan nama Tuanku Muharnmad Batee,
1. Tuanku Budiman, dan
2. Tuanku Nurdin.

Dalam catatan Belanda, Pocut Meurah Intan termasuk tokoh dari kalangan kesultanan Aceh yang paling anti terhadap Belanda. Hal ini di sebutkan dalam laporan colonial "Kolonial Verslag tahun 1905", bahwa hingga awal tahun 1904, satu-satunya tokoh dari kalangan kesultanan Aceh yang belum menyerah dan tetap bersikap anti terhadap Belanda adalan Pocut Meurah Intan. Semangat yang teguh anti Belanda itulah yang kemudian diwariskannya pada putera-puteranya sehingga merekapun ikut terlibat dalam kancah peperangan bersama-sama ibunya dan pejuang-pejuang Aceh lainnya.

Setelah berpisah dengan suaminya yang telah menyerah kepada Belanda Pocut Meurah Intan mengajak putera-puteranya untuk tetap berperang. Ketika pasukan Marsose menjelajahi wilayah XII mukim Pidie dan sekitarnya, dalam rangka pengejaran dan pelacakan terhadap para pejuang, Pocut Meurah Intan terpaksa melakukan perlawanan secara bergerilya. Dua di antara ketiga orang puteranya, Tuanku Muhammad Batee dan Tuanku Nurdin, menjadi terkenal sebagai pemimpin utama dalam berbagai gerakan perlawanan terhadap Belanda. Mereka menjadi bagian dari orang-orang buronan dalam catatan pasukan Marsose.

Pada bulan Februari 1900, Tuanku Muhammad Batee tertangkap oleh satuan Marsose Belanda yang beroperasi di wilayah Tangse, Pidie. Pada tanggal 19 April 1900, karena dianggap berbahaya, Tuanku Muhammad Batee dibuang ke Tondano, Sulawesi Utara, dengan dasar Surat Keputusan Pemerintah Hindia Belanda No. 25. pasal 47 R.R.
Peningkatan intensitas patroli Belanda juga menyebabkan tertangkapnya Pocut Meurah Intan dan kedua puteranya oleh pasukan Marsose yang bermarkas di Padang Tiji. Namun, sebelum tertangkap ia masih sempat melakukan perlawanan yang amat mengagumkan pihak Belanda. la mengalami luka parah, dua tetakan di kepala, dua di bahu, satu urat keningnya putus, terbaring di tanah penuh dengan darah dan lumpur laksana setumpuk daging yang dicincang-cincang. Pada luka-lukanya itu disapukan setumpuk kotoran sapi, keadaannya lemah akibat banyak kehilangan darah dan tubuhnya menggigil, ia mengerang kesakitan, luka-lukanya telah berulat. Mulanya ia menolak untuk dirawat oleh pihak Belanda, akhirnya ia menerima juga bantuan itu. Penyembuhannya berjalan lama, ia menjadi pincang selama hidupnya.
Pocut Meurah Intan sembuh dari sakitnya; bersama seorang puteranya, Tuanku Budiman, ia dimasukkan ke dalam penjara di Kutaraja. Sementara itu, Tuanku Nurdin, tetap melanjutkan perlawanan dan menjadi pemimpin para pejuang Aceh di kawasan Laweueng dan Kalee. Pada tanggal 18 Februari 1905, Belanda berhasil menangkap Tuanku Nurdin di tempat persembunyiannya di Desa Lhok Kaju, yang sebelumnya Belanda telah menangkap isteri dari Tuanku Nurdin pada bulan Desember 1904, dengan harapan agar suami mau menyerah. Tuanku Nurdin tidak melakukan hal tersebut.

Setelah Tuanku Nurdin di tahan bersama ibunya, Pocut Meurah Intan dan saudaranya Tuanku Budiman dan juga seorang keluarga sultan yang bernama Tuanku Ibrahim di buang ke Blora di Pulau Jawa berdasarkan Surat Keputusan Pemerintah Hindia Belanda, tanggal 6 Mei 1905, No. 24. Pocut Meurah Intan berpulang ke-rakhmatullah pada tanggal 19 September 1937 di Blora, Jawa Tengah dan dimakamkan di sana.

6. Tengku fakinah

Teungku Fakinah adalah seorang wanita yang menjadi ulama besar dengan nama singkatnya disebut Teungku Faki , pahlawan perang yang ternama dan pembangunan pendidikan ulung. Beliau dilahirkan sekitar tahun 1856 M, di Desa Lam Diran kampung Lam Beunot (Lam Krak). Dalam tubuh Beliau mengalir darah ulama dan darah penguasa/bangsawan. Ayahnya bernama Datuk Mahmud seorang pejabat pemerintahan dalam zaman Sultan Alaidin Iskandar Syah. Sedangkan ibunya bernama Teungku Muhammad Sa'at yang terkenal dengan Teungku Chik Lam Pucok, pendiri Dayah Lam Pucok, tempatnya pernah Teungku Chik Ditiro Muhammad Saman belajar.
Sesudah Teungku Fakinah dewasa, dalam tahun 1872 dikawinkan dengan Teungku Ahmad dan Aneuk Glee oleh orang kampung Lam Beunot. Teungku Ahmad yang dipanggil Teungku Aneuk Glee ini membuka satu Deah/perguruan (pesantren) yang dibiayai oleh mertuanya Teungku Muhammad Sa'at atas dukungan orang Lam Beunot dan Imuem Lam Krak. Pesantren ini banyak dikunjungi oleh pemuda dan pemudi dari tempat lain disekitar Aceh Besar, bahkan ada juga yang datang dari Pidie. Tatkala menentang serangan I Belanda, Teungku Imam Lam Krak serta Tengku Ahmad/Teungku Aneuk Glee tarot dalam pasukan VII Mukim baet mempertahankan Pantai Cermin tepi laut Ulee Lheu yang di komandokan oleh panglima Polem Nyak Banta dan Rama Setia.

Dalam pertahanan perang itu pada tanggal 8 April 1873 tewaslah Panglima perang besar Rama Setia, Imeum Lam Krak, Tengku Ahmad Anuek Glee suami dari Tengku Fakinah dalam membela Tanah Air. Semenjak Tengku Fakinah telah menjadi janda yang masih remaja. Maka semenjak itulah beliau membentuk Badan Amal Sosial untuk menyumbang Darma Baktinya terhadap Tanah Air yang terdiri dari janda-janda dan wanita-wanita lainnya untuk menjadi anggota amal tersebut Badan yang didirikannya itu mendapat dukungan dari kaum Muslimat disekitar Aceh Besar yang kemudian berkembang sampai ke Pidie.

Anggota Badan Amal Sosial ini menjadi sangat giat dalam mengumpulkan sumbangan rakyat yang berupa perbekalan berupa padi dan uang. Selain dari anggota yang bergerak mengumpulkan perbekalan peperangan, bagi anggotaanggota yang tinggai di tempat, mereka sibuk mempersiapkan makanan untuk orang yang datang dari luar seperti Pidie, Meureudu, Salamanga, Peusangan dan lain-lain untuk membantu perang dan menuangkan timah untuk pelor senapan, semua pekerjaan itu dibawah pimpinan Teungku Fakinah.
Teungku Fakinah merupakan Panglima Perang melawan agresi Belanda, tidak mau tetap dikediamannya, bahkan hilir mudik keseluruh segi tiga Aceh Besar untuk menjalankan Diplomasi, mendatangi rumah orang-orang besar dan orang-orang kaya untuk meminta zakat dalam rangka membantu peperangan Aceh yang sedang berkecamuk. Dan kegiatan yang dilakukannya itu, memperoleh hasil yang lebih besar yang kemudian disalurkan sebagai biaya peperangan.
Ketika musuh menguasai Kuta Raja (Banda Aceh Sekarang), maka pertahanan berpindah ke Kuta ke kota Lam Bhouk, Pagar Aye (Lhung Bata), maka dalam tahun 1883 pertahanan itu dapat dikuasai oleh musuh. Untuk mengantisipasi hal ini maka Tengku Syech Saman yang disebut Tengku Tjik Di Tiro memperkuat lagi pertahanan Kuta Aneuk Galong bekas Kuta Panglima Polem Nyak Banta, yang dulunya telah di rampas oleh pihak Belanda yaitu pada tahun 1878. Maka dengan demikian serentaklah dari masing-masing pemimpin peperangan mendirikan kutakuta lain, seperti halnya Tengku Empee Trieng (Kuta Karang), Tengku Pante Kulu (Kuta Tuanku) dan lain-lain. Sementara itu di Lam Krak didirikan 4 buah Kuta (Benteng Pertahanan) di bawah Komando Tengku Fakinah, yang masing-masing di pimpin oleh seorang komandan bawahan, yaitu:
1. Kuta Lam Sayun, dipimpin oleh Tengku Pang M. Saleh.
2. Kuta Cot Garot, dipimpin oleh Tengku Pang Amat.
3. Kuta Cot Weue, dipimpin oleh Tengku Fakinah sendiri.
4. Kuta Bak Balee, Dipimpin oleh Habib Lhong.

Adapun yang membangun kuta-kuta (Benteng-Benteng) ini adalah kaum lelaki, kecuali Kuta Cot Weue dikerjakan oleh wanita-wanita sejak dan membuat pagar, menggali parit dan pemasangan ranjau dilakukan sendiri oleh para wanita yang diawasi oleh panglima perangnya Teungku Fakinah sendiri bersama rekanrekannya wanita lain seperti :
1. Cutpo Fatimah Blang Preh,
2. Nyak Raniah dari Lam Uriet,
3. Cutpo Hasbi,
4. Cutpo Nyak Cut, dan
5. Cut Puteh.

Setelah selesai membangun Kuta Tjot Weue, maka atas mufakat orang-orang patut agar Tengku Fakinah Panglima Perang itu, dijodohkan dengan Tengku Nyak Badai yang berasal dari Pidie, lepasan murid Tanoh Abee. Alasan untuk mengawinkan Teungku Fakinah ini adalah karena seorang panglima perang wanita dalam siasat perang senantiasa harus bekerja sama dengan laki-laki yang sering melakukan musyawarah. Dalam pandangan masyarakat umum tidak layak dalam suatu perundingan seorang wanita tidak didampingi oleh suaminya. Dengan demikian Teungku Fakinah dapat menerima saran dari orang-orang tua ini, maka dengan demikian perkawinan mereka dilangsungkan. Setelah perkawinan itu, maka Teungku Fakinah bertambah giat berusaha untuk mengumpulkan benda-benda perlengkapan persenjataan dan makanan untuk keperluan tentara pengikutnya. Namun dalam tahun 1896 suami kedua beliau yaitu Tengku Nyak Badai tewas ketika diserbu oleh pasukan Belanda dibawah komandan Kolonel J. W Stempoort. Di antara Pahlawan yang memimpin pasukan di bawah komando Teungku Fakinah, adalah :
1. Habib Abdurrahman, yang lebih terkenal dengan Habib Lhong, Beliau Syahid dalam suatu pertempuran.
2. Tengku M. Saleh, Beliau juga Syahid
3. Tengku Ahmad, yang lebih terkenal dengan Teungku Leupung, Beliau tidak Syahid, akan tetapi masih sempat membantu Teungku Fakinah dalam kehidupan pembangunan
4. Tengku Nyak Badai, suami kedua Teungku Fakinah, dan Beliau juga Syahid
5. Tengku Daud, Beliau juga Syahid.

Cut Nyak Dhien tidak asing lagi bagi Teungku Fakinah, sejak perang di Aceh Besar berkecamuk, Beliau sudah dikenal baik dengan Cut Nyak Dhien, baik dalam pertarungan mereka di Montasik, Lamsi maupun ketika kedatangan Cut Nyak Dhien ke Lam Krak senantiasa mampir ke rumah Teungku Fakinah, untuk beramah tamah dan meminta bantuan perbekalan perang bagi pengikut-pengikut Teuku Umar. Dalam hal ini Teungku Fakinah selalu memberikan bantuan berupa beras, kain hitam dan uang tunai. Dan sebaliknya Teungku Fakinah sering juga datang ke rumah Cut Nyak Dhien di Lampadang/Bitai dan tempat-tempat lain di mana Cut Nyak Dhien tinggal. Dengan demikian perjuangan kedua wanita satria ini sangat erat hubungannya. Oleh sebab itu Teungku Fakinah sangat terkejut ketika mendengarkan T. Umar telah membelot dan bergabung dengan pihak Belanda Lalu Teungku Fakinah bertanya-tanya dalam hatinya, apakah Cut Nyak -Dhien juga ikut membelot ataukah T. Umar sendiri. Jika T. Umar sendiri mengapa Cut Nyak Dhien tidak menahan maksud suaminya itu agar tidak bergabung dengan musuh. Demikian pertanyaan itu terpendam dalam hatinya. Teungku Fakinah memikirkan untuk mengirimkan utusan kepada Cut Nyak Dhien untuk menanyakan isi hati dari rekannya itu, namun belum ada seorang wanita pun yang berani pergi ke Peukan Bada untuk bertemu langsung dengan Cut Nyak Dhien.

Sementara itu tersiar berita bahwa T. Umar sedang bergerak bersama serdadu Belanda menyerang Kuta Tungkop dan tempat pertahanan daerah XXVI Mukim, yang kemudian akan menyerang daerah pertahanan Teungku Fakinah yang terletak di Ulee Tanoh. Untuk mengantisipasi masalah ini maka segera dibangun tiga buah kuta (benteng) yaitu Cot Pring, Cot Raja, dan Cot Ukam. Kemudian itu datang dua orang wanita dari Bitai mengantar nazarnya untuk perang sabil, bahkan sumbangan yang diserahkan kepada Teungku Fakinah bukan hanya dua orang saja tetapi ada kiriman dan beberapa orang lainnya dari Bitai dan Peukan Bada. Melalui ke 2 orang wanita Bitai itu Teungku Fakinah mengirim salamnya kepada Cut Nyak Dhien selaku rekan lamanya, dengan menyampaikan beberapa kata sindiran sebagai ceumeti yang menusuk dada Cut Nyak Dhien, dengan katakata:
"Peugah bak Cut Nyak Dhien haba lon : Yu Jak beureujang lakoe gagnyan Teuku Meulaboh, jak prang inong-inong balee mangat jikalon ceubeuh lee gob, bah agam lawan inong balee".
Artinya : sampaikan kata saya kepada Cut Nyak Dhien ; suruh datang suaminya Teuku Meulaboh untuk berperang dengan perempuan-perempuan janda supaya orang dapat melihat keberaniannya, bahwa laki-laki melawan wanita janda.

Setelah cukup pembicaraan dengan kedua wanita Bitai itu, maka kedua wanita ini terus pulang sampai ke kampungnya, tetapi tidak langsung menyampaikan kabar itu kepada Cut Nyak Dhien, melainkan memberitahukan kepada wanita lain yang dipercayanya dan sering masuk ke rumah Cut Nyak Dhien. Setelah mendengar kabar ini, Cut Nyak Dhien sangat cemas hatinya, kemudian disunth panggil kedua wanita Bitai itu melalui wanita kepercayaannya untuk bertemu langsung denganya Dalam hal ini kedua wanita itu tidak mau datang takut ditangkap, selama dua hari di tunggu-tunggu oleh Cut Nyak Dhien, mereka tidak kunjung datang.

Secara diam-diam Cut Nyak Dhien datang ke Bitai untuk menemui kedua wanita itu, namun kedua wanita tersebut telah bersembunyi di rumah yang lain. Lalu Cut Nyak Dhien menyampaikan pesan pada wanita lain bahwa dia perlu bantuan kedua wanita itu untuk menyampaikan kabar balik ke Lam Krak, yang merupakan kabar balasan dari Cut Nyak Dhien kepada Teungku Fakinah. Maka besok paginya datanglah kedua wanita itu kerumah Cut Nyak Dhien dan keduanya diterima dengan ramah tamah. Diserambi belakang mereka duduk bertiga membicarakan khabar yang dibawa dari Lam Krak, kemudian ke dua wanita itu disuruh balik ke Lam Krak untuk bertemu dengan Teungku Fakinah dengan membawa kabar balasan yang disertai dengan bungong jaroe yaitu; 2 kayu kain hitam untuk celana, 6 potong selendang, 1 kayu kain untuk baju prajurit wanita dan 1 potong kain selimut untuk selimut Teungku Fakinah sendiri, serta uang 200 real untuk pembeli kapur dan sirih.

Besok paginya berangkatlah kedua wanita itu dari Bitai menuju Lam Krak. Satu orang menjunjung sumpit yang berisikan beras dan yang satu lagi menjunjung satu berkas tikar mensiang yang berisikan barang-barang kiriman Cut Nyak Dhien kepada Teungku Fakinah di Lam Krak. Sesampainya di Lam Krak kedua wanita ini, langsung bertemu dengan Teungku Fakinah, dan menyerahkan barang amanah itu. Dalam pertemuan itu juga, disampaikan pula salam dan pesan-pesan Cut Nyak Dhien yang isinya:
"Atee Cut Nyak Dhien mantong lagee soet, lon inseuh keulangkah lakoe lon yang kameuseuruek. Hubungan lidah Nyak Faki nyoe ngon lon yang neuba lee droe neuh mudah-mudahan Tuhan puwoe langkah kamoe lagee soet".
Artinya "Hati Cut Nyak Dhien seperti semula, saya beri keinsyafan terhadap langkah suami saya yang telah berperosok. Hubungan lidah Nyak Fakinah ini dengan saya yang saudara bawa mudah-mudahan Tuhan kembalikan langkah kami seperti semula".

Demikianlah kata filsafat dalam pertemuan diplomatik antara kedua pengantar kata, dari hati ke hati antara dua orang Srikandi ulung Pahlawan Tanah air yakni Teungku Fakinah dari Lam Krak dan Cut Nyak Dhien dari Lam Pisang. Pindah Ke Tangse Sesudah jatuhnya Seulimum, Teungku Fakinah mengungsi ke lammeulo (Cubok), mula-mula ia tinggal di Tiro bersama dengan Teuku Tjik di Tiro Mat Yeet, setelah itu pindah ke Tangse dan sekaligus membangun tempat tinggalnya di Blang Peuneuleun (Pucok Peuneuleun). Daerah ini merupakan daerah yang sangat indah dan lahan yang sangat subur, sehingga ditempat ini dijadikan perkampungan dan sekaligus membuka lahan pertanian. Semua sisa harta benda, emas dan perlengkapan senjata diangkut ke daerah baru ini, dan didaerah ini juga dibangun Deah (perguruan/Pasantren) tempat wanita mengaji Al-Qur'an. Namun dalam tahun 1899 perkampungan ini diserang oleh tentara Belanda dan rumah tempat tinggal Teungku Fakinah diobrak abrik dan sebagian emas milik Teungku Fakinah diambil oleh serdadu Belanda, sementara beliau terlepas dari kepungan serdadu tersebut.
Semenjak itu Teungku Fakinah tidak lagi membuat kuta (benteng), namun hanya bergerilya basama-sama Pocut lam gugob istri dari Tuanku Hasyim banta Sultan, Pocut Awan yaitu ibu dari Tengku Panglima Polem dan dengan wanita-wanita lain yang masih aktif bergerilya mengikuti jejak suaminya mengarungi hutan belantara, berpindah-prndah sampai kepegunungan Pasai, dan Gayo Luas, serta tempat-tempat lain disekitar Laut Tawar, dalam pengawasan Tengku Nyak Mamat Peureulak. Sekalipun Teungku Fakinah tidak lagi memegang peranan sebagai Panglima Perang, namun beliau tetap aktif dalam bidang pendidikan agama, terutama mengajar wanita-wanita yang turut bergerilya dengan cara berpindahpindah.

Kembali ke Lam Krak Sesudah Teuku Panglima Polem Muhammad Daud dan Teuku Raja Keumala dapat ditundukkan oleh Van Heutz, maka pada tanggal 21 Mei 1910 atas permintaan Teuku Panglima Polem, supaya Teungku Fakinah pulang kembali ke kampung halaman untuk membuka kembali deah/pesantren di Beuha (Lam Krak). Dengan demikian pada tahun 1911 Teungku Fakinah kembali ke Lam Krak dan membuka kembali Deah/Pesantren, yang mendapat sambutan baik dari masyarakat umum. Dalam pembangunan pesantren ini, banyak pihak masyarakat dengan secara sukarela mengeluarkan zakat dan sumbangan pribadi, sehingga pembangunan ini berjalan dengan lancar. Setelah deah ini berdiri, maka banyak yang berdatangan dari berbagai penjuru Aceh seperti halnya : seluruh pelosok 3 segi Aceh Besar, Meulaboh, Calang, Aceh Timur, Pidie dan Samalanga, terutama janda-janda dan gadis-gadis untuk belajar mengaji ke Lam Krak.

Simpatisan masyarakat terhadap Pesantren Teungku Fakinah sangat besar, sehingga tempat ini setiap harinya banyak dikunjungi oleh tamu-tamu dari luar mukim Lam Krak. Demikian juga, banyak yang datang mengantar sumbangan sosial untuk biaya hidup bagi murid-murid Deah/Pesantren, sehingga murid-murid yang belajar disitu, selain dapat bantuan pangan dan orang tuanya, juga menerima bantuan dari masyarakat umum. Ada juga bentuk sumbangan lainnya yang disumbangkan oleh masyarakat terhadap Deah/Pesantren tersebut seperti Al- Qur'an dan kitab yang diperlukan untuk pelajaran.

Dalam tahun 1914 Teungku Fakinah berhasrat untuk menunaikan rukun kelima yaitu naik Haji. Sebelum beliau berangkat terlebih dahulu mencari muhrimnya. Dengan demikian beliau kawin dengan seorang yang bernama Ibrahim, yang merupakan suaminya yang ketiga. Dalam bulan Juli 1915 beliau berangkat menuju tanah suci Mekkah. Di Mekkah beliau menumpang di rumah wakaf Aceh, jalan Kusya Syiah yang diurus oleh Syech Abdul Gani yang berasal dari Aceh Besar. Selesai melaksanakan rukun Haji, beliau masih menetap di Mekkah untuk menuntut ilmu Pengetahuan sekaligus memperdalam ilmu Fikih pada Teungku Syech Muhammad Saad yang berasal dari Peusangan. Kuliah yang diberikan oleh gurugurunya dilakukan di dalam Masjidil Haram Mekkah kepada murid-muridnya.

Selama tiga tahun berada di Mekkah untuk memperdalam ilmunya, ketika memasuki tahun ke-4 di Mekkah, suami beliau yaitu Ibrahim meninggal dunia di Mekkah. Maka pada tahun 1918 Teungku Fakinah kembali ke Aceh, setibanya di Lam Krak disambut dengan meriah oleh murid-muridnya, dan ketika itupulalah beliau memimpin kembali Deah/Pesantren yang selama ini ditinggalkan, dan mengembangkan semua ilmu pengetahuan yang dituntut di Mekkah kepada muridmuridnya. Teungku Fakinah Mangkat Pada tanggal 8 Ramadhan 1359 H atau tahun 1938 M, Teungku Fakinah sebagai Pahlawan dan Ulama Wanita Aceh menghembuskan nafasnya yang terakhir di rumah kediamannya di kampung Beuha Mukim Lam Krak dalam usia 75 tahun.

Dengan meninggalnya Teungku Fakinah, maka telah tertanam duka cita yang sangat mendalam khususnya bagi masyarakat Mukim Lam Krak, VII Mukim Baet, yang meliputi seluruh murid-muridnya dan simpatisan seluruh Aceh Besar, bahkan daerah Aceh Timur, Aceh Barat, dan Pidie, sehingga berdatangan dari segala penjuru di atas ke rumah duka/Deah untuk menyatakan rasa duka cita dan berlangsung belasungkawa.

http://www.kapanlagi.com/clubbing/showthread.php?t=22593
http://ndobos.com/archives/133id.wikipedia.org/wiki/Malahayati
http://vhourkhanrasheed.blogspot.com/2011/06/cut-meutia.html
http://iloveaceh.blog.com/?p=131
http://adekrawie.wordpress.com/2008/01/10/laksamana-malahayati-pahlawan-emansipasi-yang-terlupakan/
http://id.wikipedia.org/wiki/Teungku_Fakinah

Sabtu, 08 Oktober 2011

Hijrah Kepada Allah


Islam adlah agama terpilih
Akal yang buntu menjadi pembenaran nafsu
Aku pasrah….
Menyerah…
Dan beribadah kepada-Nya
Karena tidak ada jalan lain untuk keselamatan diri

Sadar yang melahirkan iradah
Keinginan berhijrah kepada Allah
Aku yakin..
Bahwa demikianlah pilihan hidup
Tanpa ragu dan bimbang
Tanpa henti dan tidak ingin berpaling
Meski sering kali terasing
Dalam sunyi dan sendiri

Iman adalah pribadi
Tak butuh persetujuan ubtuk memutuskan
Menjadi seorang hamba-Nya
Pujian dan sanjungan menjadi tak penting
Permusuhan dan caci maki tak membuat suasana jadi genting
Dan membuat kepala pening
Merdeka…..
Dan aku telah memutuskan
Hijrah kepada Allah
Aku yakin dengan penuh kesadaran
Bahwa harta, tahta dan wanita
Hanyalah godaan
Karena aku tahu
Kemenangan sejati adalah
Kemenangan menuju Allah

Aku tahu…
Akan banyak penghalang didepan sana
Tapi akan aku hadang dengan penuh keyakinan
Semua aral yang melintang akan ku singkirkan
Dan semua kesulitan akan aku hadapi
Dan tanpa menunggu arah angin
Ku tahu harus kemana menuju
Dan kemana akan aku pergi
Aku harus menambah ilmu-ilmu
Agar lebih mengenal rambvu-rambu
Untuk membersihkan kalbu
Agar aku tunduk kepada-Nya

Tak ada kata lagi
Terlambat…..
Terperangkap…..
Atau bahkan tersesat….
Dan saat ingin berpaling
Ada kata Istighfar dan taubat terucap
Hingga Allah karuniakan kebahagiaan iman
Ke dalam Kalbu
Kelezatan menundukkan nafsu
Dan semangat pulang yang terus menggebu
Dan juga kalbu yang merindu..
Perjumpaan dengan seber-benarnya hidup

Ya Allah…
Kini aku hijrah kepada-Mu
Walau perjalan yang ku tempuh terasa jauh
Namun terasa dekat……………..

Rabu, 05 Oktober 2011

Perempuan



Perempuan diciptakan oleh Allah untuk mendampingi lelaki demikianpun sebaliknya. Sang pencipta pasti tahu apa yang dibutuhkan laki-laki dan perempuan serta yang terbaik bagi masing-masing.
Seharusnya kita marah bila ada orag yang melecehkan perempuan hanya karena dia seorang perempuan. Inganlah ibu kita seorang perempuan, saudara kita juga ada yng perempuan, dan kita juga pernah satu tubuh langsung dengan ibu kita ketika kita nmasih dalam kndungannya, dan kita dirawat dengan baik olehnya sehingga kita dapat melihat indahnya dunia ini.


Semua lelaki membutuhkan perempuan, bahkan nabi SAW sendiri juga membutuhkan perempuan untuk menyalurkan cintanya. Tanpa perempuan hati lelaki akan remuk dan hancur bahkan akan saling menghancurkan, karena sosok peerempuan behitu penting bagi kaum adam. Bahkan ada yang saling membunuh memperebutkan seorang perempuan, ingatkah kita akan cerita 2 bersaudara Habil dan Qabil…???


Dan dibalik setiap kesuksesan seseorang pasti ada sosok perempuan dibelakangnya. Itulah sesbabnya operempuan harus dihormati dan dicintai. Seperti hadist nabi SAW : “perempuan dan wewangian, dan shlat menjadi buah mata kesukaanya” (HR Annasa’I melalui Anas Ibnu Malik) dan “dunia ini adalah kesenganangan dan yang paling menyenangkan adalah perem[puan yang shaleha” (HR Muslim dan Nasa’I melalui Abdullah Ibnu Amr Ibnu Al-Ash)


Wanita muda hari ini adalah pejuang peradaban yang akan menjadi sandaran kemajuan. Karena dari rahimnya banyak lahir orang-orang besar yang banyak akan dicatat dalam sejarah. Siapapun kita harulah member penghormatan kepada wanita yang akan menjadi ibu buat anak-anak kita nantinya. Kaerena banyak wanita yang tidak hanya menjadi ibu tetapi juga menjadi ayah buat anak-anaknya.
Wanita mulia adalah wanita yang menjaga kehormatannya bukan wanita yang bersembunyi dibalik topeng yang menuntut kesamaan derajat dengan kaum adam disegala bidang.